Author name: perspektifsosiologi

Kolom

Skripsian anti Mood Swing ala Teori Strukturasinya Giddens

Kolom Skripsian anti Mood Swing ala Teori Strukturasinya Giddens Apa sih momen mendebarkan di dunia perkuliahan? salah satu jawabannya adalah skripsi. Ya menulis skripsi itu ibarat drama panjang yang penuh lika-liku, naik turun seperti roller coaster. Saat mengerjakannya, kadang semangat sampai lupa waktu, tapi kang juga nge freez depan laptop gak ngapain. Belum lagi kalau dospemnya susah ditemuin padahal deadline sudah di depan mata. Kalau sudah seperti itu, menulis skripsi bukan lagi sekedar tugas akhir tapi juga ujian mental yang sama berat dengan tuntutan akademiknya sendiri. Kalian ngalamin fase yang sama? Kalau iya, tenang aja, kalian engga sendirian kok. Skripsi itu medan tarik-ulur antara tekanan dari luar dan bagaimana cara kita meresponsnya. Bukan sekedar cari teori yang tepat, ngumpulin data yang tepat, lalu menulis bab perbab lembaran skripsi. Kalau dijalani, skripsi itu jauh lebih kompleks dan mendrama. Ada tekanan dari keluarga, budaya kampus yang penuh aturan, sampai omongan teman yang bikin kit amakin tertekan. Nah, situasi seperti itu dapat kita jelasin pakai perspektif Teori Strukturasi dari Anthony Giddens. Dengan perspektif strukturasi, hidup kita itu berada dalam tarik menarik antara struktur vs. agen. Strukturnya itu seperti standar kampus, deadline, dan aturan. Sedangkan agennya adalah diri kita sendiri dengan pilihan kita untuk meresponsnya bagaimana. Struktur bisa membuat kita tertekan, tetapi memberikan kita arah. Sementara agen, maka kita bisa memilih antara mau melawan, menyesuaikan, atau mencari jalan pintas. Kalau kita terapkan teori ini ke dalam dunia skripsi, mood-swing  skripsi itu lahir dari kombinasi keduanya. Struktur itu hadir lewat aturan akademik yang ribet, tenggat waktu yang mepet, sampai ekspektasi orang sekitar. Sementara kita sebagai agen, punya cara sendiri bagaimana menghadapinya. Ada yang disiplin bikin jadwal mengerjakan skripsi, rajin bimbingan, atau nyari dukungan dari teman. Ada juga yang versi rebahan, main game, sampai ada yang pura- pura lupa demi menjaga kewarasan. Semua itu wajar kok manusiawi banget. Tapi pertanyaannya, apakah kita harus stuck atau mengulang pola ini? Gimana caranya agar kita tidak kalah dengan mood swing pas ngerjain skripsi? Nah, jawabannya bisa kita mulai dari hal sederhana: Pertama, terima prosesnya, jangan berharap kita bisa produktif tiap hari. Kerjain sedikit demi sedikit yang penting konsisten. Kedua, jangan jalan sendirian, skripsi itu lebih ringan kalau ada support system. Entah itu curhat ke Dosen Pembimbing, minta pendapat dari teman, atau minta doa dari keluarga. Ketiga, jaga pola hidup, skripsi itu akan lebih lancar kalau badan dan hati kita sehat. Ibadah ditingkatkan, tidur cukup makan teratur, dan olahraga sewajarnya. Keempat, ubah cara pandang, lihat skripsi itu bukan sebagai beban akhir kuliah, tetapi juga latihan mental supaya kita lebih tahan banting di dunia kerja atau kehidupan setelahnya. Jadi, berdamai dengan mood skripsian itu bukan soal menghilangkan stress atau rasa malas sepenuhnya, tetapi bagaimana kita belajar agar tetap melangkah meski mood tidak stabil. Skripsi itu memang melelahkan, tapi dari hal itu kita belajar disiplin, sabar dan seni bertahan hidup. Yang paling penting perjalanan skripsi itu pasti punya akhir. Jadi kalau sekarang kita lagi stuck, ingat aja siding itu nyata, wisuda itu mungkin, dan rasa lega setelahnya bakalan sepadan dengan proses yang kita lewati.   Nina Khoirunnisa Alumni Sosiologi FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Kolom

OJOL: Kapitalisme Digital & Ilusi Keadilan

Kolom OJOL: Kapitalisme Digital & Ilusi Keadilan Ojek online emang keliatan “the best”: gampang order, cepet nyampe, dan di sisi lain katanya bikin lapangan kerja baru. Tapi kalau dibedah lebih dalem, ada relasi nggak imbang antara pengemudi ojol sama aplikator yang jarang banget disorot. Pertanyaan gedenya: ini beneran inovasi kerja baru, atau cuma rebranding dari tukang ojek pangkalan yang dibungkus aplikasi? Dan ujung-ujungnya, siapa sih yang paling ketiban cuan—driver atau perusahaan platform? Kerja ojol memang keliatan fleksibel. Bisa online kapan aja, kerja di jalan, nggak ada bos yang nongkrongin. Tapi di balik fleksibilitas itu, ada algoritma yang “invisible” dan mainin aturan sesuka hati. Tarif bisa naik-turun tanpa penjelasan, potongan bisa berubah tiap minggu, dan driver nggak punya ruang buat protes. Akibatnya, pendapatan jadi nggak jelas, gampang anjlok, dan susah dipakai buat patokan hidup sehari-hari. Platform digital pinter banget nge-branding driver sebagai “mitra”. Padahal realitanya, mirip buruh tanpa kepastian hak. Nggak ada gaji tetap, nggak ada cuti, nggak ada jaminan pensiun. Kalau ada tilang atau kerugian di jalan, driver nanggung sendiri. Modal kendaraan juga dari driver, tapi keuntungan paling gede tetep dinikmatin perusahaan. Jadi seakan-akan “kemitraan” itu cuma label biar perusahaan bisa ngeles dari kewajiban. Kalau ditarik ke teori Marx, jelas banget nyambung ke konsep surplus value. Kerja keras driver ngehasilin nilai lebih, tapi yang panen justru pemilik modal alias aplikator. Eksploitasi ini nongol dari gap lebar antara kerja yang dicurahin sama upah yang diterima. Sama kayak buruh pabrik di era kapitalisme klasik: perusahaan pegang kendali penuh, buruh cuma bisa nrimo nasib. Di titik ini, adil nggak sih sistem ojol buat driver? Jawabannya: nggak bakal adil kalau negara cuma jadi penonton. Relasi kerja ojol itu bukan cuma urusan ekonomi, tapi udah nyentuh struktur sosial yang ngasih power gede ke aplikator dan ngecilin suara driver. Pemerintah harus turun tangan, nggak cukup cuma ngawasin. Harus ada aturan yang bener-bener ngelindungin driver sebagai pekerja, bukan sekadar “mitra semu”. Kalau nggak, ojol bakal terus jadi korban kapitalisme digital—enak buat konsumen, cuan buat aplikator, tapi bikin driver keok di jalanan. Penulis: Hikmah, Mahasiswa Sosiologi Universitas Airlangga Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Konsep

Metateori: Teori di Atas Teori

Konsep Metateori: Teori di Atas Teori Apa Itu Metateori? Metateori dapat dipahami sebagai teori di atas teori. Berbeda dengan teori sosiologi konvensional yang berfungsi menjelaskan realitas sosial, metateori justru meneliti kembali teori-teori itu sendiri. Dengan kata lain, metateori adalah alat analisis yang digunakan untuk memeriksa hakikat, struktur, dan fungsi teori. Ia membantu sosiolog melihat lebih kritis bagaimana sebuah teori dibangun, termasuk asumsi epistemologis, metodologi, hingga bias yang melatarbelakanginya. Tujuan Metateori Metateori tidak sekadar menelaah teori, tetapi juga memiliki tujuan yang lebih mendalam. Intinya adalah untuk mengungkap bias dan perspektif tersembunyi yang membentuk suatu teori. Dengan cara ini, sosiolog dapat memahami tidak hanya isi teori, tetapi juga bagaimana teori itu muncul, berkembang, dan berfungsi dalam konteks tertentu. Mengapa Metateori Penting? Refleksi Teoretis – Metateori mendorong sosiolog untuk merefleksikan kerangka teoretis yang mereka gunakan. Ini memastikan bahwa asumsi dasar dari teori tidak diabaikan, melainkan diakui dan dapat dievaluasi secara kritis. Dialog Antar-Perspektif – Dengan menelaah asumsi dasar dari berbagai teori, metateori memfasilitasi dialog antara perspektif teoretis yang berbeda. Hal ini memperkaya pemahaman kita tentang fenomena sosial karena mampu menyingkap persamaan sekaligus perbedaan di antara teori. Mendorong Inovasi Teori – Metateori tidak berhenti pada kritik, tetapi juga membuka ruang bagi pembaruan dan inovasi teori. Dengan melihat teori klasik dalam konteks baru, sosiolog dapat menghasilkan teori-teori yang lebih relevan dengan kondisi sosial kontemporer. Contoh Hasil Metateori: Teori McDonaldization Salah satu contoh nyata hasil dari praktik metateori adalah Teori McDonaldization yang dikembangkan George Ritzer. Ritzer melakukan refleksi terhadap teori birokrasi Max Weber, terutama pada konsep rasionalitas. Ia menemukan bahwa prinsip-prinsip rasionalisasi yang dikemukakan Weber—efisiensi, prediktabilitas, kalkulasi, dan kontrol—juga berlaku dalam sistem restoran cepat saji modern, khususnya McDonald’s.Dengan demikian, teori birokrasi klasik Weber berhasil dikontekstualisasikan ke dalam fenomena kontemporer, yaitu budaya konsumsi dan organisasi bisnis global. Inilah bukti bagaimana metateori tidak hanya mengkritisi teori lama, tetapi juga melahirkan kerangka baru yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Info

Dulu Mereka Demonstran, Kini Jadi Anggota Dewan: Siklus Hidup Para Aktivis

Info Dulu Mereka Demonstran, Kini Jadi Anggota Dewan: Siklus Hidup Para Aktivis Siklus Kekuasaan ala Ibnu Khaldun Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menjelaskan bahwa kekuasaan memiliki pola yang berulang, seperti sebuah siklus. Ada masa perjuangan, kemenangan, puncak kejayaan, hingga akhirnya memasuki periode penurunan. Pola ini tidak hanya berlaku bagi dinasti atau kerajaan, tetapi juga bisa terlihat dalam perjalanan para aktivis yang bertransformasi menjadi penguasa. Fase Perjuangan: Aktivis 1998 Pada tahun 1998, saat gelombang reformasi mengguncang Indonesia, banyak aktivis turun ke jalan melawan rezim Orde Baru. Demonstrasi besar-besaran berhasil menggulingkan kekuasaan yang sudah berkuasa lebih dari tiga dekade. Saat itu, nama-nama seperti Adian Napitupulu, Ahmad Doli Kurnia, Willy Aditya, Saleh Partaonan Daulay, hingga Habiburokhman adalah bagian dari barisan aktivis mahasiswa yang bersuara lantang melawan rezim. Mereka hadir sebagai simbol perlawanan generasi muda terhadap ketidakadilan dan otoritarianisme. Fase Kemakmuran dan Pertumbuhan: Dari Jalanan ke Parlemen Namun, waktu berjalan. Banyak dari aktivis reformasi itu kini masuk ke dalam sistem yang dulu mereka lawan. Ada yang menjadi petinggi partai politik, duduk di kursi DPR, menduduki jabatan di kementerian, hingga menjadi komisaris BUMN. Misalnya, Adian Napitupulu kini duduk di Komisi V DPR RI, Ahmad Doli Kurnia memimpin Baleg DPR RI, Willy Aditya menjadi anggota Komisi XIII DPR RI, Saleh Partaonan Daulay berada di Komisi VII, sementara Habiburokhman duduk di Komisi III DPR RI. Perubahan peran ini menunjukkan bagaimana “man of protest” berubah menjadi “man of power”. Fase Kejatuhan dan Pergantian: Aktivis yang Dilawan Ketika demonstrasi Agustus 2025 terjadi, ironi sejarah tampak jelas. Mereka yang dulu berdiri di barisan demonstran, kini berada di posisi kekuasaan yang dihadapi oleh para demonstran baru. Situasi ini seakan mengulang siklus yang diprediksi Ibnu Khaldun: setelah puncak kejayaan, akan ada fase penurunan dan kemungkinan tergantikan oleh kekuatan baru. Menanti Episode Berikutnya Pertanyaannya kini: akankah para mantan aktivis yang kini berada di lingkaran kekuasaan mampu bertahan, atau justru memasuki fase kejatuhan sebagaimana hukum siklus sejarah? Waktu yang akan menjawab. Yang pasti, perjalanan mereka menjadi pengingat bahwa perjuangan dan kekuasaan sering kali berputar dalam lingkaran yang sama. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Ringkasan Teori

Kecewa Saja Tak Cukup: Gerakan Sosial Butuh Sumber Daya

Ringkasan Teori Kecewa Saja Tak Cukup: Gerakan Sosial Butuh Sumber Daya Frustrasi Masyarakat: Apakah Cukup? Kekecewaan dan rasa frustrasi masyarakat terhadap kondisi sosial-politik memang bisa menjadi pemicu lahirnya gerakan sosial. Teori relative deprivation menjelaskan bahwa gerakan sosial muncul karena adanya perasaan kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Namun, faktanya, rasa frustrasi semata tidak otomatis mendorong orang turun ke jalan. Banyak orang kecewa, tetapi tidak semua terlibat dalam aksi kolektif. Kebutuhan Akan Dana dan Sumber Daya Di titik inilah muncul teori Resource Mobilization yang dikembangkan oleh McCarthy dan Zald (1977). Teori ini merevisi pandangan relative deprivation dengan menekankan bahwa sebuah gerakan sosial tidak cukup digerakkan oleh rasa kecewa atau frustrasi. Agar bisa terwujud, gerakan membutuhkan sumber daya: mulai dari dana, waktu, tenaga, hingga keterampilan organisasi. Dengan kata lain, tanpa adanya modal yang jelas, kekecewaan massa akan berhenti hanya sebagai keluhan, bukan menjadi gerakan nyata. Lebih dari Sekadar Uang Sumber daya dalam gerakan sosial tidak terbatas pada uang. Ia juga mencakup jaringan sosial, infrastruktur, akses media, hingga figur pemimpin yang mampu mengorganisir massa. Media sering menyebut pihak-pihak yang menyediakan dukungan material dan logistik sebagai “penyandang dana” atau bohir. Dukungan inilah yang membuat sebuah gerakan sosial mampu bertahan, mengorganisir massa, dan memberi dampak politik yang nyata. Kesimpulan Dengan demikian, teori Resource Mobilization mengajarkan bahwa gerakan sosial bukan hanya lahir dari rasa frustrasi masyarakat, tetapi juga dari kemampuan untuk mengelola dan memobilisasi sumber daya yang tersedia. Kombinasi antara kekecewaan dan dukungan sumber daya inilah yang membuat sebuah gerakan sosial benar-benar bisa berjalan dan memberi dampak. Rujukan: McCarthy & Zald (1977). “Resource Mobilization and Social Movements: A Partial Theory”. American Journal of Sociology, 82(6): 1212–1241. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Book Review

Catatan Seorang Demonstran – Soe Hok Gie

Book Review Catatan Seorang Demonstran – Soe Hok Gie (Pustaka LP3ES Indonesia) “Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan. Tanpa itu semua maka kita tidak lebih dari benda. Berbahagialah orang yang masih mempunyai rasa cinta, yang belum sampai kehilangan benda yang paling bernilai itu. Kalau kita telah kehilangan itu maka absurdlah hidup kita.”— Soe Hok Gie Potret Seorang Aktivis Buku Catatan Seorang Demonstran adalah refleksi hidup dan perjuangan Soe Hok Gie, seorang mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang hidup di tengah gejolak politik Orde Baru. Tidak hanya seorang intelektual, Gie juga seorang pecinta alam, yang menyeimbangkan idealismenya dengan keindahan pegunungan yang sering ia daki. Melalui catatan harian, ia menghadirkan kesaksian langsung tentang pergulatan sosial-politik Indonesia di masa penuh ketidakadilan. Struktur dan Isi Buku Buku ini dibagi ke dalam delapan bagian: Soe Hok Gie: Sang Demonstran – pengantar tentang siapa Gie dan reputasinya. Masa Kecil – kisah keluarganya sebagai keturunan Tionghoa di Indonesia. Di Ambang Remaja – awal kesadarannya terhadap ketidakadilan sosial. Lahirnya Seorang Aktivis – langkah awal Gie masuk ke dunia pergerakan mahasiswa. Catatan Seorang Demonstran – catatan utama yang mencerminkan idealisme dan kritiknya. Perjalanan ke Amerika – perspektif global yang memperkaya wawasannya. Politik, Pesta, dan Cinta – sisi personal, pergulatan emosional, dan relasi sosial Gie. Mencari Makna – refleksi filosofis atas hidup, kemanusiaan, dan kemerdekaan individu. Isi dan Gagasan Utama Secara garis besar, buku ini menyingkap sosok Soe Hok Gie sebagai aktivis kampus dengan idealisme yang tajam. Gie bukan hanya menulis untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk menyuarakan kepentingan publik, terutama kaum kecil dan termarjinalkan. Sebagai seorang keturunan Tionghoa, Gie sadar akan posisinya di tengah masyarakat yang sering memandang perbedaan etnis sebagai stigma, namun ia tetap memilih tegak di atas nilai universal: keadilan dan kemanusiaan. Dalam catatan-catatan yang penuh gairah intelektual, Gie mengkritik keras kesenjangan sosial, kebijakan pemerintah yang diskriminatif, serta sikap elit politik yang sering menindas rakyat kecil. Kritiknya bukanlah sembarang teriakan, tetapi analisis tajam yang ditulis dengan refleksi mendalam. Relevansi Sosial dan Politik Melalui catatan ini, kita dapat membaca dinamika sosial-politik Indonesia dari sudut pandang seorang demonstran yang merasakan langsung denyut jalanan. Ia berusaha menggugah keberanian mahasiswa untuk bersikap kritis, menolak tunduk pada intervensi kekuasaan politik, dan menempatkan prinsip kemanusiaan di atas kepentingan golongan maupun agama. Gie mengingatkan bahwa mahasiswa harus tetap menjaga kewarasan dan integritas, bahkan ketika berada dalam arus besar yang mencoba menyeret mereka. Sikapnya yang konsisten memilih menjadi “manusia merdeka” menjadikan sosok Gie relevan hingga kini. Kenapa Mahasiswa Harus Membacanya? Catatan Seorang Demonstran bukan hanya buku sejarah, melainkan cermin bagi generasi muda. Di tengah derasnya intervensi kekuasaan, buku ini menjadi pengingat agar mahasiswa tidak kehilangan daya kritis. Membaca Gie berarti belajar mencintai bangsa dengan cara yang jujur, keras, tetapi tetap berakar pada nurani kemanusiaan. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Book Review

Peta Jalan dari Gramsci untuk Para Demonstran

Book Review Peta Jalan dari Gramsci untuk Para Demonstran Mengapa Revolusi Marx Tidak Terjadi? Antonio Gramsci, seorang pemikir Marxis asal Italia, pernah dilanda frustrasi. Revolusi yang dijanjikan Karl Marx tidak kunjung terwujud, padahal eksploitasi kelas penguasa terhadap kelas pekerja semakin nyata. Bagi Gramsci, ada sesuatu yang keliru dalam membaca kondisi sosial: eksploitasi yang keras dan terang-terangan itu ternyata tidak selalu dirasakan sebagai penderitaan oleh kaum proletar. Cultural Hegemony: Kuasa yang Halus Gramsci menyadari bahwa kelas pekerja justru sering mengamini penindasan yang dialaminya. Hal ini terjadi karena adanya cultural hegemony, yaitu bentuk penguasaan yang halus dan subtil. Melalui hegemoni budaya, nilai-nilai dan ideologi kelas penguasa diterima sebagai sesuatu yang wajar, bahkan benar. Inilah yang membuat massa tidak merasa sedang ditindas, melainkan justru mendukung tatanan yang mengekang mereka. Strategi: Perang Posisi dan Perang Manuver Untuk menjawab persoalan ini, Gramsci menawarkan strategi perjuangan baru. Ia membedakan dua bentuk perjuangan: perang manuver dan perang posisi. Perang manuver adalah perebutan kekuasaan secara langsung melalui konfrontasi terbuka, seperti pemberontakan atau revolusi. Sebaliknya, perang posisi adalah perjuangan jangka panjang yang lebih strategis melalui pembentukan hegemoni budaya dan ideologis. Mengapa Memulai dari Perang Posisi? Dalam masyarakat kapitalis maju, kelas penguasa tidak hanya memiliki kendali ekonomi, tetapi juga kendali budaya dan ideologis atas massa. Jika perlawanan langsung dilancarkan, maka peluang kegagalan jauh lebih besar. Karena itu, Gramsci menekankan pentingnya perang posisi: membangun hegemoni tandingan yang dapat menandingi dominasi budaya kelas penguasa. Dengan kata lain, perubahan sejati hanya mungkin dicapai jika terlebih dahulu ada kemenangan dalam ranah ide dan budaya. Perang Posisi sebagai Proses Dinamis Perang posisi bukanlah perjuangan pasif, melainkan proses dinamis yang berlangsung melalui pendidikan, agitasi, serta penciptaan lembaga-lembaga budaya, politik, dan sosial alternatif. Tujuannya adalah memenangkan hati dan pikiran massa, sehingga mereka sadar akan penindasan yang dialaminya. Jika perang posisi berhasil, maka jalan menuju perang manuver akan lebih terbuka. Pada tahap itulah perebutan kekuasaan secara politik dapat dilakukan dengan peluang keberhasilan yang lebih besar. Sumber:Gramsci, A. (1929–1935). Prison Notebooks. Columbia Press. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Ringkasan Teori

Mengapa Masyarakat Melakukan Demonstrasi? Perspektif Teori Kesenjangan Relatif

Ringkasan Teori Mengapa Masyarakat Melakukan Demonstrasi? Perspektif Teori Kesenjangan Relatif Demonstrasi sebagai Protes Sosial Demonstrasi yang terjadi pada 25–28 Agustus lalu dapat dipahami sebagai bentuk protes sosial. Aksi massa ini merupakan ekspresi kolektif masyarakat untuk menolak ketidakadilan yang mereka rasakan. Demonstrasi bukan sekadar kerumunan tanpa arah, melainkan tindakan sosial yang memiliki pesan jelas: ketidaksetujuan atas ketimpangan sosial yang semakin terasa di kehidupan sehari-hari. Pemicu Kemunculan Protes Protes sosial tidak muncul begitu saja, melainkan dipicu oleh akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap elit politik dan pemerintah. Salah satu pemicu yang kuat adalah pertunjukan gaya hidup mewah anggota dewan yang terlihat kontras dengan kesulitan hidup rakyat. Tunjangan jabatan ratusan juta rupiah, bahkan hiburan joget-joget anggota DPR yang viral di media sosial, dipersepsikan sebagai simbol arogansi elit di tengah penderitaan masyarakat. Ketimpangan inilah yang menjadi bahan bakar emosional bagi lahirnya protes sosial secara luas. Teori Kesenjangan Relatif Fenomena demonstrasi dapat dijelaskan melalui Teori Kesenjangan Relatif (relative deprivation theory). Teori ini menyatakan bahwa gerakan sosial sering muncul karena adanya perasaan tidak puas akibat kesenjangan yang dirasakan. Masyarakat membandingkan kondisi hidup mereka yang sulit dengan kehidupan kaum elit yang bergelimang kemudahan. Perbedaan inilah yang memunculkan rasa frustrasi kolektif, yang kemudian diekspresikan dalam bentuk protes dan demonstrasi. Frustrasi dan Kemarahan Kolektif Teori ini juga menjelaskan bahwa orang cenderung mengalami frustrasi dan kemarahan ketika mereka merasa kekurangan, sementara kelompok lain menikmati kelimpahan. Perasaan deprivasi menjadi semakin tajam ketika kesenjangan itu dipertontonkan di ruang publik, seperti media sosial. Akibatnya, kemarahan masyarakat tidak lagi berhenti pada keluhan individual, tetapi berkembang menjadi gerakan kolektif, bahkan hingga perusakan sebagai simbol perlawanan. Prinsip-Prinsip Utama Deprivasi Relatif Deprivasi relatif bersifat subjektif. Artinya, rasa kekurangan bukan hanya ditentukan oleh kondisi material semata, tetapi juga oleh bagaimana orang menilai posisinya dibandingkan orang lain. Misalnya, penghasilan tiga juta rupiah mungkin dianggap cukup besar oleh sebagian masyarakat, tetapi dianggap sangat kecil oleh kelompok elit. Dengan demikian, deprivasi lebih merupakan pengalaman psikologis yang lahir dari perbandingan sosial. Perbandingan Sosial dan Ekspektasi Perasaan deprivasi muncul ketika masyarakat membandingkan situasi mereka dengan kelompok elit. Ekspektasi bahwa kehidupan mereka seharusnya lebih baik ternyata berbanding terbalik dengan realitas yang dihadapi. Ketika jarak antara ekspektasi dan realitas semakin melebar, rasa ketidakpuasan pun tumbuh menjadi energi sosial yang memicu protes. Jenis-Jenis Kesenjangan Relatif Walker dan Smith (2001) membedakan deprivasi relatif menjadi dua jenis. Pertama, deprivasi relatif egois, yaitu perasaan individu ketika membandingkan dirinya dengan individu lain. Kedua, deprivasi relatif fraternalistik, yaitu ketika suatu kelompok membandingkan dirinya dengan kelompok lain. Dalam konteks demonstrasi di Indonesia, masyarakat sebagai sebuah kelompok membandingkan kondisi mereka dengan kelompok elit politik yang hidup bergelimang fasilitas. Deprivasi fraternalistik inilah yang seringkali menjadi motor lahirnya gerakan sosial berskala besar. Sumber:Walker, I., & Smith, H. J. (2001). Relative Deprivation: Specification, Development, and Integration. Cambridge University Press. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

PoV

Demonstrasi dan Teori Konflik Lewis A. Coser: Membaca Ulang Relasi Pemerintah, DPR, dan Rakyat

Ringkasan Teori Demonstrasi dan Teori Konflik Lewis A. Coser: Membaca Ulang Relasi Pemerintah, DPR, dan Rakyat Demonstrasi besar yang terjadi belakangan ini tidak dapat dipandang hanya sebagai reaksi spontan masyarakat, melainkan sebagai akumulasi ketidakpuasan terhadap kebijakan dan sikap elit politik. Awalnya, aksi massa dipicu oleh keputusan pemerintah menaikkan pajak di tengah kondisi ekonomi rakyat yang semakin sulit serta sikap sebagian anggota DPR yang dianggap arogan. Namun, seiring berjalannya waktu, demonstrasi ini berkembang melampaui isu ekonomi. Ia menjadi momentum bagi publik untuk mengekspresikan berbagai bentuk kekecewaan dan tuntutan yang sebelumnya terpendam, menjadikannya ruang artikulasi sosial-politik yang lebih luas. Dua Bentuk Konflik dalam Perspektif Coser Untuk memahami dinamika demonstrasi ini, teori konflik Lewis A. Coser menjadi pisau analisis yang relevan. Coser membedakan konflik ke dalam dua kategori utama, yakni konflik realistis dan konflik non-realistis. Konflik realistis muncul karena adanya pertentangan kepentingan yang bersifat material, sedangkan konflik non-realistis lebih terkait dengan ekspresi perlawanan dan perbedaan ideologis. Membaca demonstrasi melalui dua lensa ini membantu kita memahami bahwa aksi massa tidak hanya berbicara tentang persoalan kesejahteraan, tetapi juga menyangkut nilai, prinsip, dan legitimasi politik. Konflik Realistis: Ketimpangan Material sebagai Pemicu Konflik realistis dalam demonstrasi ini dapat ditelusuri pada kesenjangan material yang nyata. Buruh dan pekerja menuntut keadilan ekonomi ketika mereka menyaksikan ketimpangan yang mencolok antara upah yang mereka terima dengan tunjangan anggota DPR yang mencapai ratusan juta rupiah. Di tengah kesulitan ekonomi yang semakin menekan masyarakat, kesenjangan ini dipersepsikan sebagai bentuk ketidakadilan struktural yang melukai rasa keadilan publik. Bagi kelompok ini, demonstrasi adalah sarana untuk menekan pemerintah dan DPR agar lebih responsif terhadap tuntutan kesejahteraan rakyat. Konflik Non-Realistis: Ekspresi Ideologi dan Perlawanan Di sisi lain, muncul pula konflik non-realistis yang tidak semata-mata berhubungan dengan kebutuhan material. Mahasiswa dan sebagian elemen masyarakat melihat demonstrasi sebagai medium untuk mengekspresikan perbedaan ideologis mereka terhadap cara negara dijalankan. Bagi kelompok ini, persoalan yang dihadapi bukan sekadar tentang gaji atau tunjangan, tetapi tentang prinsip keadilan, demokrasi, dan tata kelola negara. Demonstrasi menjadi panggung perlawanan simbolik terhadap kekuasaan yang dinilai menyimpang dari nilai-nilai moral dan ideologis yang seharusnya menjadi dasar kehidupan berbangsa. Upaya Meredakan Konflik: Antara Ekonomi dan Ideologi Menyelesaikan konflik realistis relatif lebih sederhana karena dapat ditempuh melalui pemenuhan tuntutan material, misalnya dengan memperbaiki kebijakan kesejahteraan, memperhatikan upah buruh, atau menyesuaikan beban ekonomi rakyat. Namun, konflik non-realistis jauh lebih kompleks. Ia tidak bisa diselesaikan hanya dengan kebijakan ekonomi, melainkan menuntut reformasi politik yang lebih substansial, termasuk transparansi, akuntabilitas, dan dialog terbuka dengan publik. Konflik non-realistis hanya dapat diredakan apabila pemerintah dan DPR mampu membangun legitimasi politik yang lebih kuat dan menghadirkan kebijakan yang berpihak pada nilai-nilai keadilan sosial. Sumber:Coser, Lewis Alfred (1954). Toward a Sociology of Social Conflict (PhD). Columbia University. ProQuest. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Konsep

Konsep-Konsep Sosiologi yang Saling Berlawanan

Konsep Konsep-Konsep Sosiologi yang Saling Berlawanan Dalam sosiologi, banyak konsep yang hadir dalam pasangan berlawanan untuk menjelaskan dinamika masyarakat. Perbedaan ini tidak sekadar pertentangan, tetapi justru memperkaya cara kita memahami realitas sosial. Berikut beberapa konsep kunci yang sering dipertentangkan. Struktur Sosial vs. Aksi Sosial Struktur sosial adalah pola hubungan sosial yang relatif stabil, memberikan kerangka dan batasan bagi kehidupan masyarakat. Sebaliknya, aksi sosial menekankan peran individu atau kelompok dalam bertindak, membentuk, bahkan mengubah struktur tersebut. Dengan kata lain, struktur sosial memberi “aturan main”, sementara aksi sosial mendorong inovasi dan perubahan. Konsensus vs. Konflik Konsensus menggambarkan adanya kesepakatan bersama yang menjaga keteraturan sosial. Namun, konflik menyoroti ketegangan dan perbedaan kepentingan antar kelompok yang sering kali memicu pertentangan. Dari perspektif ini, masyarakat bisa dilihat sebagai arena harmoni sekaligus arena perjuangan. Fungsionalisme vs. Teori Konflik Fungsionalisme memandang masyarakat sebagai sebuah sistem terintegrasi di mana setiap bagian memiliki fungsi penting untuk menjaga stabilitas. Berbeda dengan itu, teori konflik menekankan bagaimana struktur kekuasaan dan ketidaksetaraan justru menjadi sumber konflik yang mendorong perubahan sosial. Mikro vs. Makro Pendekatan mikro melihat interaksi sosial sehari-hari—misalnya percakapan, simbol, dan tindakan individu. Sebaliknya, pendekatan makro fokus pada struktur besar seperti institusi politik, ekonomi, dan sistem sosial yang lebih luas. Dua perspektif ini saling melengkapi dalam memahami realitas sosial. Kolektivisme vs. Individualisme Kolektivisme menekankan pentingnya solidaritas sosial dan kepentingan kelompok di atas individu. Individualisme, sebaliknya, menekankan otonomi, kebebasan, dan pilihan pribadi. Pertentangan ini sering muncul dalam diskusi tentang budaya, politik, dan pembangunan. Solidaritas Mekanik vs. Solidaritas Organik Menurut Émile Durkheim, solidaritas mekanik muncul dalam masyarakat sederhana dengan pembagian kerja yang minim, di mana kesamaan nilai menjadi perekat utama. Solidaritas organik hadir dalam masyarakat modern dengan pembagian kerja kompleks, di mana saling ketergantungan antar peran sosial justru memperkuat kohesi sosial. Kesadaran Semu vs. Kesadaran Kelas Dalam perspektif Marx, kesadaran semu (false consciousness) menjelaskan bagaimana kelas pekerja bisa terjebak dalam sistem yang mengeksploitasi tanpa menyadari posisi mereka. Kesadaran kelas (class consciousness) muncul ketika kelompok sosial memahami penindasan yang mereka alami, sehingga mampu bersatu untuk memperjuangkan perubahan. Hegemoni vs. Kontra-Hegemoni Antonio Gramsci menjelaskan hegemoni sebagai dominasi kelas berkuasa bukan hanya dengan kekuatan fisik atau ekonomi, melainkan juga dengan membangun konsensus dan nilai-nilai yang menguntungkan mereka. Kontra-hegemoni hadir sebagai perlawanan—upaya melucuti atau mengkritik legitimasi tersebut. Bentuknya bisa terlihat di ranah politik, media, seni, hingga budaya populer. Konsep-konsep yang berlawanan ini mengingatkan kita bahwa masyarakat bukanlah sesuatu yang statis. Ia adalah arena dinamis yang selalu bergerak di antara konsensus dan konflik, stabilitas dan perubahan, dominasi dan perlawanan. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Scroll to Top