Author name: perspektifsosiologi

Mengenal Tokoh

5 Fakta Gila Tentang Karl Marx

Karl Marx dikenal sebagai bapak komunisme, pemikir besar dalam sejarah filsafat dan sosiologi. Tapi di balik gagasan-gagasannya yang serius, hidup Marx juga dipenuhi cerita-cerita nyeleneh dan tragis yang jarang dibahas di buku teks. Berikut lima fakta menarik (dan gila) tentang Karl Marx: 1. Suka Mabuk dan GeludSaat masih jadi mahasiswa di Universitas Bonn, Marx dikenal doyan minum dan sering terlibat perkelahian. Ia belajar filsafat G.W.F. Hegel dan bergabung dengan kelompok Hegelian Muda yang radikal. Kelakuannya sempat bikin heboh hingga dia pernah dipenjara karena mabuk dan berkelahi dengan mahasiswa lain. 2. Manusia Tanpa NegaraDi tahun 1840-an, Marx hidup seperti orang tanpa negara. Ia diusir dari Prusia tahun 1842, diusir lagi dari Prancis pada 1845, ditolak oleh Belgia di tahun 1848, dan terpaksa meninggalkan Prusia sekali lagi pada tahun yang sama. Hidupnya berpindah-pindah tanpa status kewarganegaraan tetap. 3. Istrinya Pernah Menggadaikan Celananya untuk Beli MakananSetelah pindah ke Inggris pada 1849, kehidupan Marx dan keluarganya dilanda kemiskinan. Mereka pernah diusir dari apartemen karena tak sanggup bayar sewa. Marx bahkan sempat menggunakan nama palsu untuk menghindari penagih utang. Yang paling menyedihkan: istrinya, Jenny, sampai harus menggadaikan celana milik Marx demi bisa membeli makanan. 4. Diancam Dibunuh karena Dianggap Kurang RadikalMeski dikenal revolusioner, Marx ternyata dianggap “kurang radikal” oleh sebagian kalangan. August Willich, mantan komandan militer Prusia dan sesama aktivis, bahkan sempat mengancam ingin membunuh Marx karena dianggap tidak cukup revolusioner. 5. Meninggal Bangkrut dan Hanya Dihadiri 11 Orang di PemakamannyaKehidupan Marx di penghujung usianya benar-benar tragis. Dalam suratnya kepada sahabat sekaligus pendukung finansialnya, Friedrich Engels, ia pernah menulis: “Kehidupan buruk seperti ini tidak layak untuk dijalani.” Marx meninggal dunia dalam keadaan bangkrut pada 14 Maret 1883. Pemakamannya di London hanya dihadiri oleh 11 orang. Sumber: Joe Carter, 5 Crazy Facts about Karl Marx, FEE Stories, 16 September 2018

Ringkasan Teori

Evolusi Cara Sosiologi Menjelaskan Tindakan Manusia

Dalam sejarah pemikiran sosiologi, cara para sosiolog memahami dan menjelaskan tindakan manusia telah mengalami evolusi yang signifikan. Pada tahap awal, pemikiran sosiologi sangat dipengaruhi oleh pendekatan struktural yang melihat bahwa perilaku individu sepenuhnya ditentukan oleh struktur sosial yang mengelilinginya. Karl Marx adalah salah satu pelopor pendekatan ini. Ia menyatakan bahwa ideologi, politik, agama, dan bahkan budaya manusia sangat ditentukan oleh struktur ekonomi masyarakat atau yang disebutnya sebagai base structure, yaitu cara produksi (mode of production). Dalam masyarakat kapitalis, misalnya, maka cara berpikir dan bertindak pun menjadi kapitalistik. Cara pandang ini dikenal dengan istilah economic determinism—yakni pandangan bahwa ekonomi adalah penentu utama bentuk dan arah kehidupan sosial. Sejalan dengan Marx, Emile Durkheim juga menganggap bahwa tindakan manusia bukan murni berasal dari individu, melainkan ditentukan oleh apa yang disebutnya sebagai social fact (fakta sosial). Bagi Durkheim, faktor eksternal seperti norma sosial, budaya, dan struktur masyarakat memiliki kekuatan untuk memaksa individu bertindak dengan cara tertentu. Contohnya adalah fenomena bunuh diri (suicide), yang oleh Durkheim tidak dipandang sebagai keputusan pribadi, melainkan sebagai gejala sosial akibat krisis kolektif yang melanda masyarakat. Pendekatan seperti Marx dan Durkheim ini kemudian dikenal sebagai sosiologi positivistik. Ciri khas pendekatan ini adalah upayanya untuk menjelaskan perilaku manusia dengan hukum-hukum sosial yang obyektif, mirip seperti ilmu-ilmu alam menjelaskan gejala fisik. Namun, pendekatan ini tidak lepas dari kritik. Max Weber, misalnya, menolak gagasan bahwa perilaku manusia semata-mata ditentukan oleh faktor eksternal. Menurut Weber, karena manusia adalah makhluk yang hidup dan sadar, maka tindakan sosial mereka harus dipahami melalui verstehen, yakni penafsiran subjektif yang dilakukan oleh individu atas realitas sosial yang mereka hadapi. Dalam karyanya yang terkenal The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Weber menjelaskan bahwa etos kerja dalam masyarakat Protestan bukan hasil langsung dari ajaran agama tersebut, melainkan dari cara individu menafsirkan doktrin keagamaan itu dan mewujudkannya dalam tindakan nyata. Dari sinilah lahir pendekatan baru yang disebut sosiologi interpretatif. Perkembangan ini membawa sosiologi pada perdebatan antara dua pendekatan besar: struktur versus tindakan aktor, atau positivistik versus interpretatif. Perdebatan ini menciptakan semacam dualisme dalam dunia sosiologi. Namun, tokoh seperti Anthony Giddens dan Pierre Bourdieu menolak dikotomi tersebut. Mereka menawarkan jalan tengah dengan konsep duality, bukan dualism. Giddens memperkenalkan Teori Strukturasi (structuration theory) yang menyatukan peran struktur dan tindakan aktor dalam membentuk realitas sosial. Sementara itu, Bourdieu mengembangkan Teori Praksis Sosial, yang menjelaskan bagaimana struktur sosial dan kebiasaan individual (habitus) saling membentuk secara dinamis. Dengan demikian, evolusi pemikiran dalam sosiologi menunjukkan bahwa penjelasan atas tindakan manusia tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi saja. Baik struktur maupun interpretasi individu memiliki peran penting dalam membentuk tindakan sosial. Pendekatan yang integratif ini menjadi landasan penting dalam memahami kompleksitas masyarakat kontemporer.

PoV

Viral Grup “Inses Fantasi Sedarah” di Facebook: Kenapa Inses Dilarang?

Belakangan ini, media sosial dihebohkan dengan kemunculan grup “Inses Fantasi Sedarah” di Facebook, yang secara terang-terangan membicarakan hubungan seksual antar anggota keluarga. Fenomena ini mengundang kekhawatiran publik dan menimbulkan pertanyaan mendasar: kenapa hubungan inses atau hubungan sedarah dilarang, bahkan dianggap tabu di hampir semua budaya? Secara umum, inses dilarang karena menyangkut persoalan kesehatan, stabilitas sosial, dan nilai moral yang dijunjung oleh masyarakat. Dalam berbagai disiplin ilmu, larangan ini tidak hanya dianggap sebagai norma sosial, tetapi juga memiliki dasar biologis, psikologis, dan antropologis yang kuat. Dari sudut pandang biologis, hubungan sedarah memiliki risiko tinggi terhadap kelainan genetik dan cacat bawaan. Ketika dua individu yang memiliki kedekatan genetik tinggi (seperti saudara kandung atau orang tua dan anak) memiliki keturunan, peluang munculnya penyakit resesif dan gangguan genetik meningkat secara signifikan. Oleh karena itu, larangan inses juga dapat dilihat sebagai mekanisme proteksi biologis bagi kesehatan generasi selanjutnya. Selain alasan biologis, larangan inses juga bertujuan untuk menjaga stabilitas keluarga. Teori family disruption menjelaskan bahwa hubungan seksual dalam lingkungan keluarga inti dapat memicu konflik serius, merusak peran-peran sosial antar anggota keluarga, dan pada akhirnya mengganggu keharmonisan keluarga. Dengan demikian, tabu terhadap inses menjadi semacam “pengaman sosial” untuk menjaga keutuhan dan fungsi keluarga. Dari perspektif antropologi, Claude Lévi-Strauss mengajukan teori aliansi yang menyatakan bahwa larangan inses memaksa individu untuk mencari pasangan dari luar lingkup keluarga. Praktik ini berfungsi membentuk jaringan kekerabatan dan aliansi sosial yang lebih luas, memperkuat struktur sosial masyarakat. Jadi, larangan ini tidak hanya mencegah dampak buruk internal, tapi juga mendorong perluasan hubungan eksternal. Efek lain yang mendukung larangan inses datang dari teori Westermarck effect, yang dikemukakan oleh sosiolog Finlandia Edvard Westermarck. Ia berpendapat bahwa orang-orang yang tumbuh bersama dalam tahun-tahun awal kehidupan cenderung tidak mengembangkan ketertarikan seksual satu sama lain. Mekanisme psikologis ini berperan penting dalam mencegah hubungan seksual antar saudara atau teman masa kecil, yang jika terjadi, berisiko meningkatkan cacat genetik dan menurunkan kebugaran keturunan. Meskipun teknologi dan media sosial memberi ruang baru bagi ekspresi dan perilaku menyimpang seperti inses fantasi, norma sosial tentang tabu inses masih memiliki dasar kuat dan relevan. Larangan tersebut tidak hanya berakar pada nilai moral dan agama, tetapi juga pada logika ilmiah dan sosial yang telah teruji dalam berbagai budaya dan generasi. Dengan memahami berbagai dimensi yang melatarbelakangi tabu terhadap inses—dari genetika hingga struktur sosial—kita dapat melihat bahwa larangan ini bukan sekadar larangan moral, melainkan bentuk perlindungan terhadap integritas biologis dan sosial manusia. Referensi:

Konsep

Konsep Sosiologi yang Menjelaskan Kemalangan Hidup: Alienasi, Anomie, dan Patologi Sosial

Setiap orang pasti pernah mengalami masa sulit dalam hidupnya. Rasa terasing, bingung arah, atau bahkan merasa hidup ini gak ada artinya—itu bukan cuma soal perasaan pribadi. Dalam sosiologi, ada konsep-konsep penting yang menjelaskan fenomena seperti ini secara ilmiah. Tiga di antaranya adalah alienasi, anomie, dan patologi sosial. Konsep-konsep ini membantu kita memahami bahwa kemalangan individu seringkali berakar dari struktur sosial yang lebih luas. 1. Alienasi: Ketika Manusia Terputus dari Dirinya Sendiri Konsep alienasi pertama kali dikemukakan oleh Karl Marx dalam kritiknya terhadap sistem kapitalisme. Alienasi merujuk pada keadaan keterasingan atau terputusnya hubungan seseorang dari berbagai aspek kehidupannya—dari hasil kerja, proses kerja, orang lain, dan bahkan dari dirinya sendiri. Marx menjelaskan empat dimensi alienasi: Keterasingan dari hasil kerja: Pekerja tidak memiliki kontrol atas apa yang mereka ciptakan. Produk kerjanya dimiliki oleh orang lain, biasanya pemilik modal. Keterasingan dari proses kerja: Pekerjaan menjadi rutinitas membosankan dan tidak bermakna, sehingga individu tidak bisa mengekspresikan potensinya sebagai manusia. Keterasingan dari orang lain: Sistem kerja dan struktur ekonomi membuat sesama pekerja menjadi pesaing, bukan rekan. Keterasingan dari diri sendiri: Individu kehilangan koneksi dengan jati dirinya, hidup tanpa semangat, hanya mengikuti sistem yang ada. Dalam konteks modern, alienasi bisa dirasakan oleh siapa saja yang merasa hidupnya terjebak dalam rutinitas tanpa makna, terutama dalam pekerjaan yang hanya mengejar target dan angka, bukan kepuasan atau aktualisasi diri. 2. Anomie: Ketika Norma Sosial Runtuh Konsep anomie diperkenalkan oleh Émile Durkheim untuk menggambarkan keadaan masyarakat tanpa norma atau rusaknya nilai-nilai sosial. Dalam situasi anomie, individu merasa kehilangan arah dan tidak tahu bagaimana seharusnya bertindak. Aspek utama dari anomie antara lain: Tanpa norma: Individu kehilangan pedoman perilaku karena norma sosial tidak lagi jelas atau tidak berlaku. Putusnya ikatan sosial: Koneksi antarindividu melemah, menyebabkan rasa kesepian dan keterasingan. Kurangnya nilai bersama: Masyarakat kehilangan kesepakatan tentang apa yang benar dan salah, menyebabkan kebingungan moral. Disorientasi dan kebingungan: Orang merasa hidupnya tidak berarti, tidak tahu tujuan, dan kehilangan makna. Anomie sering muncul saat terjadi perubahan sosial yang cepat, seperti krisis ekonomi, transformasi digital, atau pergeseran nilai budaya. Dalam situasi ini, individu seperti terombang-ambing tanpa pegangan. 3. Patologi Sosial: Ketika Masyarakat Mengalami “Penyakit” Dalam sosiologi, patologi sosial mengacu pada gejala-gejala sosial yang dianggap sebagai bentuk disfungsi atau “penyakit” dalam tubuh masyarakat. Masalah seperti kriminalitas, kemiskinan ekstrem, kekerasan dalam rumah tangga, atau kecanduan narkoba dilihat bukan hanya sebagai perilaku menyimpang, tetapi sebagai tanda adanya ketidakseimbangan dalam sistem sosial. Patologi sosial menyoroti bagaimana masalah individu sebenarnya mencerminkan kelemahan struktural masyarakat. Seperti tubuh yang sakit ketika sistem imun melemah, masyarakat pun “sakit” ketika nilai, norma, dan institusi tidak berfungsi optimal. Penutup: Masalah Pribadi atau Gejala Sosial? Melalui konsep-konsep ini, kita bisa melihat bahwa kemalangan hidup bukan hanya soal “nasib buruk” atau “kesalahan pribadi”. Sosiologi mengajak kita memahami bahwa alienasi, anomie, dan patologi sosial adalah produk dari dinamika dan struktur masyarakat itu sendiri. Jadi, ketika merasa hidup tak bermakna atau penuh tekanan, mungkin itu bukan hanya persoalan individu, tapi juga tanda bahwa ada yang perlu dibenahi dalam sistem sosial kita bersama.

How To

Menulis Skripsi: Dari “Nice Try” Menuju Lulus dengan Ilmu

Menulis skripsi seringkali jadi momok sekaligus momen pembuktian bagi mahasiswa tingkat akhir. Tak sedikit yang mengeluh, “nice try terus, kapan selesainya?” Tapi penting untuk diingat, skripsi bukan hanya soal menyelesaikan kewajiban akademik—melainkan proses belajar menulis karya ilmiah, berpikir kritis, dan membentuk cara pandang keilmuan yang sistematis. Kalau orientasinya hanya “yang penting cepat lulus,” risiko pragmatisme akan menghantui: naskah asal jadi, atau bahkan lebih buruk, menyerahkannya ke joki. Bisa selesai, memang, tapi ilmu dan pengalaman berharganya menguap begitu saja. 1. Memilih Topik: Mulai dari yang Kamu Minati Langkah awal dalam menyusun skripsi adalah memilih topik yang benar-benar menarik dan relevan dengan minat serta bidang studi kamu. Hindari topik yang terlalu umum atau terlalu luas. Pilih isu yang spesifik, sehingga memungkinkan untuk diteliti secara mendalam dan fokus. Semakin kamu tertarik pada topiknya, semakin besar semangatmu untuk menyelesaikannya. 2. Menyusun Kerangka Penelitian Setelah topik dipilih, susunlah kerangka penelitian yang menjadi peta perjalanan skripsimu. Kerangka ini mencakup: tujuan penelitian, rumusan masalah, hipotesis (jika menggunakan pendekatan kuantitatif), metodologi yang digunakan, serta struktur penulisan skripsi. Di tahap ini, kamu juga harus menentukan sumber data dan metode pengumpulan data—apakah melalui survei, wawancara, observasi, atau studi dokumen. 3. Mengumpulkan Data: Menyentuh Realitas Langkah selanjutnya adalah mengumpulkan data yang relevan dengan fokus penelitian. Gunakan instrumen dan teknik yang sesuai dengan pendekatan metodologismu. Ini adalah tahap krusial karena data inilah yang akan menjadi fondasi dari analisismu. Validitas dan keandalan data sangat menentukan kualitas kesimpulan yang akan kamu tarik nantinya. 4. Menganalisis Data: Menjawab Pertanyaanmu Setelah data terkumpul, langkah berikutnya adalah menganalisisnya. Analisis ini harus diarahkan untuk menjawab pertanyaan penelitian dan, jika ada, menguji hipotesismu. Gunakan alat analisis yang tepat sesuai pendekatan—statistik, coding tematik, atau analisis wacana, misalnya. Inilah saatnya kamu menunjukkan kemampuan berpikir logis dan kritis. 5. Menulis Skripsi: Merakit Gagasan Jadi Teks Susun naskah skripsimu dengan struktur yang runtut dan logis, mulai dari pendahuluan, tinjauan pustaka, metode, hasil dan pembahasan, hingga kesimpulan. Gunakan bahasa ilmiah yang jelas, lugas, dan formal. Pastikan juga semua sumber referensi ditulis sesuai dengan gaya kutipan yang disyaratkan universitasmu. 6. Revisi dan Sidang: Saatnya Pembuktian Setelah penulisan selesai, jangan lupa untuk melakukan revisi berdasarkan masukan dari dosen pembimbing. Bacalah kembali naskahmu dengan teliti, perbaiki bagian yang masih lemah, dan lengkapi yang kurang. Setelah itu, siapkan diri untuk menghadapi sidang skripsi. Jangan hanya menghafal, tapi pahami betul apa yang kamu teliti dan temukan. Tips Tambahan agar Prosesmu Lebih Lancar: Menulis skripsi memang penuh tantangan, tapi juga penuh pelajaran. Tak masalah jika saat ini kamu masih sering kena “nice try”, asal kamu tetap berjalan dan belajar. Ingat, skripsi bukan hanya soal lulus, tapi soal bagaimana kamu belajar menyusun argumen, berpikir ilmiah, dan tumbuh sebagai akademisi muda.

Info

Aku, Kamu, dan Teori Sosiologi: Dari Hubungan Tanpa Status sampai Revolusi Marx

Ada satu teori sosiologi yang, entah kenapa, terasa begitu ngangenin—yakni teori tentang role dan status. Kenapa ngangenin? Karena, kadang teori ini bikin kita teringat pada hubungan yang kerasa tapi nggak ada status. Ya, semacam hubungan yang dijalani tapi nggak jelas juntrungannya. Nah, teori role and status ini justru bantu kita memahami dinamika seperti itu dalam kehidupan sosial. Secara sederhana, teori peran dan status menjelaskan bagaimana posisi sosial (status) dan perilaku yang diharapkan (peran) membentuk tindakan seseorang. Status adalah posisi yang kita tempati dalam masyarakat—seperti mahasiswa, anak, sahabat—sedangkan peran adalah perilaku yang sesuai dengan posisi itu. Jadi, kalau kamu punya status “mahasiswa”, maka ada harapan untuk hadir di kelas, belajar, dan ikut ujian. Yang menarik, teori ini juga menjelaskan bagaimana kita belajar dan menginternalisasi peran-peran itu, serta bagaimana kita menyesuaikan diri agar cocok dengan ekspektasi sosial. Namun, dalam dunia teori sosiologi, tidak semua teori sepopuler role and status. Ada juga teori yang mulai dilupakan, seperti teori AGIL dari Talcott Parsons. Dulu, teori ini seakan jadi “langganan” skripsi mahasiswa. Teori AGIL menjelaskan bahwa agar sebuah sistem sosial tetap stabil, ia harus mampu melakukan empat fungsi: Adaptasi (A), Pencapaian Tujuan (G), Integrasi (I), dan Latensi atau pemeliharaan pola budaya (L). Meski fungsional dan sistematis, teori ini perlahan tergeser karena dinilai terlalu struktural dan kurang fleksibel menghadapi perubahan sosial yang cepat. Di sisi lain, ada juga teori yang sering “dilarang” secara halus—yaitu teori konflik dari Karl Marx. Banyak yang menganggapnya berbahaya. Kenapa? Karena dalam inti pemikirannya, Marx membayangkan bahwa perubahan sosial yang ideal hanya bisa dicapai melalui penggulingan revolusioner terhadap sistem kapitalis. Dalam masyarakat yang ingin stabil dan damai, gagasan revolusi dan konflik kelas ini dianggap terlalu radikal, bahkan bisa ditafsirkan sebagai pembenaran terhadap kekerasan dan pergolakan sosial. Padahal, kalau dipahami secara lebih jernih, Marx bukan sekadar menyerukan konflik, tetapi menyoroti ketimpangan struktural yang nyata dalam sistem sosial. Tujuan akhirnya adalah menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara. Namun, seperti banyak teori besar lainnya, interpretasi terhadap ide Marx kerap kali bergantung pada konteks sosial dan politik yang membacanya. Dari hubungan tanpa status, skripsi yang butuh teori, sampai isu konflik sosial, teori-teori sosiologi ternyata begitu dekat dengan keseharian kita. Mereka tidak hanya bicara soal masyarakat dalam skala besar, tapi juga bisa menjelaskan perasaan-perasaan kecil yang kita alami—tentang menjadi bagian dari suatu sistem, tentang perjuangan mendapat tempat, bahkan tentang cinta yang tak punya nama.

Book Review

Circle Itu Penting: Jaringan Pertemanan dan Kesuksesan Mahasiswa di Kampus

Apa yang sebenarnya menentukan keberhasilan seseorang selama kuliah? Apakah rajin belajar, jadi kutu buku, punya dosen pembimbing yang perhatian, atau mungkin dukungan orang tua? Bisa jadi semua itu penting. Tapi, sebuah riset sosiologis menarik menunjukkan ada satu faktor lain yang sering diabaikan, padahal sangat menentukan kesuksesan akademik dan sosial mahasiswa: jaringan pertemanan. Hal inilah yang diungkapkan oleh Janice M. McCabe dalam bukunya Connecting in College: How Friendship Networks Matter for Academic and Social Success. Buku ini bertujuan mengeksplorasi jenis-jenis pertemanan yang terbentuk di kalangan mahasiswa, siapa yang cenderung membentuk jenis tertentu, serta bagaimana relasi sosial tersebut berdampak pada pencapaian akademik dan kehidupan sosial—bahkan setelah lulus kuliah. McCabe menggarisbawahi bahwa selain kebiasaan belajar yang baik, dukungan keluarga, dan keterlibatan dosen, keberhasilan akademik juga sangat dipengaruhi oleh dengan siapa mahasiswa bergaul. Melalui survei mendalam dan wawancara dengan berbagai mahasiswa dari latar belakang berbeda, McCabe menemukan bahwa pertemanan di perguruan tinggi memainkan peran yang jauh lebih penting daripada yang selama ini kita duga. Setiap mahasiswa memiliki dinamika jaringan sosial yang berbeda. Ada yang memiliki satu circle yang solid, ada yang nyaman berpindah di antara beberapa kelompok, dan ada pula yang aktif menjalin pertemanan baru setiap harinya. Beberapa mahasiswa memilih memisahkan urusan sosial dan akademik mereka, sementara yang lain justru sangat bergantung pada lingkaran pertemanan untuk mendukung performa akademik—seperti saling berbagi catatan, belajar bareng, atau sekadar menyemangati di tengah tekanan kuliah. McCabe juga menunjukkan bahwa pola pertemanan ini tidak berdiri sendiri, melainkan dipengaruhi oleh faktor sosial yang lebih luas, seperti kelas sosial dan ras. Lebih jauh lagi, ia menelusuri bagaimana jaringan pertemanan di masa kuliah membentuk masa dewasa awal, baik dalam hal karier maupun kesejahteraan emosional. Temuan ini kemudian ia tuangkan dalam bentuk rekomendasi praktis untuk meningkatkan pengalaman mahasiswa dan menjamin kesuksesan yang lebih merata di lingkungan kampus. Kesimpulannya, mahasiswa yang memiliki jaringan pertemanan yang suportif—bukan hanya ramai, tapi juga saling mendukung secara akademik dan emosional—cenderung memiliki capaian akademik yang lebih baik dan kesiapan sosial yang lebih kuat ketika memasuki dunia pascakampus. Jadi, circle bukan sekadar tempat nongkrong atau berbagi cerita. Ia bisa jadi fondasi penting untuk sukses di dunia akademik dan kehidupan setelahnya. Bagaimana dengan circle kamu? Sudah cukup mendukung belum?

PoV

Sosiologi Film: Parasite, Potret Kesenjangan Sosial yang Gak bisa Dibohongi

Film Parasite karya sutradara Bong Joon-ho, yang tayang perdana pada 2019, merupakan salah satu film Korea Selatan yang sukses mencuri perhatian dunia, baik dari sisi sinematografi maupun kedalaman pesan sosialnya. Dengan balutan genre thriller-satire, Parasite menyajikan potret tajam tentang realitas kesenjangan sosial yang tak bisa ditutupi dengan kemewahan atau rekayasa citra. Kisah film ini berpusat pada keluarga Kim, sebuah keluarga miskin yang tinggal di apartemen bawah tanah yang kumuh di Seoul. Ayahnya, Ki-taek, bersama istrinya Chung-sook, serta kedua anaknya, Ki-woo dan Ki-jeong, hidup dalam kondisi serba kekurangan. Meskipun cerdas dan terampil, mereka harus puas bekerja serabutan seperti melipat kotak pizza dan mencari peluang dari pekerjaan informal demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Suatu ketika, nasib tampak berpihak pada Ki-woo. Ia mendapatkan tawaran dari temannya yang akan studi ke luar negeri untuk menggantikannya sebagai guru les bahasa Inggris bagi keluarga Park, keluarga kaya yang hidup dalam rumah mewah nan modern. Ki-woo pun melihat peluang ini sebagai jalan keluar dari lingkaran kemiskinan. Setelah berhasil melalui wawancara dan mulai bekerja di rumah keluarga Park, ia menyusun rencana agar anggota keluarganya yang lain juga bisa bekerja di rumah itu, tentu dengan menyembunyikan hubungan darah mereka dan memalsukan identitas. Dengan keterampilan manipulasi dan kepandaian berakting, keluarga Kim secara sistematis “mengusir” sopir dan asisten rumah tangga lama keluarga Park, lalu menggantikan posisi tersebut dengan ayah dan ibunya sendiri. Mereka berhasil menjalani peran palsu mereka dan mulai menikmati kemewahan hidup di rumah keluarga Park. Namun di balik kehidupan baru yang tampak sempurna itu, benih-benih konflik dan ketegangan mulai tumbuh, menunggu waktu untuk meledak. Puncak ketegangan terjadi ketika keluarga Park pergi berkemah, dan keluarga Kim memanfaatkan momen tersebut untuk berpesta di rumah megah yang sementara mereka “kuasai”. Namun malam itu juga terjadi badai hebat yang membawa kehancuran bukan hanya pada suasana pesta, tetapi juga pada kenyataan yang mereka coba tutupi. Di tengah keasyikan, mereka menemukan rahasia tersembunyi yang mengubah arah cerita secara drastis. Sejak saat itu, Parasite bergerak menuju babak gelap penuh konfrontasi dan kekerasan, yang membuka kedok masing-masing karakter dan menggambarkan betapa rapuhnya konstruksi sosial yang dibangun dengan kebohongan. Akhir cerita berakhir tragis. Realitas sosial menghantam keras keluarga Kim. Mereka terpaksa menghadapi nasib buruk yang menegaskan posisi sosial mereka dalam struktur masyarakat yang timpang. Ki-woo, yang sempat bermimpi memiliki rumah keluarga Park dan membebaskan ayahnya dari persembunyian, harus bangun dalam kesadaran pahit bahwa semuanya hanya mimpi—ia tetap terjebak di apartemen bawah tanah, kembali ke titik awal. Melalui narasi yang kuat dan simbolisme visual yang tajam, Parasite mengangkat tema besar sosiologis seperti ketimpangan kelas, diskriminasi, serta perjuangan hidup dalam sistem yang tidak adil. Film ini bukan sekadar hiburan, tetapi sebuah kritik sosial yang menggugah kesadaran penonton akan jurang menganga antara si kaya dan si miskin. Parasite membuktikan bahwa dalam masyarakat modern sekalipun, isu kelas tetap menjadi parasit yang tak mudah disingkirkan.

Ringkasan Teori

Apakah Sosiologi Itu Ilmu atau Sekadar Common Sense?

Bayangkan sebuah percakapan imajiner antara para pemikir besar yang masing-masing memperdebatkan status keilmuan sosiologi. Thomas Kuhn, sang filsuf ilmu pengetahuan, membuka dialog dengan pertanyaan tajam: “Apakah sosiologi itu sebuah ilmu atau hanya kumpulan common sense belaka? Bukankah sebuah pengetahuan baru bisa disebut ilmu jika ia memiliki paradigma khas yang membedakannya dari ilmu lain?” Pertanyaan ini segera dijawab oleh Auguste Comte, Bapak Sosiologi, yang menyatakan dengan tegas bahwa sosiologi adalah ilmu. Menurutnya, keilmiahan sosiologi terletak pada kemampuannya meniru metode ilmu alam dalam memahami hukum-hukum yang mengatur masyarakat. Emile Durkheim menambahkan, bahwa sosiologi memang ilmiah karena mempelajari fakta sosial (social fact), yaitu cara berpikir, merasa, dan bertindak yang berada di luar individu namun memengaruhi individu secara kuat. Namun, pandangan ini tidak diterima begitu saja. Max Weber mengangkat tangannya, mengingatkan bahwa memperlakukan manusia seperti objek dalam ilmu alam adalah sebuah kekeliruan. Baginya, masyarakat adalah entitas yang hidup, sadar, dan penuh makna. Oleh karena itu, sosiologi tidak cukup hanya mengamati fakta sosial, tetapi harus memahami makna tindakan individu melalui pendekatan verstehen—pemahaman empatik terhadap tindakan sosial. Mendengar perbedaan pandangan ini, Thomas Kuhn mengernyit. Ia merasa bahwa jika sosiologi tidak memiliki paradigma tunggal dan justru dipenuhi keragaman pendekatan, maka jangan-jangan sosiologi bukanlah ilmu sejati, melainkan kumpulan pemikiran sehari-hari yang belum matang secara paradigmatik. Namun, George Ritzer segera menanggapi. Ia menegaskan bahwa keunikan sosiologi justru terletak pada keberadaannya sebagai ilmu multiparadigma. Tidak seperti ilmu alam yang lebih monolitik, sosiologi mengakomodasi keragaman pendekatan teoritik dan metodologis, dan dari situlah kekayaannya berasal. Anthony Giddens turut menambahkan bahwa untuk memahami masyarakat, kita tak bisa hanya melihat individu atau struktur secara terpisah. Keduanya saling terkait dalam proses strukturasi, yaitu bagaimana manusia menciptakan struktur sosial sekaligus dibentuk oleh struktur tersebut. Giddens mengajak untuk menghindari dikotomi dan berpikir dalam hubungan timbal balik antara aktor dan struktur. Senada dengan Giddens, Pierre Bourdieu menawarkan jalan tengah melalui teori praktik sosial dan konsep habitus. Bagi Bourdieu, masyarakat tidak bisa dipahami secara terpisah sebagai individu atau struktur semata. Habitus menjembatani keduanya—menggambarkan bagaimana struktur sosial tertanam dalam diri individu dan diwujudkan melalui praktik sehari-hari. Mendengar berbagai pandangan yang saling memperkaya ini, Thomas Kuhn akhirnya mengangguk perlahan. “Baiklah, sekarang aku paham. Sosiologi memang tidak tunduk pada satu paradigma tunggal, tetapi justru karena itulah ia hidup dan berkembang. Ia adalah ilmu yang menantang sekaligus memikat.” Dengan demikian, perdebatan tentang status keilmuan sosiologi tidak berakhir pada dikotomi ilmu versus common sense, tetapi justru membuka pemahaman baru: bahwa sosiologi adalah ilmu yang khas, kompleks, dan reflektif, yang terus bergulat dengan makna, tindakan, dan struktur dalam kehidupan manusia.

Konsep

Industri Budaya (Cultural Industry), Menghibur Tetapi Memanupulasi

Apa jadinya kalau hiburan yang kita konsumsi sehari-hari—film, musik, televisi, dan media sosial—ternyata gak cuma menyenangkan, tapi juga menyetir cara berpikir kita? Itulah pertanyaan besar yang diajukan oleh dua filsuf dari Mazhab Frankfurt, Theodor Adorno dan Max Horkheimer, dalam karya klasik mereka Dialectic of Enlightenment (1947). Mereka memperkenalkan istilah “Industri Budaya” (Cultural Industry) sebagai kritik terhadap produksi massal budaya populer dalam masyarakat kapitalis modern. Hiburan Massal yang Menyeragamkan Pikiran Adorno dan Horkheimer melihat bahwa media massa dan industri hiburan tampaknya memberi kita kesenangan dan kebebasan memilih. Tapi jika diperhatikan lebih dalam, masyarakat justru dikondisikan untuk menikmati hal-hal yang sama. Dari tren makanan, gaya berpakaian, lagu yang viral, sampai tontonan yang “harus” ditonton—semuanya menunjukkan gejala homogenisasi budaya. Di balik layar, ini adalah kontrol halus yang menyamar sebagai kebebasan. Produksi Massal, Bukan Kreativitas Menurut Adorno dan Horkheimer, industri budaya tidak memproduksi kebudayaan untuk memperkaya batin atau pemikiran, tapi untuk mencari laba. Budaya diproduksi layaknya barang pabrik: massal, seragam, dan mudah dikonsumsi. Film yang dibuat terlihat beragam, tapi sering kali memakai pola cerita yang mirip. Musik top chart terdengar berbeda, tapi format dan struktur nadanya berulang. Standardisasi dan Konsumsi Pasif Industri budaya menyajikan berbagai pilihan, tapi sesungguhnya semuanya telah distandarkan. Penonton diajak menjadi konsumen pasif—menerima, menikmati, dan membeli, tanpa berpikir kritis. Karena itu, Adorno dan Horkheimer menyebut bahwa industri budaya membunuh imajinasi dan refleksi, menggantinya dengan kesenangan instan yang meninabobokan. Kebutuhan Palsu yang Diciptakan Salah satu konsep penting dalam kritik mereka adalah “kebutuhan palsu”. Industri budaya menciptakan keinginan psikologis yang sebenarnya tidak penting, tapi dibuat terasa mendesak: ingin nonton film terbaru, beli produk fashion yang lagi tren, atau ikut challenge TikTok terbaru. Semua kebutuhan itu hanya bisa “dipenuhi” dengan konsumsi—yang tentu saja menguntungkan pelaku industri. Pencerahan yang Menyesatkan Ironisnya, Adorno dan Horkheimer menyebut bahwa meski modernitas dan pencerahan menjanjikan pembebasan akal, industri budaya justru menjadikannya alat kontrol baru. Hiburan massal tidak hanya memanjakan, tetapi juga mengalihkan masyarakat dari kesadaran kritis dan potensi pembebasan sosial. Kesimpulan: Nikmat, tapi Bahaya? Secara sederhana, konsep industri budaya menunjukkan bahwa media dan hiburan masa kini bukan sekadar sarana hiburan. Ia bisa menjadi alat ideologis yang membentuk selera, nilai, dan perilaku kita. Kita mungkin merasa bebas saat memilih tontonan atau lagu favorit, tapi bisa jadi semua itu hanyalah hasil manipulasi sistem yang lebih besar—yang bekerja rapi, diam-diam, dan tentu saja menguntungkan. Sumber:Max Horkheimer & Theodor W. Adorno (1972) Dialectic of Enlightenment, trans. John Cumming. New York: Herder and Herder

Scroll to Top