Author name: perspektifsosiologi

Uncategorized

Konsep Performative Boy: Jadi “Boti” untuk Validasi

Konsep Konsep Performative Boy: Jadi “Boti” untuk Validasi Fenomena performative boy belakangan ramai dibicarakan, terutama di kalangan Gen Z dan media sosial. Istilah ini merujuk pada laki-laki yang menampilkan sisi feminin atau lembut, bukan semata karena nyaman dengan dirinya sendiri, tetapi lebih sebagai cara untuk menarik perhatian perempuan atau memperoleh validasi sosial. Bukan Tentang Jati Diri Perilaku ini bukanlah ekspresi diri yang tulus. Sebaliknya, ia lebih mirip pencitraan atau strategi sosial untuk terlihat peka, berwawasan, dan relatable di mata perempuan. Artinya, ada kesenjangan antara apa yang ditampilkan dan apa yang sebenarnya diyakini atau dirasakan. Pencitraan dan Validasi Tujuan utama dari perilaku performative boy adalah mendapatkan perhatian, pujian, atau penerimaan dari orang lain. Validasi ini biasanya datang dari perempuan atau lingkaran sosial yang menganggap perilaku lembut sebagai sesuatu yang ideal atau menarik. Beda dengan “Pria Baik” Berbeda dengan “pria baik” (nice guy) yang tampil apa adanya, seorang performative boy cenderung terlihat dibuat-buat. Sikapnya sering kali terkesan dipaksakan, sehingga sulit dibedakan apakah itu betul-betul bagian dari dirinya atau hanya “topeng” sosial. Pro dan Kontra Fenomena ini menuai beragam tanggapan. Ada yang menilai performative boy sekadar gimmick atau strategi pencitraan kosong. Namun, ada pula yang melihatnya sebagai langkah awal menuju kesadaran gender, meskipun masih dangkal, karena setidaknya laki-laki mulai menampilkan sisi yang tidak sepenuhnya maskulin tradisional. Contoh Perilaku Beberapa contoh yang sering dikaitkan dengan tren ini antara lain: membawakan atau memamerkan buku feminis, minum matcha, memakai totebag, mengikuti tren fashion yang lembut, berbicara soal kesehatan mental, hingga memberi kesan sangat suportif terhadap perempuan. Fenomena performative boy menunjukkan bagaimana konstruksi maskulinitas bisa berubah sesuai tuntutan sosial. Di satu sisi, ia bisa dianggap manipulatif, namun di sisi lain, bisa juga dilihat sebagai pintu masuk menuju maskulinitas baru yang lebih cair dan reflektif. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

How To

8 Hal yang Sering Ditanyakan Orang tentang Sosiologi

PoV 8 Hal yang Sering Ditanyakan Orang tentang Sosiologi Banyak orang penasaran dengan Sosiologi: apa sebenarnya yang dipelajari, apa bedanya dengan ilmu sosial lain, dan ke mana lulusannya bisa berkarier. Nah, berikut ini beberapa pertanyaan yang paling sering muncul tentang Sosiologi, lengkap dengan jawabannya. 1. Apa itu Sosiologi dan Pentingkah? Sosiologi adalah studi tentang masyarakat dan perilaku sosial. Ilmu ini penting karena membantu kita memahami dunia sosial, bagaimana manusia berinteraksi, serta bagaimana institusi dan norma terbentuk. Dengan Sosiologi, kita bisa melihat lebih dalam dinamika kehidupan sosial yang seringkali tidak terlihat kasat mata. 2. Apa Bedanya Sosiologi dengan Ilmu Sosial Lain? Sosiologi memiliki fokus khusus pada perilaku dan institusi sosial. Berbeda dengan ilmu sosial lain—misalnya psikologi yang lebih menekankan pada perilaku individu, atau ilmu politik yang berfokus pada kekuasaan dan pemerintahan—Sosiologi memandang masyarakat secara lebih luas dan holistik. 3. Bisa Kerja di Mana Kalau Lulus Sosiologi? Lulusan Sosiologi memiliki peluang karier yang cukup luas. Mereka bisa menjadi peneliti, analis sosial, akademisi, pegawai pemerintahan, pekerja di organisasi nirlaba, pekerja sosial, hingga social entrepreneur. Dengan kemampuan analisis sosial, lulusan Sosiologi dapat berkontribusi di berbagai bidang yang berhubungan dengan masyarakat. 4. Gimana Sosiologi Bisa Membantu Menyelesaikan Masalah Sosial? Sosiologi memberi pemahaman tentang sebab dan akibat dari berbagai persoalan sosial, seperti ketidaksetaraan, diskriminasi, atau kemiskinan. Dari pemahaman itu, Sosiologi menawarkan alternatif solusi berbasis penelitian dan analisis mendalam. Dengan kata lain, Sosiologi membantu kita bukan hanya memahami masalah, tetapi juga mencari jalan keluar. 5. Gimana Masa Depan Sosiologi sebagai Ilmu? Selama ada manusia dan masyarakat, Sosiologi akan tetap relevan. Setiap perubahan sosial, baik dalam skala kecil maupun global, memerlukan analisis sosiologis. Dari isu lingkungan, digitalisasi, hingga ketidaksetaraan sosial, Sosiologi akan terus dibutuhkan untuk memahami dan mengurai kompleksitas kehidupan manusia. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Info

10 Tips untuk Mahasiswa Baru Jurusan Sosiologi

Info 10 Tips untuk Mahasiswa Baru Jurusan Sosiologi Masuk ke jurusan Sosiologi berarti siap menghadapi dunia baru yang penuh bacaan, diskusi kritis, dan latihan berpikir tajam. Biar perjalanan akademikmu lebih terarah, berikut 10 tips penting yang bisa membantu kamu sebagai mahasiswa baru Sosiologi. 1. Bersiaplah untuk Membaca & Menulis Di Sosiologi, membaca adalah makanan sehari-hari. Semakin tinggi tingkat kuliahmu, semakin sulit pula bacaan yang harus kamu hadapi. Tapi jangan khawatir, membaca akan membentuk dasar pemahamanmu. Selain itu, menulis juga jadi keterampilan utama. Tulisan adalah bukti kemampuanmu dalam mengolah ide dan teori sosiologi. 2. Jangan Alergi Sama Hitungan Meski bukan jurusan matematika, kamu tetap akan berhadapan dengan angka. Metode kuantitatif, survei, dan statistik sering digunakan untuk memahami fenomena sosial. Jadi, jangan kaget kalau angka dan grafik ikut hadir dalam perjalananmu. 3. Bersiap Menjelajahi Berbagai Topik Sosiologi itu luas. Dari politik, agama, budaya, olahraga, film, perceraian, sampai isu-isu global—semuanya bisa dikaji secara sosiologis. Jadi, terbukalah dengan keragaman topik yang akan kamu temui. 4. Kenali Penelitian Dosenmu Setiap dosen punya minat penelitian yang spesifik. Mengenali penelitian mereka bisa membuka jalan bagimu untuk mendalami topik yang sama. Siapa tahu, dari sana lahir peluang penelitian atau skripsi yang menarik. 5. Bersiaplah Menghadapi Topik yang Tidak Menyenangkan Tidak semua fenomena sosial itu indah. Kadang kamu harus membahas hal-hal yang menyakitkan atau tidak nyaman, seperti diskriminasi, kemiskinan, perang, atau kekerasan berbasis gender. Justru dari sana, kepekaan sosiologismu akan terasah. 6. Membuat Catatan Materi sosiologi sering kali luas dan beragam. Catatlah hal-hal penting yang menarik minatmu. Catatan bukan hanya untuk ujian, tapi juga bisa jadi bahan refleksi jangka panjang. 7. Tetap Update dengan Perkembangan Sosial Masyarakat terus berubah, begitu juga fenomena yang terjadi. Sebagai mahasiswa Sosiologi, penting untuk selalu mengikuti berita, tren, dan dinamika sosial. Dengan begitu, teori yang kamu pelajari akan terasa relevan dengan realitas sehari-hari. 8. Pelajari Keterampilan Penelitian dan Analisis Belajar sosiologi bukan cuma soal menguasai teori, tapi juga keterampilan praktis. Kamu akan dilatih meneliti, menganalisis data, hingga membuat interpretasi sosial. Ini keterampilan yang sangat berguna, bahkan di luar dunia akademik. 9. Fokus pada Penerapan, Bukan Hafalan Teori sosiologi bukan untuk dihafalkan mentah-mentah, melainkan dipahami dan digunakan sebagai lensa untuk melihat fenomena. Semakin sering kamu mempraktikkan teori dalam kehidupan sehari-hari, semakin tajam pemahamanmu. 10. Aktif Berorganisasi Belajar sosiologi tidak hanya di kelas. Dunia organisasi adalah laboratorium sosial yang nyata. Di sana, kamu bisa menguji teori sekaligus mengembangkan keterampilan sosial, kepemimpinan, dan kerja sama tim. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Book Review

Buku-Buku Sosiologi Politik yang Mengubah Cara Kita Melihat Negara

Book Review Buku-Buku Sosiologi Politik yang Mengubah Cara Kita Melihat Negara Setelah membaca karya-karya penting dalam sosiologi politik ini, cara pandang kita terhadap negara tidak akan pernah sama lagi. Para pemikir besar, dari Machiavelli hingga James C. Scott, menyingkap bagaimana kekuasaan bekerja, siapa yang benar-benar mengendalikan negara, dan apa dampak kebijakan terhadap masyarakat. Niccolò Machiavelli – The Prince Dalam karya klasik The Prince, Machiavelli menyatakan bahwa penguasa harus memprioritaskan stabilitas dan keamanan negara di atas segalanya, bahkan jika harus menempuh jalan yang tidak bermoral. Bagi Machiavelli, seorang pemimpin yang efektif harus ditakuti sekaligus dicintai, tetapi jika harus memilih, rasa takut lebih ampuh dalam menjaga kekuasaan. Sang penguasa ideal harus licik seperti rubah dan kuat seperti singa, bahkan rela menghalalkan segala cara demi bertahan. Max Weber – Politics as a Vocation Weber melihat politik modern sebagai medan yang sarat dengan dilema etis. Ia menyatakan bahwa politik menuntut etika tujuan akhir (berpegang pada prinsip moral) sekaligus etika tanggung jawab (mempertimbangkan konsekuensi nyata). Dalam analisisnya, negara modern pada dasarnya adalah entitas yang memiliki monopoli atas kekerasan yang sah, sebuah kekuatan yang membuatnya sangat penting, sekaligus berpotensi berbahaya. Karl Marx & Friedrich Engels – The German Ideology Bagi Marx dan Engels, sejarah bukan digerakkan oleh ide-ide besar, melainkan oleh kekuatan material produksi. Dalam The German Ideology, mereka menegaskan bahwa struktur sosial dan politik lahir dari kondisi material, dengan perjuangan kelas sebagai motor perubahan sejarah. Kapitalisme, yang penuh kontradiksi, pada akhirnya diyakini akan runtuh dan digantikan oleh revolusi komunis. C. Wright Mills – The Power Elite Mills menyoroti realitas demokrasi di Amerika Serikat. Menurutnya, keputusan-keputusan penting tidak diambil oleh rakyat banyak, melainkan oleh sekelompok kecil elit yang terdiri dari politisi, pengusaha, dan militer. Kelompok inilah yang ia sebut sebagai the power elite. Mereka beroperasi berdasarkan kepentingan bersama, saling bertukar peran, dan secara efektif meminggirkan publik dari proses demokrasi. James C. Scott – Seeing Like a State Scott memberikan kritik tajam terhadap cara negara merencanakan masyarakat. Ia menyatakan bahwa pendekatan modernisme tinggi yang menekankan standardisasi dan kontrol dari atas (top-down) sering kali gagal. Hal ini terjadi karena negara mengabaikan pengetahuan lokal serta kompleksitas relasi sosial dan ekologi. Skema besar negara, yang tampak rapi di atas kertas, justru sering berujung pada konsekuensi yang tidak diinginkan—bahkan bencana. Dengan membaca karya-karya ini, kita belajar bahwa negara bukanlah entitas yang netral atau sederhana. Ia adalah arena kekuasaan, tempat ide, kepentingan, dan konflik bertemu. Pandangan para pemikir ini membuka mata kita untuk melihat negara dengan cara yang lebih kritis, tajam, dan realistis.   Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Mengenal Tokoh

Memahami Dunia Postmodern: Suara Para Pemikir Besar

Mengenal Tokoh Memahami Dunia Postmodern: Suara Para Pemikir Besar Kehidupan modern yang kita jalani kini telah banyak berubah. Kompleksitas dunia saat ini tidak lagi sepenuhnya bisa dijelaskan dengan teori sosiologi klasik atau modern. Karena itu, muncul kebutuhan akan kerangka berpikir baru—teori postmodern—untuk memahami perubahan yang begitu cepat dalam masyarakat, budaya, dan pengetahuan. Lalu, apa kata para pemikir besar tentang dunia postmodern ini? Berikut pandangan tokoh-tokoh kunci yang membentuk fondasi pemikiran postmodern. Jean-François Lyotard: Akhir dari Meta-Narasi Lyotard menegaskan bahwa di era postmodern, tidak ada lagi meta-narasi—cerita besar yang mampu menjelaskan segala hal tentang dunia. Narasi tunggal seperti “kemajuan” atau “rasionalitas” yang dulu diyakini mampu memberi jawaban universal, kini dipandang tidak memadai. Sebaliknya, Lyotard menekankan pentingnya menghargai keragaman cerita kecil (petit narratives) yang muncul dari pengalaman individu maupun komunitas. Jean Baudrillard: Dunia Hiperrealitas Baudrillard berpendapat bahwa realitas di masyarakat postmodern telah berubah secara radikal. Kita tidak hanya hidup dalam kenyataan yang nyata, tetapi juga dalam hiperrealitas—realitas yang dibentuk oleh simulasi, tanda, dan media. Televisi, iklan, dan internet menciptakan dunia buatan yang sering kali lebih berpengaruh dibanding kenyataan itu sendiri. Dengan demikian, batas antara realitas dan ilusi semakin kabur. Jacques Derrida: Dekonstruksi Oposisi Biner Derrida menolak pandangan bahwa kenyataan bisa dipahami hanya melalui oposisi biner seperti benar–salah, baik–buruk, atau rasional–irasional. Menurutnya, dikotomi semacam ini adalah hasil konstruksi kekuasaan yang tersembunyi. Karena itu, ia menawarkan metode dekonstruksi: membongkar teks, bahasa, dan makna untuk mengungkap kompleksitas dan keragaman yang selama ini ditutupi oleh narasi dominan. Michel Foucault: Pengetahuan dan Kekuasaan Foucault menyoroti hubungan erat antara pengetahuan dan kekuasaan. Ia berpendapat bahwa pengetahuan tidak pernah netral, melainkan selalu diproduksi dalam kerangka relasi kekuasaan. Dengan kata lain, apa yang dianggap “benar” dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh siapa yang berkuasa dan bagaimana mereka mendefinisikan kebenaran itu. Penutup Para pemikir postmodern ini membantu kita melihat bahwa dunia saat ini penuh dengan keragaman, simulasi, dan relasi kekuasaan yang tersembunyi. Mereka mengingatkan bahwa tidak ada satu teori tunggal yang bisa menjelaskan segalanya. Sebaliknya, pemahaman tentang masyarakat postmodern harus dibangun dari keberagaman perspektif, keterbukaan terhadap perbedaan, dan kesadaran kritis atas bagaimana realitas dikonstruksi. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Ringkasan Teori

Siapa Diri Kita? Tiga Perspektif Sosiologi untuk Memahami Identitas Diri

Ringkasan Teori Siapa Diri Kita? Tiga Perspektif Sosiologi untuk Memahami Identitas Diri Modernitas sering membuat kita bertanya-tanya: siapa sebenarnya diri kita? Apakah diri terbentuk dari kehendak pribadi, dari pandangan orang lain, atau dari kelompok sosial tempat kita berada? Sosiologi menawarkan beberapa teori penting yang bisa membantu kita menjawab kegelisahan ini. Tiga tokoh besar berikut memberi kontribusi besar dalam memahami konsep diri dan identitas. George Herbert Mead: Interaksionisme Simbolik Mead menjelaskan bahwa konsep diri (self) manusia terbentuk dari dua dimensi: “I” dan “Me”. “I” adalah sisi diri sebagai subjek yang aktif, bertindak berdasarkan inisiatif pribadi. Sementara “Me” adalah sisi diri sebagai objek, yang dibentuk oleh norma dan pandangan masyarakat. Identitas diri adalah hasil negosiasi terus-menerus antara “I” dan “Me” dalam interaksi sosial. Charles Horton Cooley: Looking-Glass Self Cooley memperkenalkan gagasan bahwa diri kita seperti sebuah cermin. Kita membentuk konsep diri dengan membayangkan bagaimana orang lain melihat kita, menafsirkan reaksi mereka, lalu menjadikannya cerminan untuk mengenal siapa diri kita. Dengan kata lain, identitas terbentuk melalui refleksi sosial: kita adalah apa yang orang lain lihat dalam diri kita. Henri Tajfel & John Turner: Teori Identitas Sosial Tajfel dan Turner menekankan pentingnya keanggotaan kelompok dalam pembentukan identitas. Identitas sosial kita terbentuk melalui proses kategorisasi, identifikasi, dan perbandingan dengan kelompok lain. Keikutsertaan dalam kelompok sosial—seperti etnis, agama, profesi, atau komunitas—memberi rasa memiliki dan turut menentukan siapa diri kita. Kesimpulan Ketiga teori ini menegaskan bahwa diri kita bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan hasil interaksi sosial yang kompleks. Identitas terbentuk dari negosiasi pribadi, cermin sosial orang lain, dan keterikatan dengan kelompok. Memahami teori-teori ini membantu kita menyadari bahwa menemukan jati diri bukan sekadar pencarian ke dalam, melainkan juga refleksi atas hubungan sosial di sekitar kita. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

How To

Menentukan Metode Riset Bukan Soal Selera

How to Menentukan Metode Riset Bukan Soal Selera Memilih metode penelitian itu bukan sekadar soal suka atau tidak suka. Metode riset ditentukan berdasarkan pertanyaan penelitian dan tujuan penelitian. Apakah riset kamu bertujuan untuk mengukur sesuatu, mengeksplorasi ide, atau bahkan menggabungkan keduanya? Nah, pilihan metode harus menyesuaikan dengan tujuan riset, bukan asal pilih. Tips Menentukan Metode Penelitian: 1. Tentukan Pertanyaan dan Tujuan Penelitian Anda Kuantitatif: Cocok jika pertanyaan riset ingin mengukur sesuatu, menguji hipotesis, atau mencari hubungan sebab-akibat. Kualitatif: Tepat jika tujuan riset adalah mengeksplorasi makna, ide, atau pengalaman. 2. Pertimbangkan Sifat Penelitian Anda Eksploratori → kalau mau mengembangkan teori baru → pakai metode kualitatif (misalnya wawancara atau studi kasus). Deskriptif → kalau mau menggambarkan karakteristik populasi → metode kuantitatif (misalnya survei, statistik deskriptif). Eksplanatori → kalau mau meneliti hubungan antar variabel atau menguji hipotesis → metode kuantitatif/eksperimen lebih sesuai. 3. Evaluasi Sumber Daya dan Kendala Waktu & Anggaran → Survei kuantitatif bisa lebih efisien untuk data besar, sedangkan wawancara kualitatif butuh waktu & tenaga lebih banyak. Ketersediaan Data → Punya akses data sekunder atau harus kumpulkan data primer baru? Keahlian → Apakah kamu siap dengan analisis statistik (kuantitatif) atau analisis tematik/naratif (kualitatif)? 4. Tinjauan Literatur Cek bagaimana topik serupa sudah diteliti sebelumnya. Identifikasi metodologi yang umum dipakai di bidangmu. Cari gap dalam literatur yang bisa kamu isi dengan metode yang lebih pas. 5. Pilih Metode Pengumpulan Data yang Tepat Kuantitatif → survei, eksperimen, analisis statistik. Kualitatif → wawancara mendalam, FGD (focus group discussion), observasi, studi kasus. Mixed Methods → gabungan kuantitatif & kualitatif untuk dapatkan hasil lebih komprehensif. Jadi, memilih metode penelitian itu seperti memilih “alat yang tepat” untuk menjawab pertanyaan riset. Semakin jelas tujuanmu, semakin mudah pula memilih metode yang pas. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Info

Belajar Sosiologi Mau Jadi Apa?

Info Belajar Sosiologi Mau Jadi Apa? Banyak yang bertanya, “Kalau kuliah di Sosiologi, nanti bisa jadi apa?” Jawabannya: ada banyak jalur yang bisa ditempuh. Lulusan Sosiologi tidak hanya paham teori, tetapi juga dibekali keterampilan analisis, riset, dan pemberdayaan sosial yang sangat dibutuhkan di masyarakat. Berikut beberapa kompetensi utama yang bisa menjadi pilihan jalur karier lulusan Sosiologi. Peneliti Sosial Apa yang mereka lakukan?Peneliti sosial adalah individu yang melakukan penelitian ilmiah mengenai masyarakat, perilaku manusia, dan interaksi sosial. Dengan menggunakan metode ilmiah, peneliti sosial berusaha memahami berbagai aspek kehidupan sosial dan budaya. Fokusnya bisa sangat luas—mulai dari isu kemiskinan, perubahan sosial, konflik, hingga media dan teknologi. Seorang peneliti sosial dapat bekerja di lembaga riset, universitas, lembaga pemerintah, maupun lembaga internasional. Analis Sosial Apa yang mereka lakukan?Analis sosial bertugas membaca realitas sosial secara lebih mendalam. Mereka meneliti aspek sejarah, struktur, budaya, hingga interaksi antar faktor yang memengaruhi masyarakat. Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran utuh tentang situasi sosial, mengidentifikasi masalah, dan merumuskan solusi yang tepat. Pekerjaan ini sering dilakukan oleh akademisi, peneliti, maupun praktisi di LSM (NGO) dan lembaga kebijakan publik. Pemberdaya Sosial Apa yang mereka lakukan?Pemberdaya sosial berfokus pada upaya meningkatkan kapasitas individu maupun kelompok masyarakat agar mampu mengendalikan kehidupannya sendiri. Mereka memberikan pendampingan, pengetahuan, keterampilan, dan kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat dalam pengambilan keputusan, mengakses sumber daya, dan mengembangkan potensi lokal. Profesi ini biasanya dijalankan oleh pekerja komunitas, aktivis, maupun program CSR perusahaan yang terjun langsung ke masyarakat. Jadi, belajar Sosiologi bukan sekadar memahami teori, tapi juga melatih diri untuk membaca realitas sosial, menemukan solusi, dan memberdayakan masyarakat. Inilah yang menjadikan lulusan Sosiologi relevan di banyak bidang kerja dan pembangunan sosial. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Mengenal Tokoh

Mengenal Para Anggota Frankfurt School

Mengenal Tokoh Mengenal Para Anggota Frankfurt School Modernitas, yang awalnya dijanjikan membawa kehidupan lebih baik, justru memunculkan konflik kemanusiaan, krisis finansial, dan kerusakan lingkungan di berbagai belahan dunia. Sekelompok intelektual Jerman kemudian hadir untuk mengkritisi kondisi ini. Mereka menamakan diri sebagai Frankfurt School, yakni kelompok pemikir yang berafiliasi dengan Institut Penelitian Sosial di Universitas Frankfurt. Tokoh-tokoh berikut menjadi pusat lahirnya teori kritis yang berpengaruh besar dalam ilmu sosial dan filsafat modern. Max Horkheimer: Perintis Teori Kritis Horkheimer dikenal sebagai pendiri mazhab Frankfurt yang mempelopori pengembangan teori kritis. Ia menekankan pentingnya menganalisis fenomena sosial dan budaya secara mendalam, bukan sekadar menerima penjelasan objektif ala ilmu positif. Theodor Adorno: Kritik atas Industri Budaya Adorno menyoroti peran industri budaya dalam membentuk kesadaran masyarakat. Ia berpendapat bahwa film, musik populer, dan media massa tidak netral, melainkan alat yang sering menumpulkan daya kritis manusia. Selain itu, Adorno juga mengeksplorasi hubungan antara filsafat dan musik. Herbert Marcuse: Manusia Satu Dimensi Dalam karyanya yang terkenal One-Dimensional Man, Marcuse menjelaskan bagaimana masyarakat industri modern membatasi otonomi individu. Menurutnya, masyarakat kapitalis cenderung melahirkan manusia yang pasif, kehilangan daya kritis, dan hanya tunduk pada logika konsumsi. Erich Fromm: Psikologi Sosial dan Kapitalisme Fromm, seorang psikolog sosial, menekankan dimensi psikologis kehidupan sosial. Ia menganalisis bagaimana kapitalisme modern memengaruhi kondisi batin manusia—membuat individu teralienasi, kesepian, dan kehilangan makna hidup. Jürgen Habermas: Teori Komunikasi dan Ruang Publik Sebagai generasi kedua Frankfurt School, Habermas melanjutkan tradisi teori kritis dengan menambahkan fokus pada komunikasi. Ia memperkenalkan konsep ruang publik, yakni arena di mana warga negara bisa berdiskusi secara rasional demi terciptanya demokrasi yang sehat. Dengan pemikiran tokoh-tokoh tersebut, Frankfurt School berhasil memberikan warisan intelektual yang masih relevan hingga kini. Mereka menegaskan bahwa kritik atas modernitas dan kapitalisme bukanlah sekadar penolakan, melainkan upaya untuk menemukan jalan menuju kehidupan yang lebih manusiawi. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Ringkasan Teori

Role Exit: Saat Kita Kehilangan Peran dan Menemukan Jati Diri Baru

Ringkasan Teori Role Exit: Saat Kita Kehilangan Peran dan Menemukan Jati Diri Baru Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak hanya memerankan satu peran saja. Kita bisa menjadi mahasiswa, pekerja, pasangan, anak, orang tua, atau anggota komunitas tertentu. Namun, ada kalanya peran yang melekat pada diri kita harus dilepaskan. Situasi inilah yang disebut dengan role exit, yakni saat seseorang keluar dari sebuah peran yang penting dalam hidupnya. Salah satu contoh yang paling dekat dengan kita adalah ketika menyelesaikan kuliah. Setelah lulus, kita tidak lagi berstatus sebagai mahasiswa, sebuah peran yang selama bertahun-tahun membentuk identitas diri. Peralihan ini seringkali membingungkan, karena kita dituntut untuk segera menemukan peran baru di dunia kerja atau kehidupan bermasyarakat. Fenomena ini menegaskan bahwa role exit adalah pengalaman yang hampir setiap orang alami dalam hidupnya. Menurut Helen Rose Fuchs Ebaugh, seorang sosiolog yang merumuskan teori role exit pada 1970-an, keluar dari peran adalah “proses pelepasan diri dari peran yang penting bagi identitas seseorang dan pembentukan kembali identitas pada peran baru.” Riset Ebaugh bermula dari penelitiannya terhadap para mantan biarawati, namun temuan ini ternyata berlaku lebih luas: siapa saja, dalam berbagai situasi sosial, bisa mengalaminya. Fenomena keluar peran semakin relevan di tengah kehidupan modern yang kompetitif. Banyak orang menghadapi perubahan besar yang mengguncang identitas dirinya, seperti lulus kuliah, kehilangan pekerjaan, perceraian, atau bahkan pindah profesi. Setiap perubahan besar itu memaksa seseorang untuk melepaskan peran lama dan menemukan jati diri baru. Ebaugh menjelaskan bahwa proses role exit umumnya terjadi melalui beberapa tahapan. Pertama, muncul keraguan awal, saat seseorang merasa peran yang dijalani tidak lagi sesuai dengan harapan. Kedua, individu mulai mencari alternatif lain yang bisa lebih memuaskan kebutuhannya. Ketiga, ada titik balik, biasanya berupa peristiwa besar yang memaksa seseorang keluar dari peran lama. Terakhir, individu benar-benar melepaskan peran lama dan membangun identitas baru yang lebih sesuai dengan kehidupannya saat ini. Ambil contoh para mahasiswa yang baru lulus. Bagi mereka, meninggalkan kampus berarti juga melepaskan lingkaran pertemanan, rutinitas kuliah, dan suasana yang selama ini membentuk identitas diri. Banyak yang merasa kehilangan arah, bahkan frustrasi, ketika harus menyesuaikan diri dengan dunia baru yang penuh tantangan. Namun, seiring waktu, mereka akan membangun identitas baru—misalnya sebagai profesional di dunia kerja, sebagai pengusaha, atau sebagai bagian dari komunitas sosial yang lain. Dengan kata lain, role exit adalah bagian alami dari perjalanan hidup manusia. Ia memang bisa menimbulkan disorientasi, tetapi juga membuka peluang bagi seseorang untuk menemukan versi dirinya yang baru. Memahami proses ini membantu kita lebih siap menghadapi setiap perubahan besar dalam hidup, serta lebih bijak dalam membentuk identitas baru yang selaras dengan perjalanan hidup kita. Referensi: Ebaugh, H. R. F. (1988). Becoming an Ex: The Process of Role Exit. Chicago: University of Chicago Press. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Scroll to Top