PoV
Ke Mana Perginya Orang Tua di Anime? Sebuah Tinjauan Sosiologis atas Minimnya Representasi Tokoh Dewasa

Anime adalah salah satu bentuk budaya populer yang paling berpengaruh di dunia. Dengan visual yang khas, cerita yang penuh imajinasi, dan karakter yang kuat, anime telah memikat jutaan penonton lintas usia dan budaya. Namun, pernahkah kamu menyadari satu hal yang cukup mencolok? Dalam banyak anime, tokoh orang tua—ayah, ibu, bahkan kakek-nenek—sering kali absen atau hanya muncul sekilas. Kenapa bisa begitu?
Mari kita lihat dari kacamata sosiologi media dan budaya.
Anime: Cerita tentang Anak Muda
Salah satu ciri utama anime adalah fokusnya pada karakter muda. Banyak cerita mengambil latar sekolah, memperlihatkan perjuangan remaja menghadapi dunia, dan menggambarkan fase “coming-of-age” (perjalanan menuju kedewasaan). Fenomena ini bukan kebetulan.
Secara sosiologis, masyarakat Jepang—dan dunia secara umum—menganggap masa muda sebagai tahap kehidupan yang sangat penting. Masa muda dilihat sebagai fase penemuan jati diri, pembentukan nilai, dan simbol dari potensi masa depan. Maka, tak heran kalau anime pun banyak menyoroti karakter remaja yang sedang “bertumbuh”.
Pasar Menentukan Fokus
Faktor industri juga sangat memengaruhi. Konsumen utama anime adalah anak muda berusia 12–30 tahun. Kelompok ini dikenal sebagai penikmat media paling aktif—mereka nonton, beli merchandise, hadir di event, dan aktif di komunitas daring.
Karena itu, kreator anime cenderung membuat cerita yang “relatable” dengan pengalaman dan imajinasi mereka. Akibatnya, karakter dewasa atau orang tua menjadi kurang mendapat panggung. Ini menciptakan semacam siklus: karena yang ditampilkan adalah anak muda, maka yang dikonsumsi pun terus berputar di lingkaran itu.
Norma Sosial di Balik Layar
Ada juga faktor sosial budaya yang lebih dalam. Dalam budaya Jepang tradisional, orang tua sangat dihormati. Tapi di era modern, Jepang mengalami perubahan sosial yang cepat—teknologi berkembang pesat, struktur keluarga berubah, dan jarak generasi makin terasa.
Orang tua sering kali dianggap “ketinggalan zaman” dalam masyarakat yang memuja inovasi dan kemajuan. Hal ini tercermin dalam anime: karakter orang tua mungkin tetap ada, tapi lebih sering muncul sebagai tokoh minor—bijak, lucu, atau bahkan menjadi beban yang harus ditanggung anak muda.
Idealisasi Anak Muda
Anak muda dalam anime sering diidealkan sebagai sumber energi, semangat, dan keindahan. Mereka digambarkan penuh potensi, mampu mengubah dunia, atau menyelamatkan umat manusia. Sementara itu, karakter tua lebih sering dikaitkan dengan masa lalu, kemunduran, atau masalah.
Hal ini menunjukkan bahwa industri anime tidak hanya mencerminkan realitas sosial, tapi juga turut membentuk cara pandang kita terhadap usia dan nilai seseorang berdasarkan usianya.
Pengaruh Kreator dan Genre
Faktor lain yang tak kalah penting adalah latar belakang para kreator anime. Banyak animator, penulis naskah, dan sutradara adalah anak muda. Secara alami, mereka lebih tertarik menulis cerita yang dekat dengan pengalaman mereka sendiri.
Selain itu, genre juga memainkan peran. Genre shounen (untuk remaja laki-laki) dan shoujo (untuk remaja perempuan) sangat populer dan mendominasi pasar. Genre ini hampir selalu menampilkan protagonis muda. Meski genre seperti seinen dan josei (untuk penonton dewasa) terkadang memunculkan karakter lebih tua, tetap saja fokus utamanya pada dewasa muda—bukan lansia.
Penutup: Refleksi atas Absennya yang Tak Terlihat
Kurangnya representasi tokoh orang tua dalam anime bukan sekadar kebetulan teknis, melainkan cerminan dari nilai sosial, dinamika pasar, dan konstruksi budaya populer. Melalui anime, kita bisa melihat bagaimana masyarakat memandang usia, menghargai masa muda, dan—secara tidak sadar—meminggirkan pengalaman hidup yang lebih tua.
Jadi, pertanyaannya bukan sekadar “ke mana orang tua di anime?”, tapi juga “apa yang dikatakan anime tentang cara kita memandang usia dan peran sosial?”
Sumber: “The Lack of Representation of Older People in Anime”, Easy Sociology, 2024.

Dr. Dede Syarif
Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung.

Editor: Paelani Setia
Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi.