PoV
Kenapa Hanya Sore yang Peduli? Menonton Sore: Istri dari Masa Depan dari Perspektif Feminis

Film Sore: Istri dari Masa Depan sekilas tampak seperti film romansa bernuansa fiksi ilmiah tentang cinta dan takdir. Namun jika ditelisik lebih dalam, film ini menyimpan potret relasi gender yang problematis—khususnya tentang bagaimana cinta sering kali menjadi beban yang dipikul lebih berat oleh perempuan.
Sore (diperankan oleh Sheila Dara Aisha) adalah sosok istri dari masa depan yang berulang kali kembali ke masa lalu demi menyelamatkan hidup suaminya, Jonathan (Dion Wiyoko). Jo, yang digambarkan sebagai pria dengan gaya hidup buruk dan ego tinggi, akhirnya mati muda. Sore, dengan segala kasih sayangnya, mencoba mengubah masa depan Jo. Ia bahkan berkata, “Kalau aku harus ngulang seribu kali pun, kayaknya aku bakal tetap milih kamu, deh.” Kalimat ini menggambarkan betapa besar pengorbanan dan konsistensi cinta Sore—meski artinya ia harus menanggung beban perubahan seorang diri.
Dari kacamata feminis, perjuangan Sore untuk “menyelamatkan” Jo bukan sekadar aksi heroik penuh cinta, melainkan cermin dari harapan sosial yang kerap dibebankan kepada perempuan dalam hubungan. Sore harus menanggung beban transformasi moral pasangannya, mengambil tanggung jawab atas masa depan rumah tangganya, dan rela “mengatur” hidup Jo demi kebaikan bersama. Namun, di saat bersamaan, Jo justru merasa tak nyaman karena kehidupannya diintervensi oleh perempuan. Di sinilah ketimpangan gender itu muncul—ketika niat baik perempuan ditanggapi sebagai bentuk dominasi, bukan perhatian.
Fenomena ini bukan hal baru. Jesse Bernard, sosiolog feminis dalam The Future of Marriage (1972), telah mengungkapkan bahwa pernikahan sering kali menciptakan pengalaman yang sangat berbeda antara suami dan istri. Ia menyebut konsep his marriage dan her marriage, di mana laki-laki cenderung mendapatkan keuntungan psikologis dan sosial lebih besar dari pernikahan karena memiliki istri yang mengelola rumah dan anak-anak, sementara perempuan justru mengalami tekanan lebih besar, baik secara emosional maupun eksistensial.
Film Sore seolah memperkuat gagasan tersebut. Perempuan diharapkan terus mengalah, berinisiatif memperbaiki, bahkan “membimbing” pasangan, sementara laki-laki bisa memilih untuk menolak perubahan atau merasa terancam oleh kehadiran istri yang terlalu “mengatur”. Ini adalah gambaran nyata dari kontradiksi dalam relasi heteronormatif di banyak rumah tangga modern.
Dengan demikian, Sore: Istri dari Masa Depan bukan hanya film romantis tentang cinta lintas waktu. Ia juga merupakan refleksi kritis tentang posisi perempuan dalam pernikahan dan hubungan—tentang siapa yang lebih dulu harus berubah, siapa yang dituntut lebih banyak berkorban, dan siapa yang harus terus peduli bahkan ketika cintanya diuji berkali-kali. Mungkin pertanyaannya bukan sekadar “kenapa hanya Sore yang peduli?”, tetapi juga “sampai kapan perempuan harus jadi penyelamat dalam kisah cinta mereka sendiri?”

Dr. Dede Syarif
Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung.

Editor: Paelani Setia
Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi.