Ringkasan Teori
Role Exit: Saat Kita Kehilangan Peran dan Menemukan Jati Diri Baru

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak hanya memerankan satu peran saja. Kita bisa menjadi mahasiswa, pekerja, pasangan, anak, orang tua, atau anggota komunitas tertentu. Namun, ada kalanya peran yang melekat pada diri kita harus dilepaskan. Situasi inilah yang disebut dengan role exit, yakni saat seseorang keluar dari sebuah peran yang penting dalam hidupnya.
Salah satu contoh yang paling dekat dengan kita adalah ketika menyelesaikan kuliah. Setelah lulus, kita tidak lagi berstatus sebagai mahasiswa, sebuah peran yang selama bertahun-tahun membentuk identitas diri. Peralihan ini seringkali membingungkan, karena kita dituntut untuk segera menemukan peran baru di dunia kerja atau kehidupan bermasyarakat. Fenomena ini menegaskan bahwa role exit adalah pengalaman yang hampir setiap orang alami dalam hidupnya.
Menurut Helen Rose Fuchs Ebaugh, seorang sosiolog yang merumuskan teori role exit pada 1970-an, keluar dari peran adalah “proses pelepasan diri dari peran yang penting bagi identitas seseorang dan pembentukan kembali identitas pada peran baru.” Riset Ebaugh bermula dari penelitiannya terhadap para mantan biarawati, namun temuan ini ternyata berlaku lebih luas: siapa saja, dalam berbagai situasi sosial, bisa mengalaminya.
Fenomena keluar peran semakin relevan di tengah kehidupan modern yang kompetitif. Banyak orang menghadapi perubahan besar yang mengguncang identitas dirinya, seperti lulus kuliah, kehilangan pekerjaan, perceraian, atau bahkan pindah profesi. Setiap perubahan besar itu memaksa seseorang untuk melepaskan peran lama dan menemukan jati diri baru.
Ebaugh menjelaskan bahwa proses role exit umumnya terjadi melalui beberapa tahapan. Pertama, muncul keraguan awal, saat seseorang merasa peran yang dijalani tidak lagi sesuai dengan harapan. Kedua, individu mulai mencari alternatif lain yang bisa lebih memuaskan kebutuhannya. Ketiga, ada titik balik, biasanya berupa peristiwa besar yang memaksa seseorang keluar dari peran lama. Terakhir, individu benar-benar melepaskan peran lama dan membangun identitas baru yang lebih sesuai dengan kehidupannya saat ini.
Ambil contoh para mahasiswa yang baru lulus. Bagi mereka, meninggalkan kampus berarti juga melepaskan lingkaran pertemanan, rutinitas kuliah, dan suasana yang selama ini membentuk identitas diri. Banyak yang merasa kehilangan arah, bahkan frustrasi, ketika harus menyesuaikan diri dengan dunia baru yang penuh tantangan. Namun, seiring waktu, mereka akan membangun identitas baru—misalnya sebagai profesional di dunia kerja, sebagai pengusaha, atau sebagai bagian dari komunitas sosial yang lain.
Dengan kata lain, role exit adalah bagian alami dari perjalanan hidup manusia. Ia memang bisa menimbulkan disorientasi, tetapi juga membuka peluang bagi seseorang untuk menemukan versi dirinya yang baru. Memahami proses ini membantu kita lebih siap menghadapi setiap perubahan besar dalam hidup, serta lebih bijak dalam membentuk identitas baru yang selaras dengan perjalanan hidup kita.
Referensi: Ebaugh, H. R. F. (1988). Becoming an Ex: The Process of Role Exit. Chicago: University of Chicago Press.

Dr. Dede Syarif
Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung.

Editor: Paelani Setia
Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi.