Book Review

Book Review

Catatan Seorang Demonstran – Soe Hok Gie

Book Review Catatan Seorang Demonstran – Soe Hok Gie (Pustaka LP3ES Indonesia) “Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan. Tanpa itu semua maka kita tidak lebih dari benda. Berbahagialah orang yang masih mempunyai rasa cinta, yang belum sampai kehilangan benda yang paling bernilai itu. Kalau kita telah kehilangan itu maka absurdlah hidup kita.”— Soe Hok Gie Potret Seorang Aktivis Buku Catatan Seorang Demonstran adalah refleksi hidup dan perjuangan Soe Hok Gie, seorang mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang hidup di tengah gejolak politik Orde Baru. Tidak hanya seorang intelektual, Gie juga seorang pecinta alam, yang menyeimbangkan idealismenya dengan keindahan pegunungan yang sering ia daki. Melalui catatan harian, ia menghadirkan kesaksian langsung tentang pergulatan sosial-politik Indonesia di masa penuh ketidakadilan. Struktur dan Isi Buku Buku ini dibagi ke dalam delapan bagian: Soe Hok Gie: Sang Demonstran – pengantar tentang siapa Gie dan reputasinya. Masa Kecil – kisah keluarganya sebagai keturunan Tionghoa di Indonesia. Di Ambang Remaja – awal kesadarannya terhadap ketidakadilan sosial. Lahirnya Seorang Aktivis – langkah awal Gie masuk ke dunia pergerakan mahasiswa. Catatan Seorang Demonstran – catatan utama yang mencerminkan idealisme dan kritiknya. Perjalanan ke Amerika – perspektif global yang memperkaya wawasannya. Politik, Pesta, dan Cinta – sisi personal, pergulatan emosional, dan relasi sosial Gie. Mencari Makna – refleksi filosofis atas hidup, kemanusiaan, dan kemerdekaan individu. Isi dan Gagasan Utama Secara garis besar, buku ini menyingkap sosok Soe Hok Gie sebagai aktivis kampus dengan idealisme yang tajam. Gie bukan hanya menulis untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk menyuarakan kepentingan publik, terutama kaum kecil dan termarjinalkan. Sebagai seorang keturunan Tionghoa, Gie sadar akan posisinya di tengah masyarakat yang sering memandang perbedaan etnis sebagai stigma, namun ia tetap memilih tegak di atas nilai universal: keadilan dan kemanusiaan. Dalam catatan-catatan yang penuh gairah intelektual, Gie mengkritik keras kesenjangan sosial, kebijakan pemerintah yang diskriminatif, serta sikap elit politik yang sering menindas rakyat kecil. Kritiknya bukanlah sembarang teriakan, tetapi analisis tajam yang ditulis dengan refleksi mendalam. Relevansi Sosial dan Politik Melalui catatan ini, kita dapat membaca dinamika sosial-politik Indonesia dari sudut pandang seorang demonstran yang merasakan langsung denyut jalanan. Ia berusaha menggugah keberanian mahasiswa untuk bersikap kritis, menolak tunduk pada intervensi kekuasaan politik, dan menempatkan prinsip kemanusiaan di atas kepentingan golongan maupun agama. Gie mengingatkan bahwa mahasiswa harus tetap menjaga kewarasan dan integritas, bahkan ketika berada dalam arus besar yang mencoba menyeret mereka. Sikapnya yang konsisten memilih menjadi “manusia merdeka” menjadikan sosok Gie relevan hingga kini. Kenapa Mahasiswa Harus Membacanya? Catatan Seorang Demonstran bukan hanya buku sejarah, melainkan cermin bagi generasi muda. Di tengah derasnya intervensi kekuasaan, buku ini menjadi pengingat agar mahasiswa tidak kehilangan daya kritis. Membaca Gie berarti belajar mencintai bangsa dengan cara yang jujur, keras, tetapi tetap berakar pada nurani kemanusiaan. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Book Review

Peta Jalan dari Gramsci untuk Para Demonstran

Book Review Peta Jalan dari Gramsci untuk Para Demonstran Mengapa Revolusi Marx Tidak Terjadi? Antonio Gramsci, seorang pemikir Marxis asal Italia, pernah dilanda frustrasi. Revolusi yang dijanjikan Karl Marx tidak kunjung terwujud, padahal eksploitasi kelas penguasa terhadap kelas pekerja semakin nyata. Bagi Gramsci, ada sesuatu yang keliru dalam membaca kondisi sosial: eksploitasi yang keras dan terang-terangan itu ternyata tidak selalu dirasakan sebagai penderitaan oleh kaum proletar. Cultural Hegemony: Kuasa yang Halus Gramsci menyadari bahwa kelas pekerja justru sering mengamini penindasan yang dialaminya. Hal ini terjadi karena adanya cultural hegemony, yaitu bentuk penguasaan yang halus dan subtil. Melalui hegemoni budaya, nilai-nilai dan ideologi kelas penguasa diterima sebagai sesuatu yang wajar, bahkan benar. Inilah yang membuat massa tidak merasa sedang ditindas, melainkan justru mendukung tatanan yang mengekang mereka. Strategi: Perang Posisi dan Perang Manuver Untuk menjawab persoalan ini, Gramsci menawarkan strategi perjuangan baru. Ia membedakan dua bentuk perjuangan: perang manuver dan perang posisi. Perang manuver adalah perebutan kekuasaan secara langsung melalui konfrontasi terbuka, seperti pemberontakan atau revolusi. Sebaliknya, perang posisi adalah perjuangan jangka panjang yang lebih strategis melalui pembentukan hegemoni budaya dan ideologis. Mengapa Memulai dari Perang Posisi? Dalam masyarakat kapitalis maju, kelas penguasa tidak hanya memiliki kendali ekonomi, tetapi juga kendali budaya dan ideologis atas massa. Jika perlawanan langsung dilancarkan, maka peluang kegagalan jauh lebih besar. Karena itu, Gramsci menekankan pentingnya perang posisi: membangun hegemoni tandingan yang dapat menandingi dominasi budaya kelas penguasa. Dengan kata lain, perubahan sejati hanya mungkin dicapai jika terlebih dahulu ada kemenangan dalam ranah ide dan budaya. Perang Posisi sebagai Proses Dinamis Perang posisi bukanlah perjuangan pasif, melainkan proses dinamis yang berlangsung melalui pendidikan, agitasi, serta penciptaan lembaga-lembaga budaya, politik, dan sosial alternatif. Tujuannya adalah memenangkan hati dan pikiran massa, sehingga mereka sadar akan penindasan yang dialaminya. Jika perang posisi berhasil, maka jalan menuju perang manuver akan lebih terbuka. Pada tahap itulah perebutan kekuasaan secara politik dapat dilakukan dengan peluang keberhasilan yang lebih besar. Sumber:Gramsci, A. (1929–1935). Prison Notebooks. Columbia Press. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Book Review

Buku-Buku Sosiologi Politik yang Mengubah Cara Kita Melihat Negara

Book Review Buku-Buku Sosiologi Politik yang Mengubah Cara Kita Melihat Negara Setelah membaca karya-karya penting dalam sosiologi politik ini, cara pandang kita terhadap negara tidak akan pernah sama lagi. Para pemikir besar, dari Machiavelli hingga James C. Scott, menyingkap bagaimana kekuasaan bekerja, siapa yang benar-benar mengendalikan negara, dan apa dampak kebijakan terhadap masyarakat. Niccolò Machiavelli – The Prince Dalam karya klasik The Prince, Machiavelli menyatakan bahwa penguasa harus memprioritaskan stabilitas dan keamanan negara di atas segalanya, bahkan jika harus menempuh jalan yang tidak bermoral. Bagi Machiavelli, seorang pemimpin yang efektif harus ditakuti sekaligus dicintai, tetapi jika harus memilih, rasa takut lebih ampuh dalam menjaga kekuasaan. Sang penguasa ideal harus licik seperti rubah dan kuat seperti singa, bahkan rela menghalalkan segala cara demi bertahan. Max Weber – Politics as a Vocation Weber melihat politik modern sebagai medan yang sarat dengan dilema etis. Ia menyatakan bahwa politik menuntut etika tujuan akhir (berpegang pada prinsip moral) sekaligus etika tanggung jawab (mempertimbangkan konsekuensi nyata). Dalam analisisnya, negara modern pada dasarnya adalah entitas yang memiliki monopoli atas kekerasan yang sah, sebuah kekuatan yang membuatnya sangat penting, sekaligus berpotensi berbahaya. Karl Marx & Friedrich Engels – The German Ideology Bagi Marx dan Engels, sejarah bukan digerakkan oleh ide-ide besar, melainkan oleh kekuatan material produksi. Dalam The German Ideology, mereka menegaskan bahwa struktur sosial dan politik lahir dari kondisi material, dengan perjuangan kelas sebagai motor perubahan sejarah. Kapitalisme, yang penuh kontradiksi, pada akhirnya diyakini akan runtuh dan digantikan oleh revolusi komunis. C. Wright Mills – The Power Elite Mills menyoroti realitas demokrasi di Amerika Serikat. Menurutnya, keputusan-keputusan penting tidak diambil oleh rakyat banyak, melainkan oleh sekelompok kecil elit yang terdiri dari politisi, pengusaha, dan militer. Kelompok inilah yang ia sebut sebagai the power elite. Mereka beroperasi berdasarkan kepentingan bersama, saling bertukar peran, dan secara efektif meminggirkan publik dari proses demokrasi. James C. Scott – Seeing Like a State Scott memberikan kritik tajam terhadap cara negara merencanakan masyarakat. Ia menyatakan bahwa pendekatan modernisme tinggi yang menekankan standardisasi dan kontrol dari atas (top-down) sering kali gagal. Hal ini terjadi karena negara mengabaikan pengetahuan lokal serta kompleksitas relasi sosial dan ekologi. Skema besar negara, yang tampak rapi di atas kertas, justru sering berujung pada konsekuensi yang tidak diinginkan—bahkan bencana. Dengan membaca karya-karya ini, kita belajar bahwa negara bukanlah entitas yang netral atau sederhana. Ia adalah arena kekuasaan, tempat ide, kepentingan, dan konflik bertemu. Pandangan para pemikir ini membuka mata kita untuk melihat negara dengan cara yang lebih kritis, tajam, dan realistis.   Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Book Review

Biar Cara Berpikirmu Lebih Sosiologis: Tiga Buku, Tiga Lensa Kritis

Book Review Biar Cara Berpikirmu Lebih Sosiologis: Tiga Buku, Tiga Lensa Kritis ngin berpikir lebih sosiologis dan tidak terjebak dalam cara pandang yang terlalu individual seperti psikolog atau terlalu spekulatif seperti filsuf? Tiga buku ini wajib kamu baca sebagai fondasi utama: The Rules of Sociological Method oleh Émile Durkheim, The Social Construction of Reality oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, serta The Sociological Imagination oleh C. Wright Mills. Ketiganya mengajarkan bagaimana melihat masyarakat, realitas, dan masalah pribadi dari sudut pandang yang lebih ilmiah dan terstruktur secara sosial. Durkheim dan Fakta Sosial: Melihat Masyarakat Secara Objektif Durkheim mengajak kita untuk memahami dunia sosial bukan sebagai kumpulan opini atau perasaan, tetapi sebagai “fakta sosial” (social facts). Artinya, fenomena sosial seperti norma, nilai, atau bahkan bunuh diri harus dilihat sebagai sesuatu yang objektif, bisa diukur, dan berada di luar individu. Maka, jika kamu mau berpikir seperti sosiolog, tinggalkan asumsi moral dan gunakan metode ilmiah yang sistematis. Dengan begitu, kamu tidak akan terjebak dalam prasangka atau penilaian subjektif yang sering muncul dalam pendekatan psikologi atau filsafat moral. Realitas Itu Dikonstruksi, Bukan Ditemukan: Pelajaran dari Berger dan Luckmann Melalui The Social Construction of Reality, Berger dan Luckmann mengajarkan bahwa kenyataan yang kita anggap “alami” atau “normal” sebenarnya adalah hasil konstruksi sosial. Mereka menjelaskan bahwa realitas terbentuk melalui tiga proses: eksternalisasi (manusia menciptakan masyarakat), objektivasi (masyarakat menjadi kenyataan yang tampak stabil), dan internalisasi (manusia kembali dibentuk oleh masyarakat yang ia ciptakan). Jadi, jangan mudah percaya bahwa kenyataan sosial itu netral; selalu ada proses sejarah dan relasi kekuasaan di baliknya. Mills dan Imajinasi Sosiologis: Hubungkan Diri dengan Struktur Sosial C. Wright Mills, dalam The Sociological Imagination, mengajarkan bahwa untuk benar-benar memahami hidup kita, kita harus mampu menghubungkan pengalaman pribadi (personal troubles) dengan struktur sosial yang lebih luas (public issues). Misalnya, pengangguran bukan sekadar kegagalan individu, tetapi bisa jadi cerminan dari krisis ekonomi atau sistem pendidikan yang tidak adil. Imajinasi sosiologis memungkinkan kita melihat bahwa masalah yang kita hadapi bukan hanya milik kita pribadi, tetapi bagian dari dinamika sosial yang lebih besar. Penutup: Berpikir Sosiologis itu Perlu Dengan membaca dan memahami ketiga buku tersebut, kamu akan memiliki lensa kritis untuk membaca masyarakat secara lebih dalam dan struktural. Kamu akan sadar bahwa kenyataan tidak selalu seperti yang tampak, dan masalah pribadi sering kali punya akar sosial. Inilah bekal penting bagi siapa pun yang ingin memahami masyarakat bukan hanya dari permukaan, tapi dari struktur dan proses sosial yang membentuknya. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Book Review

Kita adalah Apa yang Kita Lakukan: Menyelami Teori Praktik Sosial Pierre Bourdieu

Ringkasan Teori Kita adalah Apa yang Kita Lakukan: Menyelami Teori Praktik Sosial Pierre Bourdieu Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali tidak menyadari bahwa apa yang kita lakukan berulang kali bukan sekadar kebiasaan pribadi, melainkan bagian dari praktik sosial yang lebih luas. Melalui lensa teori praktik sosial yang dikembangkan oleh Pierre Bourdieu, kita dapat memahami bagaimana tindakan-tindakan kecil dalam rutinitas kita sesungguhnya berperan besar dalam membentuk struktur sosial dan identitas diri. Apa Itu Teori Praktik Sosial? Teori praktik sosial berupaya menjelaskan bagaimana tindakan manusia tidak berdiri sendiri, tetapi selalu berkaitan erat dengan konteks sosial tempat tindakan itu terjadi. Teori ini mengkaji bagaimana praktik-praktik—yakni tindakan yang dilakukan secara rutin—dapat direproduksi dan ditransformasikan seiring waktu. Di dalamnya terdapat dinamika antara struktur sosial yang membatasi dan memungkinkan, serta agensi individu yang memiliki kapasitas untuk bertindak. Praktik sebagai Titik Pusat Dalam teori ini, “praktik” adalah konsep kunci. Praktik mencakup aktivitas fisik maupun mental, keterlibatan dengan objek material, serta dimensi afektif seperti emosi dan motivasi. Praktik-praktik sosial bukan hanya pola perilaku yang diulang-ulang, tetapi juga mencerminkan nilai, norma, dan makna dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain, kita bukan hanya melakukan sesuatu, tetapi menjadi sesuatu melalui apa yang kita lakukan. Struktur dan Agensi: Hubungan Dua Arah Salah satu kekuatan teori praktik sosial adalah kemampuannya menjembatani perdebatan antara struktur dan agensi. Di satu sisi, individu dibentuk oleh struktur sosial seperti institusi, norma, dan konvensi. Namun di sisi lain, individu juga memiliki kapasitas untuk mereproduksi, menyesuaikan, bahkan mengubah struktur tersebut melalui praktik mereka. Inilah dinamika sosial yang terus berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Praktik Itu Dinamis dan Kontekstual Pierre Bourdieu menekankan bahwa praktik sosial tidaklah statis. Ia tumbuh, berubah, dan beradaptasi. Ketika individu berinteraksi dalam konteks yang berbeda—baik secara historis maupun sosial—praktik-praktik baru dapat muncul dan yang lama bisa mengalami modifikasi. Ini menegaskan bahwa perubahan sosial sering kali berakar dari hal-hal yang tampak biasa: rutinitas yang dijalani bersama. Dimensi Waktu dalam Praktik Praktik selalu berlangsung dalam waktu. Ia tidak hanya terjadi saat ini, tetapi juga membawa jejak masa lalu dan membentuk kemungkinan masa depan. Cara kita mengulangi tindakan tertentu dan bagaimana tindakan tersebut diingat atau diwariskan menciptakan dimensi temporalitas yang khas—membentuk kesinambungan budaya dalam masyarakat. Belajar, Menjadi, dan Identitas Melalui keterlibatan dalam praktik-praktik sosial, seseorang belajar dan membentuk dirinya. Identitas tidak sekadar diberikan, melainkan dikembangkan melalui partisipasi aktif dalam praktik komunitas. Dari sinilah seseorang menjadi “praktisi” yang tidak hanya mengetahui apa yang dilakukan, tetapi juga menghayati nilai dan tujuan di balik tindakannya. Pierre Bourdieu dan Gagasan Habitus Pierre Bourdieu, sosiolog asal Prancis, adalah tokoh utama dalam pengembangan teori praktik sosial. Konsep kunci lain yang ia tawarkan adalah habitus—struktur mental dan disposisi yang dibentuk oleh pengalaman sosial kita. Habitus membantu menjelaskan mengapa kita bertindak dengan cara tertentu secara otomatis, tanpa harus berpikir panjang. Penutup Pada akhirnya, teori praktik sosial menawarkan cara pandang yang mendalam dan menyeluruh terhadap kehidupan sosial. Ia membantu kita memahami bahwa perubahan besar dalam masyarakat sering kali berawal dari perubahan kecil dalam praktik sehari-hari. Kita bukan hanya ada dalam dunia sosial, tetapi juga membentuknya melalui apa yang kita lakukan—berulang kali dan bersama-sama. “Kita adalah apa yang kita lakukan secara berulang. Maka keunggulan bukanlah tindakan, melainkan kebiasaan.” — Aristotle (dikutip kembali oleh Bourdieu dalam semangat praksis sosial) ReferensiBourdieu, P. (1977). Outline of a Theory of Practice. Cambridge: Cambridge University Press. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Book Review

Mengenal Karya Penting Berger dan Luckmann: The Social Construction of Reality

Book Review Mengenal Karya Penting Berger dan Luckmann: The Social Construction of Reality The Social Construction of Reality adalah salah satu buku paling berpengaruh dalam dunia sosiologi abad ke-20. Ditulis oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1966 dan sejak itu telah menjadi rujukan penting dalam bidang sociology of knowledge atau sosiologi pengetahuan. Tujuan utama buku ini adalah untuk menjelaskan bagaimana pengetahuan dibangun secara sosial, bagaimana ia menjadi tampak objektif, dan bagaimana ia diinternalisasi oleh individu melalui interaksi sehari-hari. Pertanyaan Kunci: Bagaimana Realitas Dibentuk Bersama? Pada bagian pengantar, Berger dan Luckmann mengajukan pertanyaan mendasar: “Bagaimana sesuatu yang dianggap sebagai ‘pengetahuan’ dan ‘realitas’ dalam konteks sosial tertentu bisa mencapai status sebagai sesuatu yang dianggap sah? Bagaimana sekelompok orang bisa berbagi ‘realitas’ yang disepakati bersama ini?” Pertanyaan ini bukan bersifat abstrak atau akademis belaka. Sebaliknya, ia sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari—realitas yang kita anggap “biasa” ternyata dibentuk oleh proses sosial yang panjang. 1. Fondasi Pengetahuan dalam Kehidupan Sehari-hari Dalam bab pertama yang berjudul The Foundations of Knowledge in Everyday Life, Berger dan Luckmann menggunakan pendekatan fenomenologis, yaitu fokus pada bagaimana individu mengalami dunia secara subjektif. Mereka menjelaskan bahwa apa yang kita anggap sebagai “realitas” atau “pengetahuan” sebenarnya adalah hasil dari asumsi bersama yang dibentuk dalam interaksi sosial. Dunia sehari-hari menjadi dasar bagi realitas sosial karena dialami terus-menerus oleh individu dalam hubungan sosial mereka. 2. Masyarakat sebagai Realitas Objektif Pada bab kedua, Society as Objective Reality, dibahas bagaimana interaksi sosial melahirkan lembaga-lembaga sosial seperti keluarga, agama, pendidikan, dan hukum. Interaksi yang berulang menciptakan pola, dan pola ini membentuk institusi. Seiring waktu, lembaga-lembaga ini mengalami reifikasi, yaitu dianggap sebagai sesuatu yang objektif dan “alami”, meskipun sebenarnya merupakan hasil konstruksi sosial. 3. Masyarakat sebagai Realitas Subjektif Bab ketiga, Society as Subjective Reality, menjelaskan bagaimana individu kemudian menginternalisasi lembaga-lembaga ini melalui proses sosialisasi: Sosialisasi Primer: Proses awal saat seorang anak belajar menjadi anggota masyarakat melalui keluarga atau lingkungan dekat. Sosialisasi Sekunder: Proses pembelajaran norma-norma sosial dalam konteks yang lebih luas, seperti sekolah atau tempat kerja. Resosialisasi: Ketika seseorang harus menyesuaikan kembali identitasnya karena masuk dalam lingkungan sosial yang baru. Melalui proses ini, individu mulai mengidentifikasi dirinya dalam sistem sosial dan menerima realitas sosial sebagai bagian dari dirinya sendiri. 4. Penutup: Menuju Teori Sosiologi Pengetahuan Pada bagian akhir, Berger dan Luckmann menekankan pentingnya sosiologi pengetahuan sebagai landasan bagi pemikiran sosiologis yang lebih luas. Mereka mengajak untuk menyatukan sosiologi pengetahuan dengan cabang-cabang sosiologi lain, seperti: Sosiologi Bahasa Teori Tindakan Sosial Sosiologi Agama Menurut mereka, bidang-bidang ini terlalu lama dianggap sebagai pinggiran dari sosiologi, padahal justru sangat penting untuk memahami struktur dan dinamika masyarakat. Kesimpulan The Social Construction of Reality bukan hanya karya teoritis, melainkan juga panduan untuk memahami bagaimana kehidupan sosial dibentuk, diwariskan, dan diterima oleh individu sebagai hal yang nyata. Buku ini menawarkan kerangka konseptual yang kuat untuk memahami dunia sosial—bukan sebagai sesuatu yang “ada begitu saja”, tetapi sebagai hasil kerja bersama manusia dalam waktu panjang. Bagi siapa pun yang ingin menyelami lebih dalam bagaimana realitas sosial dibentuk, dipertahankan, dan diubah, buku ini adalah titik awal yang sangat penting. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Book Review

Stigma: Notes on the Management of Spoiled Identity

Book Review Stigma: Notes on the Management of Spoiled IdentityMembongkar Dunia yang Tersembunyi dari Mereka yang Terstigma Apa rasanya menjadi orang yang “berbeda” dalam pandangan masyarakat? Buku klasik karya Erving Goffman berjudul Stigma: Notes on the Management of Spoiled Identity (1963) memberikan jawaban tajam dan menggugah. Buku ini mengajak kita menyelami kehidupan orang-orang yang terstigma—mereka yang identitasnya “cacat” di mata norma sosial—dan bagaimana mereka mencoba bertahan, menyesuaikan diri, bahkan melawan. 1. Tiga Jenis Stigma Menurut Goffman Pada bab awal, Goffman membagi stigma menjadi tiga kategori: Stigma sifat karakter: berkaitan dengan aspek moral atau perilaku yang dianggap menyimpang, seperti ketidakjujuran atau kecanduan. Stigma fisik: menyangkut kondisi tubuh yang tampak berbeda, misalnya disabilitas atau cacat fisik. Stigma identitas kelompok: berdasarkan kategori sosial seperti ras, etnisitas, agama, atau kebangsaan. Meskipun berbeda, ketiganya memiliki kesamaan: masing-masing membawa konsekuensi sosial yang sistematis dan membentuk relasi kekuasaan dalam masyarakat. 2. Respons terhadap Stigma Goffman menunjukkan bahwa individu yang terstigma merespons dengan berbagai cara: Menutupi atau mengalihkan perhatian, seperti operasi plastik atau menonjolkan sisi lain yang dianggap “unggul.” Menghindari relasi sosial intim, karena khawatir stigma akan terungkap. Mengalami kecemasan dan tekanan psikologis karena terus menerus harus “bermain peran.” Mencari komunitas senasib, yang dapat memberikan solidaritas dan dukungan emosional. Semua respons ini menunjukkan bahwa menjadi terstigma bukan hanya pengalaman individual, tetapi juga pengalaman sosial yang melelahkan. 3. Simbol Stigma dan Strategi “Penghilangan Identitas” Bab dua membahas konsep simbol stigma, yaitu tanda atau ciri yang menandakan perbedaan seseorang. Contohnya: Cincin kawin → status pernikahan Kursi roda, tongkat, alat bantu dengar → kondisi fisik Warna kulit atau gaya rambut tertentu → identitas kelompok Orang yang terstigma kadang mencoba menghilangkan simbol-simbol ini agar diterima sebagai “normal”. Namun, upaya ini sering berdampak balik—mengikis kepercayaan diri dan menimbulkan konflik identitas. 4. Etiket Sosial Orang yang Terstigma Dalam bab tiga, Goffman merinci delapan “aturan tak tertulis” yang sering diikuti oleh orang terstigma saat berhadapan dengan “orang normal”: Anggap bahwa orang normal itu bodoh, bukan jahat. Abaikan hinaan; bersikap sabar. Gunakan humor untuk mencairkan suasana. Perlakukan orang normal dengan hormat. Gunakan stigma sebagai topik pembicaraan serius. Gunakan jeda percakapan dengan bijak. Terbuka terhadap pertanyaan dan bantuan. Anggap diri sendiri sebagai orang normal. Aturan ini memperlihatkan beban sosial yang harus terus dinegosiasikan oleh individu yang terstigma, bahkan dalam interaksi sehari-hari. 5. Stigma dan Teori Penyimpangan Dalam dua bab terakhir, Goffman memperluas pembahasan menuju fungsi sosial dari stigmatisasi. Ia menunjukkan bahwa stigma tidak hanya mencerminkan pandangan negatif, tapi juga alat kontrol sosial—cara masyarakat menentukan siapa yang “di dalam” dan siapa yang “di luar” norma. Goffman juga menantang konsep penyimpangan dalam sosiologi: mungkin yang menyimpang bukan perilakunya, tapi cara masyarakat memberi makna dan respons terhadap perbedaan. Kesimpulan: Membaca Stigma, Mengenal Dunia Lain Buku Stigma dari Goffman bukan sekadar kajian teoretis; ini adalah jendela untuk memahami kehidupan mereka yang disingkirkan dari “normalitas.” Goffman dengan cerdas membalik pertanyaan: mungkin bukan orang yang terstigma yang bermasalah, tapi sistem sosial yang gagal merangkul keberagaman. Referensi: Crossman, Ashley. (2025, April 25). Stigma: Notes on the Management of Spoiled Identity. Retrieved from https://www.thoughtco.com/stigma-notes-on-the-management-of-spoiled-identity-3026757   Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Book Review

Kamu Belum Paham Sosiologi Agama Kalau Belum Baca Buku Ini

Book Review Kamu Belum Paham Sosiologi Agama Kalau Belum Baca Buku Ini Salah satu bacaan wajib dalam sosiologi agama adalah karya monumental Émile Durkheim berjudul The Elementary Forms of Religious Life. Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1912 dan dianggap sebagai fondasi penting dalam memahami hubungan antara agama dan masyarakat. Berdasarkan studi terhadap kehidupan suku Aborigin di Australia, Durkheim merumuskan teori-teori awal tentang asal-usul agama dan perannya dalam membentuk kohesi sosial. Enam Topik Pokok dalam Buku Buku ini dibagi ke dalam enam pembahasan utama: Durkheim’s Two Problems Defining Religion The Most Primitive Religion: Animism, Naturism, Totemism Totemic Beliefs: Their Nature, Causes, and Consequences Totemic Rites: Their Nature and Causes The Social Origins of Religion and Science Melalui enam tema ini, Durkheim membangun argumen bahwa agama adalah produk kehidupan sosial, bukan sekadar pengalaman individual atau metafisik. Agama sebagai Fenomena Sosial Durkheim berpendapat bahwa agama lahir dari kehidupan komunal. Ia bukan sekadar keyakinan personal, melainkan hasil dari kesadaran kolektif yang memberi makna bersama bagi individu dalam suatu kelompok. Dalam konteks ini, agama menjadi alat bagi individu untuk merasakan keamanan emosional, solidaritas, dan identitas sosial. Totemisme sebagai Dasar Struktur Agama Studi Durkheim terhadap masyarakat Aborigin menunjukkan bahwa totemisme—kepercayaan terhadap hewan atau benda sebagai simbol suci klan—adalah bentuk agama paling sederhana dan mendasar. Totem bukan sekadar simbol hewan, tetapi representasi dari kelompok sosial itu sendiri. Dengan kata lain, menyembah totem berarti menyembah komunitas dan ikatan sosial yang ada di baliknya. Sakral vs Profan: Inti dari Semua Agama Salah satu gagasan paling terkenal dari Durkheim adalah pemisahan antara yang sakral dan profan. Sakral merujuk pada hal-hal yang dianggap suci, dihormati, dan memiliki kekuatan kolektif, sementara profan adalah yang biasa, sehari-hari, dan duniawi. Menurutnya, semua sistem keagamaan dibangun di atas perbedaan ini. Fungsi Sosial Agama Durkheim menegaskan bahwa agama memainkan peran penting dalam menjaga kohesi sosial. Ia menyatukan individu dalam ritual, norma, dan nilai yang sama, serta menciptakan rasa memiliki dan tujuan bersama. Agama bukan hanya ekspresi iman, tetapi institusi sosial yang menjaga keteraturan dan harmoni masyarakat. Evolusi Agama: Dari Primitif ke Kompleks Durkheim menilai bahwa agama-agama primitif seperti totemisme tidak bisa diremehkan. Justru dari struktur dasar inilah kita bisa memahami esensi dari agama-agama besar dunia. Menelusuri asal-usul ini memungkinkan kita melihat bagaimana sistem keagamaan berkembang, bertransformasi, dan tetap relevan dalam kehidupan sosial manusia. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah seorang akademisi dan sosiolog dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang menempuh pendidikan sosiologi di Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia dikenal aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi melalui berbagai kegiatan akademik, termasuk mengikuti short course di Jerman dan Australia. Selain itu, Dr. Dede merupakan pendiri komunitas kajian Perspektif Sosiologi yang berfokus pada analisis isu-isu sosial kontemporer. Ia juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Program Studi Sosiologi di tingkat S1, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Bandung Address-card Instagram Share yuk artikel ini… Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Book Review

Buku Teori Sosiologi Sesuai Semester yang Mesti Kamu Baca

Buku Teori Sosiologi Sesuai Semester yang Mesti Kamu Baca Semeter 1 Pengantar Sosiologi: Sosiologi Suatu Pengantar, Soerjono Soekanto 2. Introduction to Sociology, Anthony Giddens Semester 2 Teori Sosiologi Klasik: Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Doyle Paul Johnson Realitas Sosial, K.J. Veeger Semester 3 Teori Sosiologi Moderen: Teori Sosiologi Klasik dan Modern vol 2, Doyle Paul Johnson Teori Sosiologi Modern, George Ritzer Semester 4 Teori Postmodern: Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Posmodern, George Ritzer Postmodern Social Theory, George Ritzer Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah seorang akademisi dan sosiolog dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang menempuh pendidikan sosiologi di Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia dikenal aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi melalui berbagai kegiatan akademik, termasuk mengikuti short course di Jerman dan Australia. Selain itu, Dr. Dede merupakan pendiri komunitas kajian Perspektif Sosiologi yang berfokus pada analisis isu-isu sosial kontemporer. Ia juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Program Studi Sosiologi di tingkat S1, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Bandung Address-card Instagram Share yuk artikel ini… Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Book Review

The Presentation of Self in Everyday Life, Erving Goffman (1959)

Kamu pasti pernah dengar teori Dramaturgi. Ini adalah teori yang populer dan ngena banget untuk dipakai menganalisis perilaku manusia. Tapi, kamu mungkin belum baca sepenuhnya buku yang ngejelasin tentang teori Dramaturgi itu. Nah, kali ini aku mau ngebahasnya buat kalian ya… Teori ini dikemukakan oleh Erving Goffman, sosiolog Amerika dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life yang terbit pertama kali tahun 1956 dan diterbitkan ulang tahun 1969 dengan beberapa perubahan. Buku ini mendapatkan MacIver Awward dari American Sociological Association dan jadi salah satu dari 10 buku paling berpengaruh abad ke dua puluh. Apa yang dibahas di buku itu? Ada 6 Pembahasan untuk menguraikan apa itu dramaturgi : 1. Pertunjukan Goffman mendefiniskan “Pertunjukan” sebagai kegiatan yang dilakukan oleh seorang peserta pada suatu kesempatan yang bertujuan untuk mempengaruhi peserta lain dengan cara apapun. Aktivitas yang dilakukannya disebut dengan “kinerja”, yaitu semua aktivitas individu yang terjadi selama periode tertentu yang ditandai dengan kehadirannya yang terus-menerus di depan penonton dan berpengaruh pada penonton itu. Ada berbagai situasi dan latar tempat pertunjukan berlangsung. Contoh paling jelas adalah situasi saat wawancara kerja. Dalam situasi ini, orang yang diwawancarai akan menampilkan versi diri mereka agar dihargai pewawancara. Kata Goffman pertunjukan itu merupakan aspek penting dari bagaimana kita “mendefinisikan situasi”. Interaksi sosial memerlukan penampilan aktor untuk mendefinisikan dan menegosiasikan situasi yang dihadapinya. 2. Tim Pertunjukan merupakan upaya kolaboratif dalam sebuah tim. ‘Tim’ bekerja sama untuk menciptakan kesan dalam mendefinisikan situasi. Mereka dituntut untuk saling percaya agar dapat memainkan peran mereka dengan meyakinkan. Individu yang sebagai satu tim saling bergantung satu sama lain. Masing-masing memiliki peran untuk dimainkan di ‘panggung depan’. 3. Stage (panggung) dan Perilaku Stage Penampilan aktor berada pada berbagai panggung. Aktor dalam suatu panggung dapat dilihat secara bervariasi oleh audiens yang berbeda. Kata Goffman panggung dibagi jadi tiga : panggung depan, panggung belakang , dan panggung luar. Panggung depan : tempat aktor memainkan peran dihadapan penonton. Panggung Belakang: Saat aktor berada di ‘belakang panggung’, individu dan tim dapat berlatih, bersantai, dan berperilaku ‘tidak seperti biasanya’. Panggung luar: Wilayah yang ditempati oleh ‘orang luar’ yang tidak dimaksudkan untuk hadir oleh aktor. 4. Peran yang Berbeda Goffman mencatat bahwa ‘peran yang tidak sesuai’ juga ada, di mana aktor mungkin tidak sepenuhnya sesuai dengan salah satu dari tiga kategori tadi (panggung depan, belakang dan luar). 5. Komunikasi di Luar Karakter Di bab ini Goffman menguraikan empat bentuk komunikasi yang dapat terjadi di luar karakter tadi: 6. Seni Manajemen Kesan Bab ‘Manajemen kesan’ menggambarkan cara-cara pemain merencanakan dan mempersiapkan pertunjukan.

Scroll to Top