Author name: perspektifsosiologi

Konsep

Borjuis Kecil: Borjuis Tapi Kecil-kecilan

Konsep Borjuis Kecil: Borjuis Tapi Kecil-kecilan Istilah “borjuis kecil” mengacu pada kelas dalam teori kelas Marx. Mereka disebut sebagai “borjuis kecil” karena sebagian besar pekerjaannya dilakukan secara mandiri, atau dengan mempekerjakan beberapa buruh dalam kegiatan ekonomi mereka. Kelas ini sering dikaitkan dengan pemilik toko kecil, pengrajin independen, atau produsen kecil yang berfungsi sebagai penyangga antara kelas kapitalis (borjuis) dan kelas pekerja (proletariat).Posisi di Antara Dua KelasBorjuis kecil berada dalam posisi unik di tengah masyarakat, terjebak di antara dua kutub, yakni borjuis besar dan proletariat. Posisi ini menyebabkan mereka sering terombang-ambing oleh kepentingan ekonomi yang bertentangan, yang membuat mereka menjadi kelas yang cair secara ideologis dan politis. Di satu sisi, mereka dapat mengambil peran revolusioner dengan mendukung perubahan bersama pekerja, namun di sisi lain, mereka juga bisa bersikap konservatif, terutama jika kepentingan ekonomi mereka terancam. Oleh karena itu, meskipun mereka didefinisikan secara ekonomi, posisi mereka dalam hal ideologi dan politik lebih fleksibel.Perjuangan dan Pergolakan LoyalitasPada tahun 1840-an, borjuis kecil, yang merasa tidak puas dan tertekan oleh kelaparan, berjuang bersama mahasiswa dan proletar perkotaan untuk menuntut reformasi liberal serta pengakuan hak-hak pekerja. Namun, gerakan ini berakhir dengan pergolakan anarkis, yang mengarah pada perubahan dalam aliansi politik mereka. Akhirnya, borjuis kecil beralih ke gerakan kontra-revolusioner yang melibatkan kaum tani konservatif, borjuis, dan sisa-sisa kekuatan feodal. Hal ini mengarah pada berdirinya Republik Prancis Kedua dengan presiden Napoleon III yang kemudian menjadi Kaisar Prancis.Dari Borjuis Kecil ke Kelas MenengahPada akhir abad ke-20, istilah “borjuis kecil” mulai jarang digunakan dan digantikan dengan istilah “kelas menengah” (Poulantzas, 1979). Para ahli membedakan borjuis kecil dari proletariat dan borjuis besar dengan berfokus pada pekerjaan mental yang mereka lakukan, yang berbeda dengan pekerjaan fisik yang dilakukan oleh kelas pekerja. Perbedaan ini menggambarkan bagaimana peran borjuis kecil bertransformasi dalam masyarakat kapitalis, hingga akhirnya mereka menjadi bagian dari kelas menengah yang sekarang merupakan bagian penting dari ekonomi kapitalis modern.Sumber:Poulantzas, Nicos. Kelas dalam Kapitalisme Kontemporer. NLB, 1975 (asli 1973). Dr. Dede SyarifDr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani SetiaLulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Info

6 Buku Sosiologi yang Paling Banyak Dibaca dan Dikutip Versi Goodreads

Info 6 Buku Sosiologi yang Paling Banyak Dibaca dan Dikutip Versi Goodreads Sosiologi adalah ilmu yang mencoba memahami dan menganalisis pola-pola sosial dalam masyarakat, serta pengaruh berbagai faktor terhadap perilaku individu dan kelompok. Dalam perjalanan perkembangan ilmu ini, banyak buku yang telah menjadi bacaan penting bagi akademisi, mahasiswa, dan bahkan masyarakat umum. Berikut adalah enam buku sosiologi yang paling banyak dibaca dan dikutip, berdasarkan ulasan dari Goodreads.1. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (Max Weber)Buku ini merupakan karya monumental dari Max Weber yang menggali hubungan antara Protestantisme, terutama ajaran Calvinisme, dan kemunculan kapitalisme. Weber berargumen bahwa etika kerja yang dikembangkan oleh orang Protestan mendorong kemunculan sistem ekonomi kapitalis yang efisien. Ia mengaitkan prinsip hidup sederhana, rasionalitas, dan kerja keras dengan keberhasilan ekonomi dalam konteks masyarakat Barat. Buku ini memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana nilai-nilai agama dapat berkontribusi pada pembentukan sistem ekonomi dan sosial yang lebih besar.2. The Sociological Imagination (C. Wright Mills)C. Wright Mills dalam bukunya ini memperkenalkan konsep sociological imagination, yang mengajak pembaca untuk melihat keterkaitan antara pengalaman individu dan struktur sosial yang lebih luas. Mills mendorong kita untuk memahami bagaimana masalah pribadi sering kali merupakan dampak dari isu-isu publik, seperti politik dan ekonomi. Buku ini berperan penting dalam mengajarkan sosiologi sebagai alat untuk memahami dunia sosial dan membantu pembaca berpikir lebih kritis tentang bagaimana individu dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang lebih besar.3. The Presentation of Self in Everyday Life (Erving Goffman)Erving Goffman menggunakan pendekatan dramaturgis dalam buku ini, memandang kehidupan sosial sebagai sebuah pertunjukan. Ia menjelaskan bagaimana individu memainkan berbagai peran dalam kehidupan sehari-hari, tergantung pada konteks sosial dan interaksi dengan orang lain. Buku ini mengeksplorasi konsep-konsep seperti “masker sosial”, “presentasi diri”, dan “peran sosial” dalam berbagai setting. Goffman menunjukkan bahwa interaksi sosial adalah proses kompleks yang melibatkan pengelolaan identitas diri di depan orang lain, yang sering kali berbeda dari kenyataan internal.4. The Social Construction of Reality (Peter L. Berger dan Thomas Luckmann)Dalam buku ini, Peter L. Berger dan Thomas Luckmann membahas bagaimana realitas sosial dibentuk melalui interaksi sosial dan makna bersama. Mereka mengungkapkan bahwa apa yang kita anggap sebagai “realitas” adalah hasil konstruksi sosial yang dikembangkan dan dipertahankan melalui bahasa, budaya, dan institusi sosial. Konsep social construction ini menggugah pembaca untuk berpikir kritis tentang bagaimana budaya, nilai, dan norma membentuk pemahaman kita tentang dunia dan mempengaruhi cara kita bertindak dalam masyarakat.5. Mind, Self, and Society (George Herbert Mead)George Herbert Mead adalah salah satu pelopor teori interaksionisme simbolik, dan dalam buku ini ia mengembangkan konsep-konsep dasar tentang bagaimana diri (self) terbentuk melalui interaksi sosial. Mead menekankan pentingnya simbol, komunikasi, dan interaksi dalam pembentukan identitas pribadi. Melalui pemikiran ini, ia menunjukkan bahwa individu tidak hanya dipengaruhi oleh struktur sosial, tetapi juga berperan aktif dalam membentuk dirinya melalui interaksi dengan orang lain. Buku ini memberikan dasar bagi pemahaman tentang psikologi sosial dan dinamika kelompok dalam masyarakat.6. Suicide (Émile Durkheim)Buku ini adalah salah satu karya paling penting dalam sejarah sosiologi. Émile Durkheim menggunakan metode sosiologis untuk menganalisis bunuh diri, dengan tujuan untuk memahami faktor-faktor sosial yang mempengaruhi keputusan individu untuk mengakhiri hidupnya. Durkheim menunjukkan bahwa tingkat bunuh diri tidak dapat dijelaskan hanya dengan faktor individu, tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi sosial, seperti tingkat integrasi sosial dan regulasi. Buku ini memberikan pemahaman mendalam tentang bagaimana kekuatan sosial dapat mempengaruhi perilaku individu, bahkan dalam keputusan ekstrem seperti bunuh diri.Keenam buku ini memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan pemikiran sosiologi, dan masing-masing menawarkan perspektif yang unik untuk memahami dinamika sosial dalam masyarakat. Dari analisis tentang pengaruh agama terhadap kapitalisme oleh Max Weber hingga pemahaman tentang interaksi sosial dan identitas diri oleh Goffman, buku-buku ini membuka wawasan yang lebih luas tentang bagaimana struktur sosial, budaya, dan individu saling berinteraksi dan membentuk dunia kita. Dr. Dede SyarifDr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani SetiaLulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

How To

Cara Kamu Tahu Kalau Teori Sosiologi Tertentu Cocok untuk Analisis Suatu Peristiwa

How Cara Kamu Tahu Kalau Teori Sosiologi Tertentu Cocok untuk Analisis Suatu Peristiwa Untuk menerapkan teori sosiologi dalam menganalisis suatu fenomena sosial dengan efektif, penting bagi kita untuk memahami konsep inti, asumsi dasar, dan ruang lingkup dari teori yang akan digunakan. Langkah pertama adalah memahami dengan mendalam teori yang ingin diterapkan. Ini meliputi identifikasi konsep-konsep utama yang membentuk teori tersebut, memahami asumsi-asumsi yang mendasarinya, serta mengenali batasan dan ruang lingkup teori. Hal ini penting untuk memastikan bahwa teori tersebut relevan dengan permasalahan yang akan dianalisis.1. Pahami TeoriLangkah pertama dalam menerapkan teori sosiologi adalah memahami dengan seksama teori yang akan digunakan. Ini melibatkan pemahaman tentang konsep inti teori, asumsi dasar yang membangunnya, dan ruang lingkup penerapannya. Sebelum menganalisis fenomena sosial, kita harus bisa mengidentifikasi dan memahami dengan jelas argumen-argumen utama yang dikemukakan oleh teori tersebut.2. Analisis Fenomena SosialSetelah teori dipahami, langkah berikutnya adalah menganalisis fenomena sosial yang akan diteliti. Tentukan dengan jelas fenomena sosial yang sedang terjadi dan evaluasi relevansinya dengan teori yang telah dipahami sebelumnya. Hal ini melibatkan penentuan apakah teori yang dipilih memberikan penjelasan yang tepat untuk fenomena tersebut. Penting untuk mengidentifikasi konsep-konsep kunci dari teori yang bisa membantu menjelaskan fenomena tersebut secara lebih mendalam.3. Terapkan TeoriLangkah terakhir adalah menerapkan teori yang telah dipahami untuk menjelaskan fenomena sosial yang telah dianalisis. Berdasarkan teori tersebut, buatlah argumen yang jelas mengenai fenomena tersebut. Gunakan bukti empiris atau data relevan untuk mendukung argumen Anda dan menjelaskan hubungan antara teori dan fenomena sosial yang sedang dianalisis. Di samping itu, penting juga untuk mengakui keterbatasan teori dalam menjelaskan fenomena sosial tertentu. Pahami bahwa tidak ada teori yang dapat menjelaskan semuanya secara sempurna, dan dengan mengenali keterbatasan ini, kita dapat meningkatkan kedalaman analisis yang dilakukan.Dengan mengikuti langkah-langkah ini, kita dapat menganalisis fenomena sosial menggunakan teori sosiologi secara lebih terstruktur, kritis, dan mendalam, serta membuat argumen yang kuat dan didukung oleh bukti empiris. Dr. Dede SyarifDr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani SetiaLulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Konsep

Konsep Sosiologi vs Nalar Umum (Common Sense): Apa Bedanya?

Konsep Konsep Sosiologi vs Nalar Umum: Apa Bedanya? Beda Antara Konsep Sosiologi dan Nalar UmumKonsep sosiologi dan nalar umum (commonsense) memiliki kesamaan dalam hal memahami perilaku manusia dan masyarakat, namun keduanya berbeda dalam pendekatan dan metodologi. Nalar umum cenderung berlandaskan pada pengalaman sehari-hari dan norma budaya yang berkembang di masyarakat, yang sering kali mengarah pada asumsi-asumsi yang dianggap benar namun tidak selalu akurat atau tidak selalu mencerminkan pola sosial yang lebih luas. Sebaliknya, konsep sosiologi didasarkan pada penelitian yang lebih sistematis, menggunakan data empiris dan kerangka teoretis untuk lebih memahami fenomena sosial dengan cara yang lebih komprehensif dan objektif. Jadi, meskipun keduanya mengarah pada pemahaman perilaku manusia, sosiologi menggunakan pendekatan ilmiah yang lebih mendalam dan terstruktur untuk menjelaskan fenomena sosial.Commonsense (Nalar Umum)Nalar umum berasal dari pengalaman pribadi dan norma budaya yang sering kali dipercaya sebagai kebenaran oleh banyak orang berdasarkan pengalaman sehari-hari mereka. Namun, nalar umum cenderung bergantung pada pengamatan individu dan cerita yang bersifat subjektif, yang sering kali tidak mencerminkan realitas sosial yang lebih luas. Meskipun mungkin berguna dalam kehidupan sehari-hari, nalar umum bisa menjadi bias dan tidak objektif, karena asumsi yang dibangun berdasarkan pengalaman pribadi tidak selalu mencakup seluruh kompleksitas fenomena sosial.Berdasarkan Pengalaman Pribadi dan Norma Budaya: Nalar umum sering terbentuk dari pengalaman hidup sehari-hari yang kemudian dihadapkan dengan norma budaya yang ada dalam masyarakat.Bukan Hasil Riset: Tidak melalui proses penelitian atau studi yang mendalam. Biasanya terbentuk berdasarkan cerita, pengamatan kasual, dan pengalaman individu.Asumsi yang Bias: Bisa melanggengkan stereotip atau pandangan simplistik terhadap isu-isu sosial yang kompleks. Misalnya, anggapan bahwa “Orang yang kerja keras selalu berhasil,” yang mengabaikan banyak faktor lain yang lebih besar yang memengaruhi kesuksesan.Contoh Nalar Umum:”Orang yang kerja keras selalu berhasil.”Ini mungkin benar bagi beberapa orang, namun mengabaikan faktor-faktor seperti ketimpangan sosial, akses terhadap pendidikan, kondisi keluarga, atau bahkan peluang ekonomi yang bisa memengaruhi perjalanan hidup seseorang.Konsep SosiologisBerbeda dengan nalar umum, konsep sosiologi dibangun berdasarkan penelitian yang sistematis, data empiris, dan teori-teori sosial yang telah terbukti melalui observasi dan eksperimen. Sosiologi bertujuan untuk memberikan penjelasan yang lebih objektif dan menyeluruh terhadap fenomena sosial, memahami pola-pola yang membentuk masyarakat, dan mengkaji hubungan antara struktur sosial dan perilaku individu. Konsep-konsep sosiologi sering kali memfokuskan pada analisis lebih mendalam tentang bagaimana lembaga-lembaga sosial, norma-norma, dan nilai-nilai budaya mempengaruhi kehidupan individu dan kelompok.Berdasarkan Penelitian dan Data Sistematis: Konsep sosiologi dilandasi oleh penelitian dan data yang terstruktur dan terukur, yang menghasilkan kesimpulan yang lebih dapat diandalkan dibandingkan hanya berdasarkan pengalaman pribadi atau cerita.Berbasis Teori: Sosiologi menggunakan berbagai teori untuk menjelaskan dan menganalisis fenomena sosial, termasuk teori-teori tentang kelas sosial, kekuasaan, ketimpangan, keluarga, pendidikan, dan sebagainya.Fokus pada Struktur dan Pola Sosial: Sosiologi melihat bagaimana sistem sosial bekerja secara keseluruhan, bagaimana struktur sosial mempengaruhi perilaku individu dan kelompok dalam masyarakat.Contoh Konsep Sosiologi:Penelitian dampak kemiskinan terhadap pencapaian pendidikan: Sosiolog akan menganalisis berbagai faktor, seperti kurangnya akses terhadap sumber daya pendidikan, pendanaan sekolah yang tidak memadai, dan kondisi sosial ekonomi keluarga yang mempengaruhi tingkat pendidikan anak-anak. Hal ini tidak hanya dilihat dari kinerja individu, tetapi juga bagaimana struktur sosial yang lebih besar membentuk peluang dan tantangan mereka.KesimpulanMeskipun nalar umum dan konsep sosiologi keduanya berkaitan dengan pemahaman tentang masyarakat dan perilaku manusia, keduanya memiliki pendekatan yang berbeda. Nalar umum sering kali bergantung pada pengalaman individu dan norma budaya, sementara sosiologi menggunakan metode ilmiah yang lebih terstruktur dan teori sosial yang lebih luas untuk menganalisis pola sosial. Dengan demikian, sosiologi memberikan perspektif yang lebih mendalam dan objektif mengenai fenomena sosial, menghindari generalisasi atau asumsi yang tidak didasarkan pada penelitian yang sistematis. Dr. Dede SyarifDr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani SetiaLulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Ringkasan Teori

Sosiologi Kesepian: Semakin Terhubung, Tapi Semakin Kesepian

Ringkasan Teori Sosiologi Kesepian: Semakin Terhubung, Tapi Semakin Kesepian Teknologi dan Isolasi SosialDi era digital ini, kita sering kali merasa lebih terhubung dari sebelumnya. Di media sosial, kita memiliki banyak pengikut, dan hidup di kota besar seharusnya memberikan kesempatan untuk terhubung dengan berbagai orang. Namun, di balik itu semua, banyak orang yang merasa kesepian. Paradoxnya, meskipun kita semakin mudah berhubungan satu sama lain, isolasi sosial semakin merajalela. Teknologi, yang seharusnya menjadi penghubung, sering kali justru menciptakan jarak antara kita dengan orang-orang di sekitar kita, menambah kesepian yang tidak tampak namun merasuk dalam kehidupan sehari-hari.Penyebab Isolasi SosialIsolasi sosial bukanlah masalah sederhana. Ada banyak faktor yang mempengaruhi, dan salah satunya adalah perkembangan teknologi yang telah merubah pola interaksi manusia. Meski teknologi menawarkan cara baru untuk berkomunikasi, ia juga merusak hubungan yang mendalam dan bermakna yang seharusnya ada dalam kehidupan sosial kita. Media sosial, yang seharusnya menjadi platform untuk saling berbagi dan mendukung, seringkali justru menciptakan budaya koneksi yang dangkal. Konten yang terus-menerus dikurasi dan dimanipulasi, menciptakan ekspektasi yang tidak realistis di mana kita merasa orang lain lebih bahagia, lebih sukses, atau lebih populer. Inilah yang sering membuat kita merasa tak berdaya dan terisolasi.Urbanisasi dan Hilangnya Ikatan KomunitasUrbanisasi, meski membawa banyak berkah dalam hal kesempatan ekonomi dan akses sosial, juga berkontribusi pada keterasingan yang semakin mendalam. Kota-kota besar, dengan segala peluangnya, juga menciptakan ketimpangan sosial dan ketegangan dalam hubungan antarmanusia. Dalam kota besar, kita dikelilingi oleh keramaian, namun seringkali merasa terisolasi. Hilangnya ikatan komunitas yang erat, yang dulu ada di lingkungan desa atau tempat tinggal kecil, kini digantikan oleh relasi yang lebih bersifat utilitarian dan instan. Hal ini, meskipun tampaknya memberi kebebasan, justru memengaruhi kedalaman hubungan antarmanusia yang seharusnya dapat saling menguatkan.Menurunnya Hubungan yang Mendalam dan BermaknaPergeseran cara berkomunikasi dari tatap muka ke platform digital telah mengubah cara kita membangun hubungan. Interaksi tatap muka, yang sangat penting untuk membangun ikatan yang kuat, sering kali digantikan oleh percakapan melalui aplikasi atau pesan singkat. Ada tiga faktor utama yang menyebabkan penurunan kualitas hubungan ini:Kurangnya Interaksi Tatap Muka: Komunikasi digital memisahkan individu dari pengalaman nyata yang dihadirkan dalam percakapan langsung. Tanpa kehadiran fisik, emosi dan kedalaman komunikasi seringkali hilang.Meningkatnya Ketergantungan pada Teknologi: Dengan bergantung pada teknologi untuk komunikasi, kita semakin terbiasa dengan interaksi yang lebih instan dan kurang bernilai, yang sering kali mengarah pada kelelahan digital dan ketidakmampuan untuk membangun kedekatan sejati.Berubahnya Norma dan Ekspektasi Sosial: Dalam masyarakat digital, norma sosial seputar keintiman dan hubungan telah berubah. Banyak orang, terutama yang lebih muda, cenderung meremehkan pentingnya membangun hubungan yang mendalam, lebih memilih hubungan yang lebih mudah dan cepat didapatkan.Koneksi Daring yang ArtifisialMeskipun teknologi menawarkan kemudahan koneksi, banyak interaksi tersebut yang bersifat artifisial. Sherry Turkle (2011) dalam bukunya Alone Together menyatakan bahwa meskipun teknologi memberikan rasa keterhubungan, ia juga menciptakan ilusi persahabatan yang tidak memiliki kedalaman. Ketergantungan pada media sosial dan alat digital lainnya mengikis kemampuan kita untuk berinteraksi secara langsung dan dengan empati. Interaksi dalam dunia maya cenderung singkat dan tidak berbobot, tanpa ruang untuk mengembangkan rasa saling pengertian yang sesungguhnya.Mengurangi Isolasi Sosial: Solusi yang Perlu DiterapkanUntuk mengatasi masalah isolasi sosial yang semakin meluas, ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk memperbaiki hubungan sosial dan membangun komunitas yang lebih inklusif dan penuh empati.Membangun Ikatan Komunitas yang Lebih Kuat: Inisiatif lokal yang melibatkan masyarakat dalam kegiatan sosial, budaya, atau pendidikan dapat memperkuat ikatan komunitas dan mengurangi isolasi sosial. Mengadakan acara komunitas seperti pasar malam, acara seni, atau kegiatan sosial lainnya dapat mempertemukan individu-individu yang merasa terisolasi.Memupuk Empati dan Pemahaman melalui Edukasi dan Kesadaran: Meningkatkan kesadaran tentang penyebab dan dampak isolasi sosial adalah langkah penting untuk mengurangi stigma yang ada. Edukasi dapat dilakukan melalui seminar, kursus, atau bahkan program sosial yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang pentingnya hubungan antar manusia yang bermakna.Mendorong Interaksi Tatap Muka dan Hubungan yang Bermakna: Salah satu langkah yang paling penting untuk mengurangi kesepian adalah dengan mendorong lebih banyak interaksi tatap muka. Program mentoring, kelompok diskusi, dan kegiatan yang melibatkan interaksi langsung antar individu dapat meningkatkan kualitas hubungan.KesimpulanTeknologi mempermudah kita untuk terhubung, tetapi juga menciptakan ilusi hubungan tanpa kedalaman yang mengarah pada isolasi sosial. Meskipun dunia semakin terhubung melalui teknologi, penting untuk menyadari bahwa kedalaman hubungan sosial yang sesungguhnya hanya bisa tercipta melalui interaksi langsung dan empati. Dengan menciptakan ruang untuk hubungan yang lebih bermakna, kita dapat mengurangi efek negatif dari kesepian dan memperkuat kohesi sosial dalam masyarakat modern.Referensi:Turkle, Sherry. Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other. New York: Basic Books, 2011. Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

PoV

Sosiologi Bendera: One Piece di Antara Bendera Merah Putih

PoV Sosiologi Bendera: One Piece di Antara Bendera Merah Putih Bendera lebih dari sekadar simbol kain yang berkibar. Ia merupakan representasi dari nilai-nilai, semangat, sejarah, dan identitas kolektif suatu kelompok. Melalui bendera, rasa kebersamaan dan persatuan dapat tumbuh di antara anggota kelompok yang diwakilinya. Sebagai lambang yang mencerminkan perjuangan dan harapan, bendera memiliki daya simbolik yang kuat dalam kehidupan sosial suatu bangsa atau kelompok.Munculnya Bendera One PieceMeski One Piece merupakan manga shonen yang pada dasarnya dimaksudkan untuk hiburan semata, keberadaan bendera dalam dunia One Piece mengandung makna yang lebih dalam. Anime ini tidak hanya menggambarkan dunia bajak laut dengan segala petualangannya, tetapi juga membangun identitas, mengarahkan narasi sosial, dan bahkan menyentuh isu-isu politik yang relevan dengan masyarakat kita. One Piece mengajak penontonnya untuk merenung tentang konsep perlawanan, persatuan, dan kebebasan, yang terwakili melalui simbolisme bendera yang digunakan dalam cerita.Kisah di Balik Bendera One PieceCerita One Piece berfokus pada petualangan bajak laut Monkey D. Luffy dalam mencari harta karun legendaris bernama One Piece. Luffy, yang bercita-cita menjadi Raja Bajak Laut, berjuang melawan Pemerintah Dunia yang otoriter dan menindas. Selama perjalanan ini, Luffy tidak hanya bertarung untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk melindungi teman-temannya serta mereka yang lemah dan tertindas. Hal ini menciptakan narasi perjuangan yang seringkali dibandingkan dengan realitas sosial politik di dunia nyata, di mana kelompok-kelompok tertentu berada di bawah tekanan sistem yang diskriminatif dan berjuang mencari simbol perlawanan, yang dalam konteks ini terwakili oleh bendera One Piece.One Piece: Narasi Perlawanan dan Tatanan PolitikBendera One Piece, meski dalam konteks fiksi, berfungsi sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang. Keberadaan bendera ini dalam cerita tidak hanya mengacu pada identitas para bajak laut, tetapi juga merangkum narasi lebih besar tentang perjuangan melawan sistem yang tidak adil. Ini menghubungkan One Piece dengan lingkungan intertekstual yang lebih luas, di mana kisah Luffy tidak hanya bisa dibaca sebagai petualangan fiksi semata, melainkan sebagai bentuk kritik terhadap tatanan politik dan sosial yang ada. Dengan demikian, One Piece lebih dari sekadar cerita hiburan; ia menyuarakan pesan tentang kebebasan, solidaritas, dan perlawanan terhadap ketidakadilan, yang bisa dirasakan dan dipahami dalam konteks sosial-politik dunia nyata.Bendera One Piece, dengan segala simbolisme dan narasinya, menunjukkan bahwa dalam setiap perjuangan, identitas dan simbol-simbol perlawanan memiliki peran yang sangat besar dalam membangun persatuan dan semangat kolektif. Seperti bendera merah putih yang melambangkan perjuangan bangsa Indonesia, bendera One Piece juga menjadi simbol bagi mereka yang berjuang melawan ketidakadilan, yang memberikan harapan bahwa sebuah perubahan adalah hal yang mungkin tercapai. Dr. Dede SyarifDr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani SetiaLulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Konsep

Kekerasan Simbolik: Tak Terlihat, Tapi Nyata Pengaruhnya

Konsep Kekerasan Simbolik: Tak Terlihat, Tapi Nyata Pengaruhnya Kekerasan simbolik merupakan konsep yang sering kali tidak tampak oleh mata kita, tetapi pengaruhnya jauh lebih dalam dan jauh lebih luas daripada yang kita sadari. Pierre Bourdieu, sosiolog terkemuka asal Perancis, memperkenalkan konsep ini untuk menggambarkan bentuk-bentuk dominasi yang lebih halus dan terkadang tak disadari yang terjadi melalui norma-norma sosial, nilai-nilai, dan praktik budaya yang ada dalam masyarakat. Dengan memahami konsep kekerasan simbolik, kita bisa lebih jelas melihat bagaimana struktur dan institusi sosial mempertahankan ketimpangan dan status quo yang ada.Pada dasarnya, kekerasan simbolik beroperasi melalui simbol, gagasan, dan keyakinan, bukan melalui kekuatan fisik atau kekerasan yang terlihat. Ini adalah bentuk kekuasaan yang bersifat budaya, yang membentuk cara kita memandang dunia, preferensi kita, dan perilaku kita. Bourdieu berpendapat bahwa kekerasan simbolik ini sangat efektif, terutama karena ia seringkali diinternalisasi oleh individu yang terlibat. Alih-alih berperang melawan sistem, individu justru menerima dan bahkan memperkuat hierarki dan ketimpangan sosial yang ada tanpa disadari.Salah satu aspek yang paling menarik dan menantang dari kekerasan simbolik adalah kemampuannya untuk diinternalisasi oleh mereka yang mengalaminya. Proses internalisasi ini berarti bahwa individu mulai melihat tatanan sosial yang ada sebagai sesuatu yang alami dan tak terhindarkan. Mereka mulai menerima posisi mereka dalam struktur sosial dan hierarki, seringkali tanpa bertanya lebih lanjut atau mempertanyakan apakah sistem ini adil atau tidak. Hal ini difasilitasi oleh proses sosialisasi di mana individu, sejak usia dini, mulai mempelajari dan menyerap nilai-nilai serta norma-norma dominan dari masyarakat mereka. Proses ini terjadi melalui apa yang disebut Bourdieu sebagai habitus, yaitu pola-pola kebiasaan, cara berpikir, dan tindakan yang diinternalisasi sepanjang hidup.Misalnya, dalam masyarakat yang sangat patriarkal, perempuan sering kali diajarkan untuk menerima peran tradisional mereka tanpa banyak pertanyaan. Mereka belajar untuk menerima bahwa pekerjaan rumah tangga adalah tanggung jawab mereka, atau bahwa posisi mereka dalam dunia kerja atau politik kurang penting dibandingkan laki-laki. Semua nilai ini disosialisasikan dan diterima sebagai norma yang “alami” dan tak terhindarkan. Ini adalah contoh kekerasan simbolik yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita, yang mempengaruhi tidak hanya perilaku, tetapi juga cara kita memandang dunia di sekitar kita.Kekerasan simbolik juga sangat efektif karena tidak ada pemaksaan secara fisik. Tidak ada cambuk atau kekerasan langsung yang diterapkan untuk membuat seseorang mematuhi norma tersebut. Sebaliknya, kekerasan simbolik bekerja dengan cara yang lebih halus, melalui pengaruh budaya yang berulang-ulang hingga membentuk pikiran dan perilaku kita. Hal ini memungkinkan struktur dominasi untuk bertahan, karena kita cenderung melihat dunia melalui lensa yang telah dibentuk oleh nilai-nilai dan norma yang kita internalisasi sejak kecil.Melalui internalisasi ini, orang yang mengalami kekerasan simbolik tidak lagi melihat ketimpangan sosial sebagai sesuatu yang salah atau bisa diubah. Sebaliknya, mereka mulai mempercayai bahwa sistem sosial yang ada adalah sesuatu yang alami dan tak terhindarkan. Sebagai contoh, ketika anak-anak dibesarkan dalam keluarga dengan struktur kekuasaan yang jelas—di mana ayah dianggap sebagai otoritas utama, sementara ibu dan anak-anak harus patuh—mereka belajar untuk menerima hierarki ini sebagai bagian dari kehidupan yang tidak bisa dihindari. Mereka menjadi bagian dari habitus tersebut, yang pada gilirannya mengarah pada reproduksi sistem yang sama di generasi berikutnya.Pentingnya proses sosialisasi ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Melalui sosialisasi, kita diprogram untuk menerima nilai-nilai yang dominan dalam masyarakat kita, bahkan ketika nilai-nilai tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar keadilan dan kesetaraan. Tanpa disadari, kita menjadi bagian dari sistem yang menjaga ketimpangan tersebut. Namun, jika kita mulai mengkritisi norma-norma tersebut dan menyadari bagaimana mereka bekerja, kita bisa mulai membebaskan diri dari pengaruh kekerasan simbolik dan berusaha untuk menciptakan perubahan yang lebih adil dalam masyarakat.Sebagai kesimpulan, kekerasan simbolik adalah kekuasaan yang tak terlihat tetapi sangat nyata. Dengan mempelajari dan memahami konsep ini, kita bisa lebih jernih melihat bagaimana ketimpangan sosial bertahan dalam kehidupan kita. Pierre Bourdieu mengajak kita untuk merefleksikan bagaimana habitus kita, yang terbentuk dari sosialisasi sosial, membentuk cara kita memandang diri sendiri dan dunia sekitar, serta bagaimana hal itu memperkuat struktur sosial yang ada. Ini adalah tantangan besar bagi kita untuk menciptakan perubahan sosial yang lebih adil dan setara di masa depan.Referensi:Bourdieu, P., & Wacquant, L. J. (1992). An Invitation to Reflexive Sociology. Chicago, IL: University of Chicago Press. Dr. Dede SyarifDr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani SetiaLulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Mengenal Tokoh

Henri Lefebvre: Pemikir Marxis dan Teori-Teorinya tentang Ruang dan Kehidupan Sehari-Hari

Henri Lefebvre, seorang sosiolog Marxis asal Prancis, dikenal karena teori-teorinya yang inovatif tentang ruang, kehidupan sehari-hari, dan urbanisasi. Lahir pada 16 Juni 1901, Lefebvre awalnya mempelajari filsafat dan kemudian memperdalam studi di bidang sosiologi, politik, dan studi perkotaan. Pemikirannya sangat dipengaruhi oleh teori Marxis yang mencakup analisis mengenai struktur sosial, kapitalisme, dan proses-proses sosial yang membentuk masyarakat modern. Salah satu kontribusinya yang paling penting adalah pemikirannya tentang bagaimana kapitalisme mengatur kehidupan sehari-hari dan bagaimana hal ini bisa menjadi arena perlawanan.Konsep Kehidupan Sehari-hari dalam Pemikiran LefebvreDalam karya terkenalnya, Critique of Everyday Life, Lefebvre mengeksplorasi bagaimana kapitalisme modern membentuk rutinitas kehidupan sehari-hari. Menurut Lefebvre, kehidupan sehari-hari bukan hanya tentang rutinitas sehari-hari, tetapi juga menjadi tempat dominasi kapitalisme yang paling efektif. Dalam masyarakat kapitalis, setiap aspek kehidupan manusia—mulai dari pekerjaan, konsumsi, hingga waktu luang—dikuasai dan dimanipulasi oleh kekuatan kapital untuk mempertahankan struktur sosial yang ada. Namun, Lefebvre juga melihat bahwa kehidupan sehari-hari adalah ruang potensial untuk perlawanan. Oleh karena itu, bagi Lefebvre, merebut kembali kehidupan sehari-hari merupakan langkah awal untuk merebut kebebasan sejati bagi individu dalam masyarakat.Konsumsi Budaya dan Media dalam Konteks KapitalismeSalah satu kritik utama Lefebvre terhadap kapitalisme adalah konsumsi budaya dan media yang telah berubah menjadi alat dominasi kapitalis. Dengan berkembangnya konsumerisme, individu menjadi semakin teralienasi dari diri mereka sendiri dan dari dunia sekitarnya. Lefebvre mengamati bahwa masyarakat kapitalis menciptakan relasi pasif antara individu dan dunia, di mana orang lebih banyak mengonsumsi daripada mencipta. Dalam masyarakat yang didominasi oleh konsumsi, orang cenderung menerima produk budaya dan informasi yang disediakan oleh pasar dan media massa, tanpa pertanyaan atau perlawanan. Kritik Lefebvre ini sangat relevan di era digital saat ini, di mana algoritma media sosial dan media massa telah mengatur ritme hidup masyarakat dengan konsumsi berlebihan dan manipulasi informasi. Hal ini semakin mengurangi potensi individu untuk berpikir kritis dan kreatif.Analisis Ritme: Mengatur Waktu dan Ruang dalam Kehidupan Sehari-hariLefebvre mengenalkan konsep analisis ritme sebagai cara untuk mengeksplorasi bagaimana waktu dan ruang diatur dalam kehidupan sehari-hari masyarakat modern. Dalam masyarakat kapitalis, ritme kehidupan—seperti jadwal kerja, pola lalu lintas perkotaan, dan siklus alam—dikelola untuk memaksimalkan produktivitas dan konsumerisme. Lefebvre berpendapat bahwa dengan memahami ritme ini, individu dapat meruntuhkan pola-pola sosial yang menindas dan merebut kembali otonomi atas hidup mereka sendiri. Dengan analisis ritme, individu bisa lebih sadar terhadap bagaimana waktu mereka digunakan dan bagaimana ruang sosial mereka dibentuk, yang memungkinkan mereka untuk mencari cara alternatif untuk berdampak secara sosial dan menciptakan perubahan.Kronopolitik: Kapitalisme dan Pengaturan WaktuLefebvre juga mengamati fenomena yang ia sebut sebagai “kronopolitik”, yang berkaitan dengan bagaimana kapitalisme mengatur waktu untuk memaksimalkan produktivitas. Dalam masyarakat kapitalis, waktu semakin terkompresi dan dibagi-bagi untuk memaksimalkan keuntungan. Kronopolitik merujuk pada pengaturan dan pengendalian waktu oleh kekuatan politik dan ekonomi untuk mengoptimalkan efisiensi dan produktivitas dalam sistem kapitalis. Lefebvre menekankan bahwa dalam masyarakat seperti ini, waktu bukan lagi milik individu, tetapi menjadi sumber daya yang dikendalikan oleh institusi kapitalis. Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya untuk merebut kembali waktu agar bisa digunakan untuk kreativitas, waktu luang, dan hubungan antar manusia.Implikasi dari Analisis Lefebvre terhadap Kehidupan ModernLefebvre tidak hanya menyoroti masalah dalam pengelolaan waktu dan ruang, tetapi juga menggugah kita untuk lebih kritik terhadap struktur sosial yang ada. Dalam masyarakat kapitalis yang semakin terorganisir oleh konsumsi dan produktivitas, Lefebvre melihat bahwa kehidupan sehari-hari kita semakin dikendalikan oleh kekuatan yang tidak terlihat. Dengan memahami ritme kehidupan dan menyadari pengaruh kapitalisme dalam waktu dan ruang, kita dapat mulai merebut kembali kebebasan yang terampas dalam kehidupan sehari-hari. Lefebvre mendorong kita untuk menciptakan ruang yang lebih manusiawi, tempat di mana kehidupan sosial dapat berkembang tanpa dominasi kapitalis yang mengatur setiap aspek hidup kita.Kesimpulan:Henri Lefebvre memberikan kontribusi besar dalam memahami pengaruh kapitalisme terhadap kehidupan sehari-hari melalui teori-teori tentang ruang, waktu, dan ritme kehidupan. Dengan mengkaji konsumsi budaya, media, dan pengaturan waktu dalam masyarakat modern, Lefebvre membuka wawasan baru mengenai bagaimana kita dapat merebut kembali kebebasan sejati dalam dunia yang semakin dikendalikan oleh kapitalisme. Konsep-konsep seperti analisis ritme dan kronopolitik menggambarkan bagaimana kehidupan kita semakin terstruktur untuk mendukung sistem kapitalis. Untuk itu, memahami pemikiran Lefebvre dapat menjadi langkah pertama untuk mulai mengubah pola hidup kita menuju kehidupan yang lebih bermakna dan bebas dari dominasi yang tidak terlihat ini.

PoV

Perceraian Itu Sosiologis

PoV Perceraian Itu Sosiologis Perceraian bukan hanya masalah individu atau pasangan, tetapi juga fenomena sosial yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait dalam masyarakat. Sosiologi mengkaji perceraian sebagai institusi sosial yang mencerminkan pergeseran norma, batasan, dan harapan dalam pernikahan serta kehidupan keluarga. Pergeseran ini terkait dengan tren sosial yang lebih luas dan mencerminkan transformasi dalam struktur sosial, budaya, dan kelas sosial. Dengan kata lain, perceraian tidak dapat dipahami hanya dalam konteks pribadi, tetapi juga dalam kerangka yang lebih besar, seperti struktur sosial, budaya, dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Konsep perceraian pun bervariasi, tergantung pada perkembangan waktu, konteks budaya, dan kelas sosial tertentu.Perspektif Teori Sosiologi Menjelaskan PerceraianFungsionalismeDari sudut pandang fungsionalis, lembaga sosial seperti keluarga memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas masyarakat. Dalam perspektif ini, pernikahan secara tradisional dipandang sebagai struktur sosial yang menyediakan berbagai fungsi esensial, seperti dukungan ekonomi, keintiman emosional, fungsi pengasuhan anak, dan sosialisasi. Ketika salah satu lembaga sosial, seperti pernikahan, mengalami disfungsional atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya, perceraian dapat muncul sebagai respons korektif. Perceraian, dalam hal ini, dipandang sebagai cara untuk memperbaiki atau menyesuaikan kembali struktur sosial yang ada, dengan harapan bahwa individu atau keluarga dapat memperoleh stabilitas dan kesejahteraan yang lebih baik setelahnya.Teori KonflikDari perspektif teori konflik, perceraian tidak hanya dilihat sebagai kegagalan pribadi atau masalah interpersonal, tetapi sebagai cerminan dari ketimpangan sosial yang lebih dalam. Konflik struktural dalam masyarakat—seperti ketimpangan antara pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan upahan, atau kontradiksi antara ekspektasi patriarki dan tuntutan otonomi perempuan—dapat menciptakan ketegangan yang akhirnya berujung pada perceraian. Perceraian, dalam hal ini, dianggap sebagai medan pertempuran untuk menegosiasikan kendali atas properti, anak-anak, dan bahkan identitas pribadi. Dalam masyarakat yang terstruktur oleh kekuasaan dan ketidaksetaraan, perceraian menjadi cara bagi individu untuk berjuang mempertahankan hak-hak mereka, baik itu dalam hal material maupun identitas pribadi.Interaksionisme SimbolikInteraksionisme simbolik memfokuskan pada aspek interpretatif dan interaktif dalam perceraian. Dalam pandangan ini, pernikahan dipandang sebagai negosiasi berkelanjutan tentang makna, identitas, dan peran. Selama hubungan berlangsung, kedua pihak terus-menerus menegosiasikan dan mendefinisikan ulang peran mereka dalam keluarga, hubungan, dan masyarakat. Ketika negosiasi ini gagal—entah karena kesalahpahaman, ekspektasi yang tidak terpenuhi, atau perubahan konsep diri—perceraian menjadi lebih mungkin terjadi. Perspektif ini menyoroti bahwa makna yang dikaitkan individu dengan hubungan mereka dan cara mereka menafsirkan pengalaman mereka bukanlah hal yang tetap, melainkan konstruksi sosial yang tergantung pada konteks dan pengalaman mereka dalam interaksi sosial. Dengan kata lain, perceraian terjadi ketika individu menafsirkan hubungan mereka secara berbeda, atau merasa bahwa hubungan tersebut tidak lagi memenuhi harapan yang mereka bangun bersama.Teori FeminisSosiologi feminis memberikan perspektif yang sangat penting dalam memahami perceraian. Perspektif ini memandang perceraian sebagai proses gender, di mana pernikahan dianggap sebagai kontrak yang tidak netral. Para feminist berpendapat bahwa sistem patriarki yang ada dalam struktur sosial membuat pernikahan sering kali menjadi penindasan terhadap perempuan. Dalam banyak kasus, perempuan berada dalam posisi yang lebih lemah di dalam pernikahan dan sering kali dianggap tidak memiliki kekuatan atau kendali atas keputusan-keputusan besar dalam keluarga. Perceraian, dalam konteks ini, bisa dilihat sebagai jalur potensial menuju pembebasan bagi perempuan, karena mereka memiliki kesempatan untuk memutuskan hubungan yang menindas dan membangun kembali kehidupan mereka dengan kebebasan yang lebih besar. Namun, pada saat yang sama, perceraian juga memperlihatkan betapa strukturalnya peran gender dalam pernikahan dan konflik yang timbul dari ketidaksetaraan gender dalam keluarga.Kesimpulan:Perceraian bukan hanya fenomena pribadi atau keluarga, tetapi merupakan peristiwa sosial yang terkait dengan struktur sosial, norma, dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Dalam perspektif sosiologi, perceraian dapat dianalisis melalui berbagai teori, masing-masing menawarkan wawasan unik tentang bagaimana konflik, kegagalan komunikasi, ketimpangan sosial, dan peran gender berkontribusi pada munculnya perceraian. Dari sudut pandang fungsionalis, perceraian dilihat sebagai respons untuk memperbaiki struktur sosial yang tidak berfungsi. Dalam teori konflik, perceraian adalah akibat dari ketimpangan struktural yang lebih besar. Interaksionisme simbolik menekankan pada makna dan interpretasi yang dibentuk dalam hubungan yang berakhir, sementara sosiologi feminis memandang perceraian sebagai proses pembebasan bagi perempuan. Semua perspektif ini memberikan gambaran bahwa perceraian adalah fenomena sosial yang kompleks, yang tidak dapat dilihat hanya sebagai masalah pribadi, tetapi juga berakar dalam struktur sosial yang lebih besar.Referensi:Stolley, Kathy S. (2005). The Basics of Sociology. Greenwood Publishing Group. Dr. Dede SyarifDr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani SetiaLulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Scroll to Top