Kolom

Kolom

Skripsian anti Mood Swing ala Teori Strukturasinya Giddens

Kolom Skripsian anti Mood Swing ala Teori Strukturasinya Giddens Apa sih momen mendebarkan di dunia perkuliahan? salah satu jawabannya adalah skripsi. Ya menulis skripsi itu ibarat drama panjang yang penuh lika-liku, naik turun seperti roller coaster. Saat mengerjakannya, kadang semangat sampai lupa waktu, tapi kang juga nge freez depan laptop gak ngapain. Belum lagi kalau dospemnya susah ditemuin padahal deadline sudah di depan mata. Kalau sudah seperti itu, menulis skripsi bukan lagi sekedar tugas akhir tapi juga ujian mental yang sama berat dengan tuntutan akademiknya sendiri. Kalian ngalamin fase yang sama? Kalau iya, tenang aja, kalian engga sendirian kok. Skripsi itu medan tarik-ulur antara tekanan dari luar dan bagaimana cara kita meresponsnya. Bukan sekedar cari teori yang tepat, ngumpulin data yang tepat, lalu menulis bab perbab lembaran skripsi. Kalau dijalani, skripsi itu jauh lebih kompleks dan mendrama. Ada tekanan dari keluarga, budaya kampus yang penuh aturan, sampai omongan teman yang bikin kit amakin tertekan. Nah, situasi seperti itu dapat kita jelasin pakai perspektif Teori Strukturasi dari Anthony Giddens. Dengan perspektif strukturasi, hidup kita itu berada dalam tarik menarik antara struktur vs. agen. Strukturnya itu seperti standar kampus, deadline, dan aturan. Sedangkan agennya adalah diri kita sendiri dengan pilihan kita untuk meresponsnya bagaimana. Struktur bisa membuat kita tertekan, tetapi memberikan kita arah. Sementara agen, maka kita bisa memilih antara mau melawan, menyesuaikan, atau mencari jalan pintas. Kalau kita terapkan teori ini ke dalam dunia skripsi, mood-swing  skripsi itu lahir dari kombinasi keduanya. Struktur itu hadir lewat aturan akademik yang ribet, tenggat waktu yang mepet, sampai ekspektasi orang sekitar. Sementara kita sebagai agen, punya cara sendiri bagaimana menghadapinya. Ada yang disiplin bikin jadwal mengerjakan skripsi, rajin bimbingan, atau nyari dukungan dari teman. Ada juga yang versi rebahan, main game, sampai ada yang pura- pura lupa demi menjaga kewarasan. Semua itu wajar kok manusiawi banget. Tapi pertanyaannya, apakah kita harus stuck atau mengulang pola ini? Gimana caranya agar kita tidak kalah dengan mood swing pas ngerjain skripsi? Nah, jawabannya bisa kita mulai dari hal sederhana: Pertama, terima prosesnya, jangan berharap kita bisa produktif tiap hari. Kerjain sedikit demi sedikit yang penting konsisten. Kedua, jangan jalan sendirian, skripsi itu lebih ringan kalau ada support system. Entah itu curhat ke Dosen Pembimbing, minta pendapat dari teman, atau minta doa dari keluarga. Ketiga, jaga pola hidup, skripsi itu akan lebih lancar kalau badan dan hati kita sehat. Ibadah ditingkatkan, tidur cukup makan teratur, dan olahraga sewajarnya. Keempat, ubah cara pandang, lihat skripsi itu bukan sebagai beban akhir kuliah, tetapi juga latihan mental supaya kita lebih tahan banting di dunia kerja atau kehidupan setelahnya. Jadi, berdamai dengan mood skripsian itu bukan soal menghilangkan stress atau rasa malas sepenuhnya, tetapi bagaimana kita belajar agar tetap melangkah meski mood tidak stabil. Skripsi itu memang melelahkan, tapi dari hal itu kita belajar disiplin, sabar dan seni bertahan hidup. Yang paling penting perjalanan skripsi itu pasti punya akhir. Jadi kalau sekarang kita lagi stuck, ingat aja siding itu nyata, wisuda itu mungkin, dan rasa lega setelahnya bakalan sepadan dengan proses yang kita lewati.   Nina Khoirunnisa Alumni Sosiologi FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Kolom

OJOL: Kapitalisme Digital & Ilusi Keadilan

Kolom OJOL: Kapitalisme Digital & Ilusi Keadilan Ojek online emang keliatan “the best”: gampang order, cepet nyampe, dan di sisi lain katanya bikin lapangan kerja baru. Tapi kalau dibedah lebih dalem, ada relasi nggak imbang antara pengemudi ojol sama aplikator yang jarang banget disorot. Pertanyaan gedenya: ini beneran inovasi kerja baru, atau cuma rebranding dari tukang ojek pangkalan yang dibungkus aplikasi? Dan ujung-ujungnya, siapa sih yang paling ketiban cuan—driver atau perusahaan platform? Kerja ojol memang keliatan fleksibel. Bisa online kapan aja, kerja di jalan, nggak ada bos yang nongkrongin. Tapi di balik fleksibilitas itu, ada algoritma yang “invisible” dan mainin aturan sesuka hati. Tarif bisa naik-turun tanpa penjelasan, potongan bisa berubah tiap minggu, dan driver nggak punya ruang buat protes. Akibatnya, pendapatan jadi nggak jelas, gampang anjlok, dan susah dipakai buat patokan hidup sehari-hari. Platform digital pinter banget nge-branding driver sebagai “mitra”. Padahal realitanya, mirip buruh tanpa kepastian hak. Nggak ada gaji tetap, nggak ada cuti, nggak ada jaminan pensiun. Kalau ada tilang atau kerugian di jalan, driver nanggung sendiri. Modal kendaraan juga dari driver, tapi keuntungan paling gede tetep dinikmatin perusahaan. Jadi seakan-akan “kemitraan” itu cuma label biar perusahaan bisa ngeles dari kewajiban. Kalau ditarik ke teori Marx, jelas banget nyambung ke konsep surplus value. Kerja keras driver ngehasilin nilai lebih, tapi yang panen justru pemilik modal alias aplikator. Eksploitasi ini nongol dari gap lebar antara kerja yang dicurahin sama upah yang diterima. Sama kayak buruh pabrik di era kapitalisme klasik: perusahaan pegang kendali penuh, buruh cuma bisa nrimo nasib. Di titik ini, adil nggak sih sistem ojol buat driver? Jawabannya: nggak bakal adil kalau negara cuma jadi penonton. Relasi kerja ojol itu bukan cuma urusan ekonomi, tapi udah nyentuh struktur sosial yang ngasih power gede ke aplikator dan ngecilin suara driver. Pemerintah harus turun tangan, nggak cukup cuma ngawasin. Harus ada aturan yang bener-bener ngelindungin driver sebagai pekerja, bukan sekadar “mitra semu”. Kalau nggak, ojol bakal terus jadi korban kapitalisme digital—enak buat konsumen, cuan buat aplikator, tapi bikin driver keok di jalanan. Penulis: Hikmah, Mahasiswa Sosiologi Universitas Airlangga Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Kolom

Persembahan Cinta

Kolom Persembahan Cinta “Tidak akan kau temukan Tuhanmu hingga kau lenyapkan dirimu dari segala selain-Nya.” (al-Hallaj) Dalam pernyataan tajam ini, al-Hallaj membawa kita pada inti pengalaman spiritual: bahwa untuk menemukan Tuhan, manusia harus kehilangan dirinya, yakni fana (lebur) dari ego dan segala sesuatu yang menjadi selain Tuhan. Pernyataan al-Hallaj adalah ajakan untuk melepaskan semua atribut yang mengikat: kehendak, keinginan, identitas, bahkan rasa memiliki. Dan dalam sejarah spiritualitas Islam, tidak ada peristiwa yang merepresentasikan ikhwal ini seintens peristiwa qurban. Qurban bukan hanya ritual penyembelihan hewan. Ia adalah pengingat, bahkan penghadir, dari peristiwa puncak dalam kisah spiritual Ibrahim dan Ismail. Ketika Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih anaknya. Anak yang ditunggu bertahun-tahun, yang dicintai sepenuh hati. Sejatinya, yang disembelih bukan Ismail, melainkan rasa “memiliki” terhadap Ismail. Yang diminta lenyap adalah ego Ibrahim yang berkata: “Ismail milikku.” Inilah yang disebut al-Hallaj dengan “melenyapkan diri dari segala selain-Nya.” Dalam qurban, kita tidak hanya menyembelih hewan, kita menyembelih ego, ambisi, kesombongan, keterikatan duniawi –segala yang menutupi wajah Ilahi dalam cermin jiwa kita. “Qurban yang sejati adalah ketika kau serahkan hatimu, bukan hanya hartamu, kepada Tuhan,” begitu kata Al-Ghazali. Maka qurban bukan soal daging yang mengalir ke dapur orang miskin, tetapi tentang batin yang mengalir ke samudera Ilahi, dengan melewati tahapan-tahapan tajrid (pelepasan), takhalli (pengosongan), dan tahalli (penghiasan diri dengan sifat-sifat Ilahiah). Al-Hallaj, dalam ekstasenya pernah berseru: “Ana al-Haqq” (Akulah Kebenaran). Sebuah pernyataan kontroversial yang membuatnya dihukum mati. Namun bagi para sufi, seruan ini bukanlah klaim keilahian, tetapi kesaksian bahwa diri yang profan telah lenyap, yang tinggal hanya Kebenaran itu sendiri. Dalam bahasa qurban, al-Hallaj telah menyembelih dirinya sendiri: bukan daging dan darah, tetapi nafs, ego, dan keberadaan palsu yang telah menjauhkan manusia dari wajah Tuhannya. Barangkali, dalam kehidupan kita hari ini, qurban adalah panggilan untuk merayakan “kehilangan”. Bukan kehilangan yang sia-sia, melainkan kehilangan yang membebaskan. Kita diminta untuk melepaskan –ambisi yang membelenggu, relasi yang penuh kepemilikan, bahkan keinginan untuk dipuji dalam beribadah. Selama diri masih mengklaim “aku”: aku beriman, aku berkorban, aku dekat dengan Tuhan. Maka “aku” itulah yang justru jadi hijab. Seorang sufi berkata, “Tak ada dua dalam satu rumah. Jika Tuhan ingin tinggal di hatimu, keluarkan dirimu terlebih dahulu.” Maka qurban adalah momen spiritual untuk membersihkan rumah jiwa dari segala yang bukan Tuhan. Di zaman yang penuh kelekatan ini, di mana identitas, status sosial, harta, bahkan amal saleh bisa menjadi bentuk baru dari ego. Maka qurban menantang kita untuk menafsir ulang: siapa yang sejatinya harus disembelih hari ini? Bukan sapi atau kambing, tetapi mungkin kesombongan kita dalam merasa paling dekat dengan Tuhan, atau perasaan bahwa Tuhan hanya milikku, bukan milikmu. Qurban mengajarkan: yang benar-benar dekat dengan Tuhan adalah mereka yang “sudah tiada”. Tiada dalam arti telah kehilangan dirinya demi Dia. Seperti al-Hallaj. Seperti Ibrahim. Seperti Ismail yang rela menjadi persembahan cinta. Allahu a’lam[] Radea Yuli Hambali Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung Address-card Instagram Share yuk artikel ini… Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Kolom

Rayagung, Harmoni Budaya Sunda, dan Islam

Kolom Rayagung, Harmoni Budaya Sunda, dan Islam Rayagung merupakan salah satu bulan yang istimewa dalam tradisi dan keyakinan umat Islam. Ini merujuk pada bulan Zulhijah, yang dikenal erat kaitannya dengan pelaksanaan ibadah haji, Idulkurban (Iduladha), lebaran haji, puasa Arafah. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa bulan Zulhijah termasuk di antara bulan-bulan yang dimuliakan Allah, selain Muharam dan Ramadan. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada hari-hari yang lebih agung, dan amal saleh yang lebih dicintai oleh Allah pada hari-hari itu, melebihi sepuluh hari pertama bulan Zulhijah. Maka perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid pada hari-hari tersebut.” Saking istimewanya, Rasulullah menganjurkan puasa Arafah bagi mereka yang tidak melaksanakan ibadah haji. Nabi bersabda, “Berpuasa di hari Arafah menghapuskan dosa setahun yang lalu dan dosa setahun yang akan datang.” Tentunya ini menunjukkan betapa besar keutamaan bulan Zulhijah, khususnya pada sepuluh hari pertama. Berbeda dengan bulan Zulkaidah, yang dalam masyarakat Sunda dikenal sebagai bulan “hapit”, untuk aktivitas sosial seperti hajatan (pernikahan, khitanan) cenderung sedikit, baik di desa maupun di kota. Justru terus tumbuh berkembang, marema saat bulan Zulhijah. Walhasil, sangat erat nilai-nilai budaya dan religi dan turut memengaruhi dinamika kehidupan masyarakat dalam menyambut Rayagung. Makna RayagungRupanya bagi Dede Syarif, keistimewaan bulan Rayagung menginspirasi cara beragama orang Sunda. Dalam kosmologi urang Sunda dikenal hari baik. Setiap waktu baik itu tiba, maka masyarakat melaksanakan berbagai perhelatan penting, seperti pernikahan, nyunatan anak, memulai usaha, bahkan membangun rumah. Salah satu bulan yang diyakini sebagai bulan baik adalah bulan Rayagung ini. Maka pada setiap bulan Rayagung tiba, kita menjumpai berbagai acara penting seperti resepsi pernikahan. Pilihan pada bulan ini, barangkali dilatarbelakangi bulan ini merupakan bulan yang dimuliakan Allah. Dengan berharap pada keistimewaan bulan ini, maka acara penting dilangsungkan, terutama yang menyangkut taliparanti (life circle) dalam kehidupan masyarakat Sunda. Rayagung dengan segala keistimewaannya telah menggoreskan sktsa pada potret kebudayaan masyarakat Sunda. Goresan ini menciptakan mozaik kekayaan tradisi yang menjadi energi dalam kehidupan sosial, keagamaan dan ekonomi masyarakat muslim di dunia (Sunda). Inilah titik yang dalam The Elementary Forms of Religious Life (1912) Emile Durkheim disebut sebagai ritual. Sebuah unsur keagamaan dimana masyarakat menciptakan nilai-nilai suci (sacral) yang akan mereka hormati untuk dijadikan aturan sosial (social order) dalam kehidupan mereka sebagai sebuah masuarakat beragama. Ritual menjadikan agama, keyakinan tertentu menjadi unik, khas dan berbeda dengan keyakinan lain. Pada wilayah ini, agama merupakan ekspresi dan terjemahan para penganutnya dalam ruang sosial masing-masing (Radea Juli A Hambali & Dede Syarif [ed], 20-10:99-103). Takdir Sunda-IslamIslam yang hadir di tatar Sunda ini telah memperkaya potensi kemanusiaan orang Sunda sendiri sebagaimana budaya Sunda, dengan caranya sendiri telah ikut andil dalam memperkaya peradaban Islam. Bagi masyarakat Sunda Islam yang masih menjadikan kesundaannya sebagai identitas dan bagian integral dirinya. Islam dipandang sebagai lokus yang memberi ruang formal sebagai penyempurna dalam mewadahi pengalaman batin dan nilai-nilai kearifan lokal dan pengalaman batin masyarakat Sunda (Ahmad Gibson Albustomi, 2012; ix-x). Di tangan Hasan Mustapa, Sunda dan esoterisme Islam menjadi menyatu tak ubahnya gula dan peueut-nya (manisnya). Seolah Hasan Mustapa hendak menunjukkan bahwa Sunda dan Islam adalah sesuatu yang compatible. Hal ini tidak terlepas dari kerangka berpikirnya yang dengan tegas merestui hubungan “saling mengisi” antara Islam dan budaya lokal kesundaan, bukan hubungan saling menegasikan. Kalaupun ada pertentangan-pertentangan antara keduanya, maka hal itu hanya terjadi pada level yang bersifat permukaan saja. Bahasa diperlakukan Hasan Mustapa sebagai media untuk mencari kemungkinan makna-makna baru, menjadi dinamis, dan terbuka. Dalam ungkapannya, Nya basa wayang kalangkangTapi dalangna pribadi… Kumaha alam pribadiNyusul-nyusul alam baturTangtu béda babasanPerbawa ati birahiBéda alam moal sarua rasana Dengan ungkapan lain, Islam tidak perlu membid’ahkan tradisi lokal, apalagi menganggapnya sebagai kafir, tapi harus mengakomodasi tradisi itu menjadi bagian tak terpisahkan dari agama itu sendiri agar seorang yang beragama tidak kemudian kehilangan tautan budayanya, supaya tidak kehilangan orientasi kulturalnya. Ini sebagaimana dahulu Tuhan ‘meminjam’ bahasa Arab dengan segala nafas kulturalnya untuk mewadahi gagasan-Nya (Al-Quran). Beragama tidak otomatis harus menjadi manusia Arab dengan segala atribut budaya yang mengitarinya. Bahkan menjadi manusia Sunda sejati justru adalah cermin melakukan perjalanan tanpa batas terhadap jantung keberagamaan itu sendiri. Maka, menjadi dapat dipahami metafora yang digunakan Hasan Mustapa sebagai idiom yang hidup tumbuh dalam alam pikiran masyarakat Sunda, seperti rebung dengan bambu atau pohon aren dengan caruluk (buah aren), untuk menggambarkan awor-nya (melekat) hubungan antara hamba (kaula) dengan Tuhan (Gusti). Dalam cerita-cerita lain yang berkembang di masyarakat Sunda, seperti Mundinglaya Dikusumah, Hariang Banga, Ciung Wanara, Sunan Ambu, Prabu Siliwangi, Ratu Galuh, dan Dayang Sumbi, untuk ‘mengganti’ cerita tokoh-tokoh Islam, dan sebagainya. Dengan suluknya yang penuh lambang, yang kemudian dijadikannya sebagai bagian dari sejarah pengalaman kesehariannya, maka agama (Islam) dan budaya (Sunda) di tangan Hasan Mustapa benar-benar mampu tampil melampaui tapal batas formalisme dan menusuk ke jantung (mataholang) penghayatan religiositas dan lipatan-lipatan tradisi. Dengan demikian, “Islam Sunda” menjadi sesuatu yang wajar, satu varian yang kehadirannya tidak perlu dipersoalkan sebagaimana varian Islam India, Islam Persia, Islam Arab, Islam Melayu, dan sebagainya. Menghidupkan kembali sulukala Hasan Mustapa menjadi amat penting diperhatikan di tengah situasi kebangsaan dan aras kesundaan yang akhir- akhir ini malah didominasi oleh pemikiran dan gerakan Islam puritan yang lebih mengedepankan aspek “wadah” ketimbang “isi”, lebih menonjolkan arabisme daripada jiwa kesundaannya. Padahal justru, sebagaimana ditulis Ali Harb (1996), semarak ritual keagamaan yang simbolistik hanya akan menyusutkan substansi moralitas dan spirit keagamaan. Sebaliknya, keberagamaan yang substantif akan memperteguh nilai-nilai ideal agama itu sendiri serta menginspirasikan perubahan sosial dan budaya ke arah ruang hidup yang berharkat (Asep Salahudin, 2017: 41-42). Dengan demikian, penyelenggaraan pernikahan, sunatan, dan syukuran haji dalam momentum Rayagung menjadi bukti nyata harmonisasi antara budaya Sunda dan ajaran Islam. Ini sekaligus mencerminkan identitas Muslim Jawa Barat yang berakar kuat pada khazanah kearifan lokal. Pasalnya, bangsa yang besar tidak akan melupakan tradisi dan budayanya sendiri. Justru, keberadaan budaya daerah, seperti budaya Sunda, merupakan salah satu pilar penting yang menopang keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. IBN GHIFARIE Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung. Instagram Share yuk artikel ini… Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Scroll to Top