Author name: perspektifsosiologi

PoV

Kenapa Manchester United Terpuruk? Analisis Sosiologis dari Ibnu Khaldun

PoV Kenapa Manchester United Terpuruk? Analisis Sosiologis dari Ibnu Khaldun Manchester United (MU) adalah salah satu klub sepak bola paling legendaris di dunia. Sepanjang sejarahnya, MU sudah melalui masa-masa gemilang dan juga periode sulit yang membuat para pendukungnya bertanya-tanya: mengapa klub sebesar ini bisa terpuruk? Untuk menjawabnya, kita bisa melihatnya dari sudut pandang yang mungkin tak biasa — yaitu teori siklus kekuasaan dari Ibnu Khaldun, seorang sosiolog dan sejarawan besar dari abad ke-14. Ibnu Khaldun dan Teori Siklus Kekuasaan: Relevansi untuk Dunia Sepak Bola Ibnu Khaldun dikenal sebagai bapak sosiologi modern, yang mengemukakan sebuah teori mendalam tentang bagaimana kekuasaan dan peradaban lahir, berkembang, kemudian akhirnya jatuh. Menariknya, walaupun Khaldun hidup jauh sebelum sepak bola ditemukan, konsepnya sangat relevan ketika kita ingin memahami dinamika naik-turunnya sebuah institusi besar seperti klub sepak bola. Ia mengenalkan konsep “asabiyyah”, yang berarti solidaritas kelompok yang kuat dan menjadi modal utama bagi sebuah kekuatan untuk bangkit dan menaklukkan, serta “umran”, yakni kemajuan dan perkembangan peradaban itu sendiri. Teori siklus ini menjelaskan bahwa tidak ada kekuasaan atau peradaban yang akan bertahan selamanya dalam puncak kejayaannya. Semua mengalami proses naik dan turun secara alami. Dalam konteks MU, kita bisa menelusuri bagaimana klub ini melewati siklus tersebut, dari titik awal yang penuh semangat, mencapai masa kejayaan, dan kini sedang menghadapi masa kemunduran. Empat Tahapan Siklus Menurut Ibnu Khaldun Menurut Ibnu Khaldun, siklus kekuasaan terbagi menjadi empat tahapan utama yang saling berkesinambungan. Pertama adalah Bangkitnya Kekuatan Baru, di mana sebuah kelompok atau komunitas dengan solidaritas tinggi (asabiyyah) berhasil menaklukkan lawan dan mendirikan kekuasaan baru. Kedua, ketika kekuatan tersebut semakin mantap, masuk ke tahap Kemakmuran dan Pertumbuhan di mana ekonomi, budaya, dan kekuatan politik berkembang pesat. Namun, seperti halnya roda yang berputar, siklus ini tidak selalu mulus. Tahap ketiga adalah Kemunduran, di mana faktor internal seperti kemewahan berlebihan, rasa puas diri, serta praktik korupsi mulai merusak soliditas dan efektivitas kekuatan itu. Tekanan dari luar pun turut melemahkan posisi mereka. Akhirnya, di tahap keempat yaitu Kejatuhan dan Penggantian, kekuatan yang melemah itu digantikan oleh kelompok lain yang memiliki asabiyyah lebih kuat, dan siklus pun dimulai kembali. Siklus MU: Dari Awal Mula hingga Masa Terpuruk Fase Penaklukan dan Awal Kejayaan Manchester United mulai menancapkan taringnya pada awal abad ke-20, ketika mereka memenangkan gelar Liga Inggris pertama pada musim 1907–08. Perpindahan ke Old Trafford pada 1910 menjadi simbol ambisi besar klub ini. Namun, perjalanan tidak selalu mulus — pada dekade 1920-an dan 1930-an, MU mengalami naik turun antara Divisi Pertama dan Kedua, dipengaruhi oleh krisis keuangan dan pergantian struktur internal. Walau begitu, semangat dan solidaritas kelompok mulai tumbuh sebagai modal dasar membangun kekuatan. Era Keemasan: Kemakmuran dan Pertumbuhan di Bawah Ferguson Era keemasan MU paling kentara setelah Sir Matt Busby mengambil alih pada 1945, tetapi puncak kejayaan benar-benar diraih pada masa Sir Alex Ferguson sejak 1986. Ferguson bukan hanya manajer, melainkan sosok yang membangun kembali fondasi asabiyyah dalam klub—menggabungkan generasi lama seperti Bryan Robson dan Mark Hughes dengan talenta muda “Class of ’92” seperti Ryan Giggs, Paul Scholes, David Beckham, dan Gary Neville. Di bawah kepemimpinannya, MU mencatat sejarah dengan 13 gelar Liga Premier, menciptakan era dominasi yang tak tertandingi dan membuktikan bagaimana solidaritas kelompok dan budaya klub bisa memacu kemajuan luar biasa. Masa Kemunduran: Saat Soliditas Mulai Renggang Tapi tidak ada yang abadi. Pada 8 Mei 2013, Ferguson pensiun dan meninggalkan kursi manajer yang sulit untuk diisi. Peralihan kepemimpinan ini menandai awal fase kemunduran MU. Setelah bertahun-tahun di bawah kendali Ferguson, klub kehilangan soliditas internalnya. Ganti manajer yang berulang kali terjadi menimbulkan ketidakpastian, mengikis rasa kebersamaan dan tujuan yang selama ini menjadi kekuatan utama klub. Faktor-faktor internal seperti rasa puas diri, kurangnya kesatuan visi, dan tekanan dari persaingan yang semakin ketat mulai menimbulkan keretakan. Bahkan, kekalahan memalukan seperti kalah dari tim ASEAN All Star 1-0 semakin memperjelas bahwa MU sedang mengalami penurunan yang nyata. Refleksi: Apa yang Bisa Dipetik dari Siklus Ini? Melihat keadaan MU melalui teori Ibnu Khaldun, kita bisa menyadari bahwa kejayaan maupun kemunduran bukanlah perkara kebetulan atau sekadar performa pemain di lapangan. Lebih dari itu, semua berakar pada aspek sosial dan budaya internal klub—solidaritas, semangat juang, dan kesatuan tujuan (asabiyyah) yang menjadi pondasi kekuatan. Jika MU ingin kembali bangkit, mereka harus membangun ulang fondasi ini. Mengembalikan budaya kerja sama yang kuat, membentuk identitas yang jelas, dan menumbuhkan semangat juang yang tak tergoyahkan. Dalam siklus peradaban, fase kemunduran adalah peluang untuk peremajaan dan kelahiran kekuatan baru yang segar. Kesimpulan: Siklus Sejarah MU Masih Berlanjut Manchester United sedang berada pada titik krusial dalam siklus sejarahnya. Meski saat ini terpuruk, bukan berarti ini adalah akhir dari cerita mereka. Sejarah dan teori Ibnu Khaldun mengajarkan bahwa asabiyyah baru dapat muncul, dan dengan itu datang kesempatan untuk bangkit dan meraih kejayaan kembali. Bagi para pendukung MU, ini saatnya bersabar dan terus memberi dukungan—karena dalam siklus kekuasaan, kebangkitan selalu mengikuti kejatuhan. Masa depan MU ada di tangan mereka yang mampu membangun solidaritas dan semangat juang baru. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah seorang akademisi dan sosiolog dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang menempuh pendidikan sosiologi di Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia dikenal aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi melalui berbagai kegiatan akademik, termasuk mengikuti short course di Jerman dan Australia. Selain itu, Dr. Dede merupakan pendiri komunitas kajian Perspektif Sosiologi yang berfokus pada analisis isu-isu sosial kontemporer. Ia juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Program Studi Sosiologi di tingkat S1, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Bandung Address-card Instagram Share yuk artikel ini… Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Konsep

Modernitas: Janji Kemajuan yang Menyimpan Luka Sosial

Modernitas: Janji Kemajuan yang Menyimpan Luka Sosial Di era modern, hidup terasa semakin cepat dan canggih. Kita bisa berkomunikasi lintas benua dalam hitungan detik, bekerja dari mana saja, dan menikmati kemudahan teknologi dalam setiap aspek kehidupan. Namun, modernitas juga membawa konsekuensi sosial yang tidak selalu terlihat di permukaan. Di balik janji kemajuan dan kesejahteraan, ada realitas sosial yang nelangsa—seperti yang ditunjukkan para sosiolog dalam konsep-konsep berikut ini. 1. Alienasi: Keterasingan dalam Dunia Modern Konsep alienasi atau keterasingan pertama kali diperkenalkan oleh Karl Marx sebagai kritik terhadap sistem kapitalisme. Dalam dunia kerja modern, banyak orang merasa tidak lagi memiliki hubungan yang bermakna dengan apa yang mereka kerjakan. Alienasi ini muncul dalam empat bentuk: Keterasingan dari hasil kerja: Pekerja membuat produk, tapi tidak memiliki kendali atau rasa kepemilikan atasnya. Produk itu milik perusahaan. Keterasingan dari proses kerja: Pekerjaan jadi rutinitas tanpa makna, hanya demi gaji, bukan aktualisasi diri. Keterasingan dari orang lain: Persaingan membuat relasi sosial antarindividu menjadi kaku dan individualistis. Keterasingan dari diri sendiri: Manusia kehilangan arah, merasa asing dengan dirinya sendiri, dan sulit menemukan makna hidup. Di balik semua kemajuan, banyak orang justru merasa hidupnya kosong dan terjebak dalam rutinitas tanpa jiwa. 2. Anomie: Kehilangan Arah di Tengah Perubahan Sosiolog Émile Durkheim memperkenalkan istilah anomie untuk menggambarkan kondisi sosial ketika norma-norma rusak atau menghilang. Dalam situasi ini, individu kehilangan pedoman tentang bagaimana seharusnya hidup dan bertindak. Beberapa aspek utama dari anomie meliputi: Ketiadaan norma: Norma sosial tidak lagi memberikan arah yang jelas. Putusnya ikatan sosial: Individu merasa terisolasi dari komunitasnya. Hilangnya nilai bersama: Masyarakat kehilangan prinsip-prinsip kolektif tentang benar dan salah. Disorientasi dan kebingungan: Orang merasa tersesat, tanpa tujuan dan makna. Fenomena ini sering muncul saat terjadi perubahan sosial yang sangat cepat—seperti krisis ekonomi, pandemi, atau revolusi digital. 3. Patologi Sosial: Ketika Masyarakat Sakit Dalam dunia medis, patologi berarti penyakit. Dalam sosiologi, patologi sosial digunakan untuk menggambarkan kondisi-kondisi menyimpang atau bermasalah dalam masyarakat, yang menunjukkan bahwa ada “penyakit” sosial yang sedang berkembang. Perilaku menyimpang seperti kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, kekerasan, atau disintegrasi keluarga, sering kali dianggap sebagai gejala dari kondisi sosial yang lebih dalam—ketimpangan ekonomi, hilangnya nilai bersama, atau keterasingan yang terus menumpuk. Patologi sosial bukan sekadar kesalahan individu, melainkan cerminan dari sistem sosial yang tidak sehat. Refleksi: Menyadari Luka di Tengah Kemajuan Modernitas memang memberi banyak hal baru yang memudahkan hidup. Tapi kalau kita tak peka terhadap dampak sosialnya, kita bisa kehilangan hal-hal paling mendasar sebagai manusia: makna, relasi, dan arah hidup. Memahami konsep seperti alienasi, anomie, dan patologi sosial penting—bukan cuma bagi akademisi, tapi juga bagi siapa saja yang ingin hidup lebih sadar, lebih terhubung, dan lebih manusiawi di tengah dunia yang terus berubah. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah seorang akademisi dan sosiolog dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang menempuh pendidikan sosiologi di Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia dikenal aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi melalui berbagai kegiatan akademik, termasuk mengikuti short course di Jerman dan Australia. Selain itu, Dr. Dede merupakan pendiri komunitas kajian Perspektif Sosiologi yang berfokus pada analisis isu-isu sosial kontemporer. Ia juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Program Studi Sosiologi di tingkat S1, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Bandung Address-card Instagram Share yuk artikel ini… Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

How To

Bang mau belajar Sosiologi, mulai dari mana?

Bang mau belajar Sosiologi, mulai dari mana? Buat kamu yang baru ingin mulai belajar sosiologi, pertanyaannya sederhana tapi penting: “Mulainya dari mana, ya?” Jawabannya: mulai dari sini—dari perspektif_sosiologi. Akun ini lengkap banget! Mulai dari teori-teori sosiologi, konsep-konsep dasar, rekomendasi buku kece, sampai analisis kasus sosial yang dibahas pakai kacamata teori. Bisa diakses lewat Instagram, YouTube, TikTok, dan tentu saja website-nya di perspektif_sosiologi.com. Nah, biar makin dapet feel-nya, yuk kita bahas beberapa konsep sosiologi penting yang membuka mata kita tentang realitas sosial, terutama soal kemajuan modernitas yang katanya menjanjikan kesejahteraan, tapi nyatanya… banyak juga yang hidupnya malah terasa makin nelangsa. Para sosiolog sudah lama mengkritisi ini lewat konsep-konsep berikut: Alienasi: Keterasingan di Dunia Modern Konsep alienasi pertama kali diperkenalkan oleh Karl Marx sebagai kritik terhadap sistem kapitalisme. Alienasi itu kondisi di mana seseorang merasa asing—baik terhadap diri sendiri, terhadap orang lain, maupun terhadap pekerjaannya sendiri. Dalam dunia kerja modern, alienasi muncul dalam berbagai bentuk: Keterasingan dari hasil kerja: Pekerja tidak memiliki kendali atas produk yang mereka hasilkan. Barang itu bukan milik mereka, melainkan milik pemilik modal. Keterasingan dari proses kerja: Pekerjaan terasa tidak manusiawi dan sekadar rutinitas membosankan, tanpa mengembangkan potensi diri. Keterasingan dari orang lain: Hubungan antarpekerja renggang karena persaingan dan sistem individualistik. Keterasingan dari diri sendiri: Orang kehilangan jati diri dan merasa kosong karena hidup tidak selaras dengan nilai-nilai pribadinya. Anomie: Dunia Tanpa Pedoman Konsep anomie dikembangkan oleh Émile Durkheim untuk menjelaskan kondisi di mana norma dan nilai sosial mulai rusak atau menghilang. Ini sering terjadi dalam masa perubahan sosial yang cepat, seperti krisis ekonomi, revolusi budaya, atau guncangan teknologi. Ketika norma-norma lama runtuh dan belum ada yang baru menggantikannya, individu merasa bingung dan kehilangan arah. Beberapa aspek penting dari anomie antara lain: Tanpa norma: Individu tidak tahu bagaimana seharusnya bertindak. Putusnya ikatan sosial: Orang merasa tidak terhubung dengan komunitas sekitarnya. Kurangnya nilai bersama: Tidak ada kesepakatan tentang apa yang dianggap benar atau salah. Disorientasi dan kebingungan: Akibatnya, banyak orang merasa tersesat dan tidak menemukan makna hidup. Patologi Sosial: Ketika Masyarakat Sakit Terakhir, mari kenali konsep patologi sosial, yang menggambarkan masalah sosial layaknya penyakit dalam tubuh masyarakat. Patologi ini mencakup perilaku menyimpang yang dianggap merusak tatanan sosial, seperti kekerasan, kriminalitas, narkoba, dan lainnya. Dalam kacamata sosiologi, ini bukan sekadar masalah individu, tapi gejala dari ketimpangan atau disfungsi dalam sistem sosial itu sendiri. Belajar sosiologi bukan sekadar menghafal teori, tapi tentang memahami kehidupan sosial dengan lebih jernih dan kritis. Dan semua itu bisa kamu mulai dari satu langkah kecil: buka akun @perspektif_sosiologi, pantengin kontennya, dan pelan-pelan kamu akan melihat dunia dengan cara yang berbeda. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah seorang akademisi dan sosiolog dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang menempuh pendidikan sosiologi di Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia dikenal aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi melalui berbagai kegiatan akademik, termasuk mengikuti short course di Jerman dan Australia. Selain itu, Dr. Dede merupakan pendiri komunitas kajian Perspektif Sosiologi yang berfokus pada analisis isu-isu sosial kontemporer. Ia juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Program Studi Sosiologi di tingkat S1, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Bandung Address-card Instagram Share yuk artikel ini… Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Info

Tipe-Tipe Mahasiswa Baru di Jurusan Sosiologi

Tipe-Tipe Mahasiswa Baru di Jurusan Sosiologi Setiap awal tahun ajaran, jurusan Sosiologi selalu kedatangan mahasiswa baru dengan latar belakang dan motivasi yang beragam. Nah, kalau diperhatikan, ada beberapa tipe maba (mahasiswa baru) yang sering muncul. Pertama, ada Tipe Tersesat. Biasanya mereka ini masuk Sosiologi bukan karena pilihan utama—kadang salah jurusan atau sekadar ikut-ikutan. Di semester awal sering terlihat kebingungan menghadapi istilah dan konsep-konsep sosiologis. Tapi jangan salah, kalau mereka akhirnya dapat “pencerahan” dan mulai paham esensinya, mereka bisa bertahan dan malah jadi keren. Kalau enggak, ya… biasanya mulai menghilang di semester tiga. Kedua, kita punya Tipe Taqdir. Ini tipe yang sebenarnya pengin banget masuk jurusan kedokteran atau teknik, tapi apa daya, nilai atau passing grade tak sampai. Akhirnya, jurusan Sosiologi jadi pelabuhan tak terduga. Tapi siapa sangka, banyak dari mereka justru bisa jatuh cinta sama dunia sosial setelah benar-benar menjalaninya. Lanjut ke Tipe Konversi. Mereka ini datang dari latar belakang SMK, STM, atau bahkan anak IPA. Lalu tiba-tiba banting setir ke Sosiologi. Awalnya memang butuh waktu adaptasi, tapi kalau sudah nemu iramanya, banyak yang justru bersinar karena pendekatannya yang unik dan berbeda. Terakhir, ada Tipe Terniat. Nah, ini dia tipe yang dari awal sudah cinta mati sama ilmu sosial. Biasanya anak IPS yang suka diskusi, nonton film dokumenter, baca isu-isu sosial, dan tentu saja sudah follow akun-akun sosiologi, termasuk @perspektif_sosiologi. Mereka masuk Sosiologi sebagai pilihan pertama, dan datang kuliah dengan semangat penuh. Mantap banget! Jadi, kamu termasuk tipe yang mana nih? Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah seorang akademisi dan sosiolog dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang menempuh pendidikan sosiologi di Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia dikenal aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi melalui berbagai kegiatan akademik, termasuk mengikuti short course di Jerman dan Australia. Selain itu, Dr. Dede merupakan pendiri komunitas kajian Perspektif Sosiologi yang berfokus pada analisis isu-isu sosial kontemporer. Ia juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Program Studi Sosiologi di tingkat S1, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Bandung Address-card Instagram Share yuk artikel ini… Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Book Review

Buku Teori Sosiologi Sesuai Semester yang Mesti Kamu Baca

Buku Teori Sosiologi Sesuai Semester yang Mesti Kamu Baca Semeter 1 Pengantar Sosiologi: Sosiologi Suatu Pengantar, Soerjono Soekanto 2. Introduction to Sociology, Anthony Giddens Semester 2 Teori Sosiologi Klasik: Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Doyle Paul Johnson Realitas Sosial, K.J. Veeger Semester 3 Teori Sosiologi Moderen: Teori Sosiologi Klasik dan Modern vol 2, Doyle Paul Johnson Teori Sosiologi Modern, George Ritzer Semester 4 Teori Postmodern: Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Posmodern, George Ritzer Postmodern Social Theory, George Ritzer Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah seorang akademisi dan sosiolog dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang menempuh pendidikan sosiologi di Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia dikenal aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi melalui berbagai kegiatan akademik, termasuk mengikuti short course di Jerman dan Australia. Selain itu, Dr. Dede merupakan pendiri komunitas kajian Perspektif Sosiologi yang berfokus pada analisis isu-isu sosial kontemporer. Ia juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Program Studi Sosiologi di tingkat S1, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Bandung Address-card Instagram Share yuk artikel ini… Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Ringkasan Teori

Apakah Marxisme Masih Relevan Saat Ini?

Apakah Marxisme Masih Relevan Saat Ini? Inilah Beberapa Kritik terhadap Pemikiran Karl Marx Karl Marx adalah salah satu pemikir paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran sosial dan politik. Namun, seiring perkembangan zaman, banyak kritik dilontarkan terhadap ide-ide Marx, terutama soal relevansinya di era modern. Berikut ini beberapa kritik utama terhadap pemikiran Marx: 1. Revolusi Tak Kunjung Terjadi Marx memprediksi bahwa kapitalisme akan runtuh karena semakin kuatnya eksploitasi terhadap kelas pekerja (proletar). Ia membayangkan revolusi besar-besaran yang akan menggantikan kapitalisme dengan sosialisme, dan kemudian komunisme. Namun, kenyataannya justru berbeda. Di negara-negara industri kapitalis, revolusi proletariat tak kunjung terjadi. Sebaliknya, banyak buruh kini memperjuangkan perbaikan kondisi kerja melalui serikat dan kebijakan sosial, bukan revolusi. Uni Soviet, yang pernah menjadi simbol komunisme, pun akhirnya runtuh. Prediksi Marx tentang keruntuhan kapitalisme dan bangkitnya komunisme terbukti meleset. 2. Determinisme Ekonomi yang Reduktif Salah satu kritik utama terhadap Marx adalah reduksionisme ekonomi—keyakinan bahwa semua aspek kehidupan sosial, budaya, dan ideologi hanyalah produk dari kekuatan ekonomi. Pandangan ini dianggap terlalu menyederhanakan realitas. Dalam masyarakat modern, struktur kelas jauh lebih kompleks dari hanya sekadar “borjuis” dan “proletar”. Ada kelas menengah, elite profesional, pemilik modal non-industri, dan kelompok marjinal yang tidak bisa sepenuhnya dijelaskan oleh kerangka ekonomi deterministik Marx. 3. Komunisme Tidak Berhasil Marx percaya bahwa sejarah manusia akan bergerak linier: dari feodalisme → kapitalisme → komunisme. Tapi, setelah kapitalisme runtuh dan komunisme berdiri, tidak ada penjelasan tentang proses perubahan lanjutan. Dalam praktik, negara-negara komunis justru stagnan atau mengalami transisi kembali ke kapitalisme. Runtuhnya Uni Soviet, transformasi ekonomi Tiongkok, dan pembubaran rezim komunis di Eropa Timur menjadi bukti bahwa komunisme bukanlah akhir sejarah sebagaimana diyakini Marx. 4. Keniscayaan Historis yang Dipertanyakan Marx menyatakan bahwa keruntuhan kapitalisme dan kemenangan komunisme adalah keniscayaan historis. Seolah-olah sejarah digerakkan oleh hukum sosial yang tak dapat ditawar. Namun kontradiksi muncul ketika Marx juga menyerukan, “Kaum pekerja dari semua negara, bersatulah!” Jika revolusi sudah pasti terjadi, mengapa masih perlu ajakan aktif? Di sinilah kritik terhadap fatalisme historis Marx menjadi relevan: antara determinisme dan ajakan politis terdapat inkonsistensi logis. 5. Kemunafikan Personal Marx Marx dikenal dengan kutipan terkenalnya: “Penghapusan agama sebagai kebahagiaan semu masyarakat adalah tuntutan bagi kebahagiaan sejati mereka” (Marx, 1844). Namun, ironisnya, Marx sendiri diperlakukan seperti tokoh mesianis oleh para pengikutnya, seolah menjadi juru selamat bagi kaum proletar. Ia menolak agama sebagai candu masyarakat, tetapi justru mengisi peran “mesias sekuler” dalam gerakan revolusioner yang ia bangun. Penutup: Relevansi atau Romantisme? Marxisme tetap penting sebagai alat analisis ketimpangan dan kritik terhadap sistem kapitalisme, tetapi sebagai ideologi historis yang menjanjikan revolusi dan komunisme global, banyak klaim Marx yang kini dianggap tidak terbukti atau bahkan gagal menjelaskan realitas kontemporer. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah seorang akademisi dan sosiolog dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang menempuh pendidikan sosiologi di Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia dikenal aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi melalui berbagai kegiatan akademik, termasuk mengikuti short course di Jerman dan Australia. Selain itu, Dr. Dede merupakan pendiri komunitas kajian Perspektif Sosiologi yang berfokus pada analisis isu-isu sosial kontemporer. Ia juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Program Studi Sosiologi di tingkat S1, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Bandung Address-card Instagram Share yuk artikel ini… Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Mengenal Tokoh

Mengatasi Dualisme Struktur dan Aktor: Perspektif Bourdieu dan Giddens

Mengatasi Dualisme Struktur dan Aktor: Perspektif Bourdieu dan Giddens Apakah struktur membentuk manusia, ataukah manusia membentuk struktur? Pertanyaan klasik ini telah lama menjadi perdebatan dalam ilmu sosial. Namun, dua tokoh besar—Pierre Bourdieu dan Anthony Giddens—menawarkan jalan tengah melalui pendekatan yang tidak mempertentangkan keduanya, melainkan mencari keterhubungan melalui konsep dualisasi struktur dan agensi. Bukan Dikotomi, Tapi Dualitas Baik Bourdieu maupun Giddens menolak pandangan yang mempertentangkan struktur dan aktor secara kaku. Mereka menekankan bahwa struktur sosial tidak memiliki eksistensi independen, melainkan hanya menjadi nyata melalui praktik atau tindakan manusia. Dalam pandangan ini, struktur diciptakan dan direproduksi oleh tindakan-tindakan sosial, baik secara sadar maupun tidak sadar. Titik Temu dan Titik Beda Keduanya sependapat bahwa agensi—kapasitas individu untuk bertindak—selalu terkait erat dengan struktur sosial. Namun mereka berbeda dalam menilai peran kesadaran aktor. Bourdieu cenderung skeptis terhadap refleksi sadar. Bagi Bourdieu, tindakan sosial lebih banyak digerakkan oleh habitus, yaitu sistem disposisi yang terbentuk dari pengalaman sosial sebelumnya dan bekerja di bawah kesadaran. Giddens, melalui teori strukturasi, justru menekankan bahwa aktor bersifat refleksif. Tindakan mereka adalah hasil refleksi terus-menerus terhadap kondisi sosial yang ada. Habitus: Mediasi Antara Struktur dan Praktik Konsep habitus dari Bourdieu menjelaskan bagaimana pengalaman masa lalu membentuk cara berpikir, merasa, dan bertindak seseorang. Habitus bukanlah penentu mutlak, tetapi semacam kompas yang membimbing individu dalam berstrategi. Praktik sosial yang dihasilkan oleh habitus kemudian mereproduksi struktur sosial, seperti norma gender, hierarki, atau kelas. Menariknya, praktik ini sering dilakukan tanpa disadari, karena struktur sosial telah dinaturalisasi melalui doxa, yaitu kepercayaan yang diterima begitu saja seolah-olah alamiah. Strukturasi: Refleksivitas Agen dan Proses Rekursif Sementara itu, Giddens memandang struktur sosial sebagai hasil dari strukturasi, yakni proses berulang di mana tindakan menciptakan struktur, dan struktur memengaruhi tindakan. Bagi Giddens, aktor bukan hanya pengikut aturan, tetapi juga pencipta aturan. Namun, mereka hanya bisa bertindak dalam konteks struktur yang telah ada—yang merupakan hasil dari tindakan kolektif di masa lalu. Kesimpulan: Struktur dan Aktor sebagai Proses Sosial Dinamis Bourdieu dan Giddens membawa kita pada pemahaman yang lebih dinamis tentang dunia sosial: struktur dan agensi bukanlah entitas terpisah, melainkan saling membentuk dalam sebuah siklus yang tak pernah berhenti. Perbedaan keduanya terutama terletak pada signifikansi refleksi sadar: Giddens memberi tempat penting pada niat aktor, sementara Bourdieu lebih menekankan pada kekuatan tak sadar dari habitus. Referensi:Sewell, W. H. (1992). A Theory of Structure: Duality, Agency, and Transformation. American Journal of Sociology, 98(1), 1–29. JSTOR Link Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah seorang akademisi dan sosiolog dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang menempuh pendidikan sosiologi di Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia dikenal aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi melalui berbagai kegiatan akademik, termasuk mengikuti short course di Jerman dan Australia. Selain itu, Dr. Dede merupakan pendiri komunitas kajian Perspektif Sosiologi yang berfokus pada analisis isu-isu sosial kontemporer. Ia juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Program Studi Sosiologi di tingkat S1, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Bandung Address-card Instagram Share yuk artikel ini… Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

How To

Mau Jadi Apa Setelah Lulus Sosiologi? Ini 6 Jalur Karir yang Bisa Kamu Tempuh

Mau Jadi Apa Setelah Lulus Sosiologi? Ini 6 Jalur Karir yang Bisa Kamu Tempuh Lulusan sosiologi punya peluang karir yang luas dan beragam, lho! Ilmu sosiologi yang mempelajari masyarakat, relasi sosial, hingga perubahan sosial sangat dibutuhkan di berbagai sektor — baik pemerintahan, swasta, maupun organisasi nirlaba. Nah, berikut ini adalah beberapa jalur karir yang bisa kamu tempuh setelah lulus dari jurusan sosiologi: 1. Peneliti Sosial Sebagai peneliti sosial, kamu akan mengkaji fenomena-fenomena sosial seperti kemiskinan, ketimpangan, konflik, atau perubahan budaya. Hasil penelitianmu dapat menjadi dasar pengambilan keputusan atau penyusunan kebijakan publik. Profesi ini banyak dibutuhkan di lembaga-lembaga seperti Badan Pusat Statistik (BPS), LIPI/BRIN, lembaga riset swasta, hingga pusat studi di perguruan tinggi. 2. Analis Kebijakan Analis kebijakan bertugas menganalisis data sosial dan menyusun rekomendasi kebijakan untuk menjawab persoalan di masyarakat. Profesi ini penting di instansi seperti Bappenas, Kementerian Sosial, maupun lembaga swadaya masyarakat. Seorang analis kebijakan berperan penting dalam mendorong perubahan sosial berbasis data dan fakta. 3. Profesional NGO Bekerja di NGO (Non-Governmental Organization) atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) adalah pilihan menarik bagi lulusan sosiologi yang ingin terjun langsung dalam aksi sosial. Di sini, kamu bisa terlibat dalam isu-isu seperti pendidikan, lingkungan, kesehatan masyarakat, hingga advokasi hak asasi manusia. Banyak NGO yang membutuhkan lulusan sosiologi untuk merancang program, melakukan riset lapangan, hingga pendampingan komunitas. 4. Pekerja Sosial Pekerja sosial fokus pada pendampingan kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, penyandang disabilitas, atau korban kekerasan. Kamu akan bekerja langsung di lapangan untuk memberikan bantuan, solusi, dan dukungan sosial. Profesi ini dibutuhkan di Dinas Sosial, BKKBN, rumah perlindungan, hingga yayasan kemanusiaan. 5. Konselor Sosial Sebagai konselor, kamu memberikan layanan bimbingan dan konseling kepada individu, keluarga, atau komunitas yang menghadapi tantangan psikososial. Profesi ini berperan penting dalam membangun ketahanan mental dan sosial masyarakat. Banyak instansi pemerintah seperti BKKBN atau Dinas Sosial membuka peluang untuk posisi ini. 6. Pemberdaya Masyarakat Jalur ini sangat cocok bagi kamu yang ingin aktif dalam pengembangan kapasitas dan kemandirian komunitas. Pemberdaya masyarakat membantu warga untuk berorganisasi, memanfaatkan potensi lokal, dan mengatasi masalah sosial secara mandiri. Profesi ini banyak dibutuhkan di Dinas Sosial, Kementerian Agama, Kementerian Desa, bahkan Kementerian Kehutanan yang mengelola program pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan. Kesimpulan:Belajar sosiologi bukan hanya soal teori. Justru dari pemahaman tentang dinamika sosial itulah, kamu bisa menjadi agen perubahan di berbagai lini. Jadi, jangan ragu — apapun passion-mu, ilmu sosiologi punya tempatnya! Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah seorang akademisi dan sosiolog dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang menempuh pendidikan sosiologi di Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia dikenal aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi melalui berbagai kegiatan akademik, termasuk mengikuti short course di Jerman dan Australia. Selain itu, Dr. Dede merupakan pendiri komunitas kajian Perspektif Sosiologi yang berfokus pada analisis isu-isu sosial kontemporer. Ia juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Program Studi Sosiologi di tingkat S1, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Bandung Address-card Instagram Share yuk artikel ini… Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

How To

Buat Apa Belajar Teori? Ini Dia Jawabannya

Banyak mahasiswa bertanya-tanya: “Ngapain sih belajar teori segala, kan realitas langsung kelihatan di lapangan?” Nah, justru di situlah pentingnya teori. Dalam dunia akademik, terutama di bidang ilmu sosial, teori bukan cuma hiasan — ia adalah alat bantu penting untuk memahami dunia yang kompleks ini. 1. Kegunaan Teori: Perspektif untuk Memahami Realitas SosialRealitas sosial itu nggak sesederhana kelihatannya. Ia penuh dengan kerumitan, tumpang tindih makna, dan pengaruh struktur yang saling berkaitan. Di sinilah teori hadir: sebagai lensa atau perspektif untuk menyusun, menjelaskan, dan memahami realitas tersebut secara sistematis. Tanpa teori, kita akan kesulitan mengurai benang kusut kehidupan sosial. 2. Peran Teori dalam Penelitian KualitatifDalam pendekatan kualitatif, teori punya peran yang fleksibel dan dinamis. 3. Peran Teori dalam Penelitian KuantitatifBerbeda dengan kualitatif, penelitian kuantitatif menggunakan teori secara lebih kaku dan terstruktur. Sumber: John W. Creswell (2014). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. Sage Publication.

Book Review

The Presentation of Self in Everyday Life, Erving Goffman (1959)

Kamu pasti pernah dengar teori Dramaturgi. Ini adalah teori yang populer dan ngena banget untuk dipakai menganalisis perilaku manusia. Tapi, kamu mungkin belum baca sepenuhnya buku yang ngejelasin tentang teori Dramaturgi itu. Nah, kali ini aku mau ngebahasnya buat kalian ya… Teori ini dikemukakan oleh Erving Goffman, sosiolog Amerika dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life yang terbit pertama kali tahun 1956 dan diterbitkan ulang tahun 1969 dengan beberapa perubahan. Buku ini mendapatkan MacIver Awward dari American Sociological Association dan jadi salah satu dari 10 buku paling berpengaruh abad ke dua puluh. Apa yang dibahas di buku itu? Ada 6 Pembahasan untuk menguraikan apa itu dramaturgi : 1. Pertunjukan Goffman mendefiniskan “Pertunjukan” sebagai kegiatan yang dilakukan oleh seorang peserta pada suatu kesempatan yang bertujuan untuk mempengaruhi peserta lain dengan cara apapun. Aktivitas yang dilakukannya disebut dengan “kinerja”, yaitu semua aktivitas individu yang terjadi selama periode tertentu yang ditandai dengan kehadirannya yang terus-menerus di depan penonton dan berpengaruh pada penonton itu. Ada berbagai situasi dan latar tempat pertunjukan berlangsung. Contoh paling jelas adalah situasi saat wawancara kerja. Dalam situasi ini, orang yang diwawancarai akan menampilkan versi diri mereka agar dihargai pewawancara. Kata Goffman pertunjukan itu merupakan aspek penting dari bagaimana kita “mendefinisikan situasi”. Interaksi sosial memerlukan penampilan aktor untuk mendefinisikan dan menegosiasikan situasi yang dihadapinya. 2. Tim Pertunjukan merupakan upaya kolaboratif dalam sebuah tim. ‘Tim’ bekerja sama untuk menciptakan kesan dalam mendefinisikan situasi. Mereka dituntut untuk saling percaya agar dapat memainkan peran mereka dengan meyakinkan. Individu yang sebagai satu tim saling bergantung satu sama lain. Masing-masing memiliki peran untuk dimainkan di ‘panggung depan’. 3. Stage (panggung) dan Perilaku Stage Penampilan aktor berada pada berbagai panggung. Aktor dalam suatu panggung dapat dilihat secara bervariasi oleh audiens yang berbeda. Kata Goffman panggung dibagi jadi tiga : panggung depan, panggung belakang , dan panggung luar. Panggung depan : tempat aktor memainkan peran dihadapan penonton. Panggung Belakang: Saat aktor berada di ‘belakang panggung’, individu dan tim dapat berlatih, bersantai, dan berperilaku ‘tidak seperti biasanya’. Panggung luar: Wilayah yang ditempati oleh ‘orang luar’ yang tidak dimaksudkan untuk hadir oleh aktor. 4. Peran yang Berbeda Goffman mencatat bahwa ‘peran yang tidak sesuai’ juga ada, di mana aktor mungkin tidak sepenuhnya sesuai dengan salah satu dari tiga kategori tadi (panggung depan, belakang dan luar). 5. Komunikasi di Luar Karakter Di bab ini Goffman menguraikan empat bentuk komunikasi yang dapat terjadi di luar karakter tadi: 6. Seni Manajemen Kesan Bab ‘Manajemen kesan’ menggambarkan cara-cara pemain merencanakan dan mempersiapkan pertunjukan.

Scroll to Top