Info

Info

Kurban, Iduladha, dan Sosiologi Pengorbanan Menurut Émile Durkheim

Info Kurban, Idul Adha, dan Sosiologi Pengorbanan Menurut Émile Durkheim Idul Adha atau Hari Raya Kurban merupakan salah satu momen penting dalam tradisi keagamaan umat Islam. Namun, di balik praktik penyembelihan hewan kurban, terdapat makna sosial dan simbolis yang dalam. Émile Durkheim, seorang sosiolog klasik, memberikan kerangka teoretis untuk memahami pengorbanan sebagai praktik sosial dan religius yang melibatkan lebih dari sekadar tindakan fisik. Bagi Durkheim, pengorbanan bukan hanya ibadah, tetapi juga medium yang menghubungkan manusia dengan yang sakral. Apa Itu Ritual Pengorbanan? Pengorbanan merupakan tindakan mempersembahkan sesuatu yang berharga—baik berupa harta benda, hewan, atau bahkan manusia—kepada entitas ilahi sebagai bentuk pemujaan atau upaya pendamaian. Tradisi ini tidak eksklusif milik Islam, tetapi sudah ada sejak masa peradaban Ibrani, Yunani kuno, hingga komunitas-keagamaan paling awal. Dalam perspektif Durkheim, ritual pengorbanan ini menjadi fondasi dalam sistem keagamaan, karena mengandung fungsi sosial yang kuat dalam membentuk kohesi komunitas. Asal-usul Istilah dan Makna Qurban Kata sacrifice berasal dari bahasa Latin sacrificus, gabungan dari sacra (hal-hal suci) dan facere (membuat atau melakukan). Dalam konteks Islam, istilah kurban atau ḏabiḥa (ذَبِيْحَة) memiliki akar dari bahasa Arab dan Ibrani, yakni qurban atau korban, yang menunjukkan pendekatan atau kedekatan kepada Tuhan. Dengan demikian, praktik ini tidak hanya menyimbolkan ketaatan, tetapi juga bentuk komunikasi spiritual antara manusia dan Tuhan. Fungsi Sosial dan Religius Pengorbanan Durkheim menekankan bahwa pengorbanan bukan hanya ritual, tetapi proses transformasi yang mendalam bagi mereka yang terlibat. Ia berfungsi sebagai media penyucian dan sebagai alat untuk membangun kembali ikatan sosial dalam komunitas. Dalam upacara keagamaan, hewan yang dikorbankan berperan sebagai perantara antara dunia profan (yang biasa) dan dunia sakral (yang suci). Karena kesucian bersifat “tak tersentuh”, mediasi harus dilakukan melalui simbol yang bisa dihancurkan—yaitu hewan kurban. Dengan kata lain, korban menjadi medium komunikasi yang mempertemukan dua ranah eksistensial manusia. Sakralitas dan Dunia yang Terpisah Pengorbanan menurut Durkheim adalah jembatan penghubung sekaligus pemisah antara dunia sakral dan profan. Ia adalah pintu simbolis yang hanya bisa dibuka melalui tindakan ritus pengorbanan. Tindakan ini melibatkan proses memberi dan menerima melalui pengorbanan subjek yang dikuduskan. Itulah sebabnya, dalam banyak tradisi keagamaan di dunia—baik di masa lalu maupun sekarang—pengorbanan selalu menempati posisi inti dalam praktik beragama. Ia menegaskan kembali keterikatan komunitas terhadap nilai-nilai sakral dan memperbaharui hubungan mereka dengan kekuatan transendental. Sumber:Durkheim, Émile. (1995 [1912]). The Elementary Forms of Religious Life: The Totemic System in Australia. K. E. Fields. Free Press, New York.Faherty, R. L. (2022, January 30). Sacrifice. Encyclopedia Britannica. https://www.britannica.com/topic/sacrifice-religion Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah seorang akademisi dan sosiolog dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang menempuh pendidikan sosiologi di Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia dikenal aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi melalui berbagai kegiatan akademik, termasuk mengikuti short course di Jerman dan Australia. Selain itu, Dr. Dede merupakan pendiri komunitas kajian Perspektif Sosiologi yang berfokus pada analisis isu-isu sosial kontemporer. Ia juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Program Studi Sosiologi di tingkat S1, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Bandung Address-card Instagram Share yuk artikel ini… Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Info

Tipe-Tipe Mahasiswa Baru di Jurusan Sosiologi

Tipe-Tipe Mahasiswa Baru di Jurusan Sosiologi Setiap awal tahun ajaran, jurusan Sosiologi selalu kedatangan mahasiswa baru dengan latar belakang dan motivasi yang beragam. Nah, kalau diperhatikan, ada beberapa tipe maba (mahasiswa baru) yang sering muncul. Pertama, ada Tipe Tersesat. Biasanya mereka ini masuk Sosiologi bukan karena pilihan utama—kadang salah jurusan atau sekadar ikut-ikutan. Di semester awal sering terlihat kebingungan menghadapi istilah dan konsep-konsep sosiologis. Tapi jangan salah, kalau mereka akhirnya dapat “pencerahan” dan mulai paham esensinya, mereka bisa bertahan dan malah jadi keren. Kalau enggak, ya… biasanya mulai menghilang di semester tiga. Kedua, kita punya Tipe Taqdir. Ini tipe yang sebenarnya pengin banget masuk jurusan kedokteran atau teknik, tapi apa daya, nilai atau passing grade tak sampai. Akhirnya, jurusan Sosiologi jadi pelabuhan tak terduga. Tapi siapa sangka, banyak dari mereka justru bisa jatuh cinta sama dunia sosial setelah benar-benar menjalaninya. Lanjut ke Tipe Konversi. Mereka ini datang dari latar belakang SMK, STM, atau bahkan anak IPA. Lalu tiba-tiba banting setir ke Sosiologi. Awalnya memang butuh waktu adaptasi, tapi kalau sudah nemu iramanya, banyak yang justru bersinar karena pendekatannya yang unik dan berbeda. Terakhir, ada Tipe Terniat. Nah, ini dia tipe yang dari awal sudah cinta mati sama ilmu sosial. Biasanya anak IPS yang suka diskusi, nonton film dokumenter, baca isu-isu sosial, dan tentu saja sudah follow akun-akun sosiologi, termasuk @perspektif_sosiologi. Mereka masuk Sosiologi sebagai pilihan pertama, dan datang kuliah dengan semangat penuh. Mantap banget! Jadi, kamu termasuk tipe yang mana nih? Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah seorang akademisi dan sosiolog dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang menempuh pendidikan sosiologi di Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia dikenal aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi melalui berbagai kegiatan akademik, termasuk mengikuti short course di Jerman dan Australia. Selain itu, Dr. Dede merupakan pendiri komunitas kajian Perspektif Sosiologi yang berfokus pada analisis isu-isu sosial kontemporer. Ia juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Program Studi Sosiologi di tingkat S1, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Bandung Address-card Instagram Share yuk artikel ini… Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Info

Aku, Kamu, dan Teori Sosiologi: Dari Hubungan Tanpa Status sampai Revolusi Marx

Ada satu teori sosiologi yang, entah kenapa, terasa begitu ngangenin—yakni teori tentang role dan status. Kenapa ngangenin? Karena, kadang teori ini bikin kita teringat pada hubungan yang kerasa tapi nggak ada status. Ya, semacam hubungan yang dijalani tapi nggak jelas juntrungannya. Nah, teori role and status ini justru bantu kita memahami dinamika seperti itu dalam kehidupan sosial. Secara sederhana, teori peran dan status menjelaskan bagaimana posisi sosial (status) dan perilaku yang diharapkan (peran) membentuk tindakan seseorang. Status adalah posisi yang kita tempati dalam masyarakat—seperti mahasiswa, anak, sahabat—sedangkan peran adalah perilaku yang sesuai dengan posisi itu. Jadi, kalau kamu punya status “mahasiswa”, maka ada harapan untuk hadir di kelas, belajar, dan ikut ujian. Yang menarik, teori ini juga menjelaskan bagaimana kita belajar dan menginternalisasi peran-peran itu, serta bagaimana kita menyesuaikan diri agar cocok dengan ekspektasi sosial. Namun, dalam dunia teori sosiologi, tidak semua teori sepopuler role and status. Ada juga teori yang mulai dilupakan, seperti teori AGIL dari Talcott Parsons. Dulu, teori ini seakan jadi “langganan” skripsi mahasiswa. Teori AGIL menjelaskan bahwa agar sebuah sistem sosial tetap stabil, ia harus mampu melakukan empat fungsi: Adaptasi (A), Pencapaian Tujuan (G), Integrasi (I), dan Latensi atau pemeliharaan pola budaya (L). Meski fungsional dan sistematis, teori ini perlahan tergeser karena dinilai terlalu struktural dan kurang fleksibel menghadapi perubahan sosial yang cepat. Di sisi lain, ada juga teori yang sering “dilarang” secara halus—yaitu teori konflik dari Karl Marx. Banyak yang menganggapnya berbahaya. Kenapa? Karena dalam inti pemikirannya, Marx membayangkan bahwa perubahan sosial yang ideal hanya bisa dicapai melalui penggulingan revolusioner terhadap sistem kapitalis. Dalam masyarakat yang ingin stabil dan damai, gagasan revolusi dan konflik kelas ini dianggap terlalu radikal, bahkan bisa ditafsirkan sebagai pembenaran terhadap kekerasan dan pergolakan sosial. Padahal, kalau dipahami secara lebih jernih, Marx bukan sekadar menyerukan konflik, tetapi menyoroti ketimpangan struktural yang nyata dalam sistem sosial. Tujuan akhirnya adalah menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara. Namun, seperti banyak teori besar lainnya, interpretasi terhadap ide Marx kerap kali bergantung pada konteks sosial dan politik yang membacanya. Dari hubungan tanpa status, skripsi yang butuh teori, sampai isu konflik sosial, teori-teori sosiologi ternyata begitu dekat dengan keseharian kita. Mereka tidak hanya bicara soal masyarakat dalam skala besar, tapi juga bisa menjelaskan perasaan-perasaan kecil yang kita alami—tentang menjadi bagian dari suatu sistem, tentang perjuangan mendapat tempat, bahkan tentang cinta yang tak punya nama.

Info

Jejaring Asosiasi Sosiologi di Asia: Memperkuat Studi Sosial di Kawasan ASEAN dan Asia Pasifik

Dalam upaya memperluas wawasan keilmuan dan kolaborasi lintas negara, berbagai asosiasi sosiologi di kawasan Asia terus berkembang dan memainkan peran penting dalam penguatan riset dan pendidikan sosiologi. Tak hanya di lingkup nasional, asosiasi-asosiasi ini juga membentuk jejaring internasional yang menghubungkan para akademisi dari negara-negara ASEAN dan sekitarnya. Berikut adalah beberapa asosiasi utama yang berpengaruh di kawasan Asia. Asosiasi Sosiologi Asia Pasifik (APSA) Asosiasi Sosiologi Asia Pasifik (Asia Pacific Sociological Association) berfokus pada pengembangan beasiswa, penelitian, dan pendidikan sosiologi di seluruh kawasan Asia-Pasifik, termasuk negara-negara anggota ASEAN. APSA menjadi ruang kolaborasi penting bagi para sosiolog dalam menghadirkan pemahaman lokal yang relevan terhadap perubahan sosial global. Asosiasi Sosiologi Pedesaan Asia (ARSA) Khusus menangani isu-isu pedesaan, Asosiasi Sosiologi Pedesaan Asia (Asian Rural Sociology Association) memberikan perhatian besar pada sistem pangan berkelanjutan, ketahanan pangan, dan dinamika hubungan pedesaan-perkotaan. Dengan pendekatan kontekstual, ARSA mempertemukan sosiolog dari berbagai negara Asia—termasuk dari ASEAN—untuk membahas transformasi agraria dan krisis sosial di pedesaan. Asosiasi Sosiologi Asia Timur (EASA) Asosiasi Sosiologi Asia Timur (East Asian Sociological Association) berfokus pada penguatan studi sosiologi di negara-negara Asia Timur, seperti Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, serta mencakup beberapa negara ASEAN seperti Singapura dan Vietnam. EASA merupakan pemain utama dalam mempromosikan pendekatan regional terhadap masalah sosial yang kompleks. Asosiasi Sosiologi Internasional (ISA) Sebagai wadah global, Asosiasi Sosiologi Internasional (International Sociological Association) memiliki jaringan asosiasi nasional dan anggota terafiliasi dari Asia Timur dan Pasifik. ISA berperan penting dalam membawa suara Asia ke panggung sosiologi dunia, melalui konferensi internasional, publikasi, dan kolaborasi lintas batas negara. Asosiasi Sosiologi Amerika (ASA) – Asia dan Asia-Amerika Meski berbasis di Amerika Serikat, ASA memiliki divisi khusus yang menyoroti isu-isu Asia dan komunitas Asia-Amerika. Divisi ini menjadi ruang penting bagi para akademisi yang meneliti dinamika sosial di kawasan Asia, termasuk ASEAN, serta mengkaji pengalaman diaspora Asia di negara-negara Barat. Komunitas Sosiolog Asia Selatan Dalam lingkup ASA, terdapat pula komunitas yang fokus pada sosiologi Asia Selatan, mencakup negara-negara seperti India, Pakistan, Bangladesh, dan Sri Lanka. Meski berfokus pada Asia Selatan, komunitas ini sering bersinggungan dengan isu-isu sosial budaya di Asia Tenggara dan wilayah ASEAN, khususnya dalam hal migrasi, hubungan etnis, dan keagamaan. KesimpulanJejaring asosiasi sosiologi di kawasan Asia memainkan peran penting dalam pertukaran pengetahuan, pengembangan teori lokal, dan advokasi atas isu-isu sosial yang khas di kawasan ini. Bagi para peneliti dan akademisi di ASEAN, keberadaan asosiasi ini bukan hanya peluang akademik, tapi juga pintu masuk untuk membangun kontribusi regional dalam wacana sosiologi global.

Scroll to Top