Ringkasan Teori

Pendidikan dalam Cengkeraman Kuasa: Menyingkap Realitas di Balik Sekolah

Pendidikan Tidak Pernah Netral

Banyak dari kita tumbuh dengan keyakinan bahwa pendidikan adalah jalan utama menuju mobilitas sosial. Semakin tinggi sekolah, semakin besar pula peluang untuk “naik kelas” dalam masyarakat. Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu. Meskipun seseorang telah menempuh pendidikan setinggi mungkin, banyak yang tetap berada dalam posisi stagnan—sekadar menjadi pekerja dalam sistem yang tak mereka kuasai.

Kenapa bisa begitu? Sejumlah sosiolog menjelaskan bahwa pendidikan bukanlah ruang yang netral. Sebaliknya, ia kerap menjadi alat reproduksi nilai-nilai kelas penguasa. Dalam sistem seperti ini, seberapa pun kerasnya usaha seseorang untuk “naik kelas”, tetap saja ia berjalan di lintasan yang sudah dirancang—oleh dan untuk kepentingan mereka yang berkuasa.

Pendidikan dalam Kacamata Marxis

Teori Marxis memberikan analisis tajam terhadap fungsi pendidikan. Bagi kaum Marxis, pendidikan bukan hanya sekadar sarana penyampaian ilmu, melainkan alat ideologis untuk mempertahankan dominasi kelas kapitalis terhadap kaum pekerja. Melalui sistem pendidikan, struktur kelas yang ada direproduksi terus-menerus.

Dengan cara ini, pendidikan berfungsi menjaga status quo. Kaum proletar dididik bukan untuk membebaskan diri, melainkan agar tetap tunduk dan patuh terhadap sistem yang sudah ada. Lembaga pendidikan—dari sekolah dasar hingga universitas—berperan menanamkan ideologi dominan yang membuat ketimpangan sosial terasa “wajar” dan “alami”.

Konsep Aparatus Negara Ideologis ala Althusser

Pemikiran Louis Althusser, seorang filsuf Marxis dari Prancis, semakin memperdalam pemahaman ini. Ia memperkenalkan konsep Ideological State Apparatus (ISA) atau Aparatus Negara Ideologis. Dalam pandangannya, pendidikan adalah salah satu ISA yang paling efektif.

Sekolah tidak hanya berperan menyampaikan pengetahuan, tapi juga membentuk kesadaran siswa agar sesuai dengan kepentingan kelas penguasa. Melalui kurikulum, tata tertib, hingga pola relasi antara guru dan murid, siswa belajar untuk taat, patuh, dan menerima posisi sosial mereka. Kesadaran kritis ditekan, sementara nilai-nilai dominan ditanamkan sedari dini.

Hegemoni Budaya dan Reproduksi Nilai

Pemikiran Antonio Gramsci tentang hegemoni budaya melengkapi kritik terhadap pendidikan. Gramsci menjelaskan bagaimana dominasi kelas penguasa tidak hanya dilakukan melalui kekuasaan ekonomi atau militer, tetapi juga lewat pengaruh budaya dan ideologi.

Salah satu arena utama hegemoni ini adalah pendidikan. Kurikulum yang digunakan di sekolah sering kali mencerminkan nilai-nilai, norma, dan perspektif kelas dominan. Yang dianggap “benar”, “baik”, atau “normal” dalam masyarakat—semuanya dirancang agar sejalan dengan kepentingan penguasa.

Pendidikan, dalam hal ini, menjadi instrumen reproduksi budaya. Siswa belajar membentuk identitas mereka sesuai dengan kerangka berpikir hegemonik. Mereka yang menyimpang dianggap “tidak disiplin”, “tidak pintar”, atau “gagal”, padahal bisa jadi mereka sedang menolak sistem yang menindas.

Penutup

Pendidikan seharusnya membebaskan, bukan membelenggu. Namun selama sistem pendidikan masih berada di bawah kendali ideologi dominan, maka sekolah hanyalah pabrik kesadaran yang mencetak individu sesuai cetakan kekuasaan. Untuk membayangkan pendidikan yang membebaskan, kita perlu memulainya dari kesadaran akan fungsi ideologisnya. Kesadaran itu menjadi langkah awal menuju transformasi.

Dr. Dede Syarif

Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung.

Editor: Paelani Setia

Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi.

Share artikel ini yuk!
Scroll to Top