Mengenal Tokoh

Mengenal Tokoh

Memahami Dunia Postmodern: Suara Para Pemikir Besar

Mengenal Tokoh Memahami Dunia Postmodern: Suara Para Pemikir Besar Kehidupan modern yang kita jalani kini telah banyak berubah. Kompleksitas dunia saat ini tidak lagi sepenuhnya bisa dijelaskan dengan teori sosiologi klasik atau modern. Karena itu, muncul kebutuhan akan kerangka berpikir baru—teori postmodern—untuk memahami perubahan yang begitu cepat dalam masyarakat, budaya, dan pengetahuan. Lalu, apa kata para pemikir besar tentang dunia postmodern ini? Berikut pandangan tokoh-tokoh kunci yang membentuk fondasi pemikiran postmodern. Jean-François Lyotard: Akhir dari Meta-Narasi Lyotard menegaskan bahwa di era postmodern, tidak ada lagi meta-narasi—cerita besar yang mampu menjelaskan segala hal tentang dunia. Narasi tunggal seperti “kemajuan” atau “rasionalitas” yang dulu diyakini mampu memberi jawaban universal, kini dipandang tidak memadai. Sebaliknya, Lyotard menekankan pentingnya menghargai keragaman cerita kecil (petit narratives) yang muncul dari pengalaman individu maupun komunitas. Jean Baudrillard: Dunia Hiperrealitas Baudrillard berpendapat bahwa realitas di masyarakat postmodern telah berubah secara radikal. Kita tidak hanya hidup dalam kenyataan yang nyata, tetapi juga dalam hiperrealitas—realitas yang dibentuk oleh simulasi, tanda, dan media. Televisi, iklan, dan internet menciptakan dunia buatan yang sering kali lebih berpengaruh dibanding kenyataan itu sendiri. Dengan demikian, batas antara realitas dan ilusi semakin kabur. Jacques Derrida: Dekonstruksi Oposisi Biner Derrida menolak pandangan bahwa kenyataan bisa dipahami hanya melalui oposisi biner seperti benar–salah, baik–buruk, atau rasional–irasional. Menurutnya, dikotomi semacam ini adalah hasil konstruksi kekuasaan yang tersembunyi. Karena itu, ia menawarkan metode dekonstruksi: membongkar teks, bahasa, dan makna untuk mengungkap kompleksitas dan keragaman yang selama ini ditutupi oleh narasi dominan. Michel Foucault: Pengetahuan dan Kekuasaan Foucault menyoroti hubungan erat antara pengetahuan dan kekuasaan. Ia berpendapat bahwa pengetahuan tidak pernah netral, melainkan selalu diproduksi dalam kerangka relasi kekuasaan. Dengan kata lain, apa yang dianggap “benar” dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh siapa yang berkuasa dan bagaimana mereka mendefinisikan kebenaran itu. Penutup Para pemikir postmodern ini membantu kita melihat bahwa dunia saat ini penuh dengan keragaman, simulasi, dan relasi kekuasaan yang tersembunyi. Mereka mengingatkan bahwa tidak ada satu teori tunggal yang bisa menjelaskan segalanya. Sebaliknya, pemahaman tentang masyarakat postmodern harus dibangun dari keberagaman perspektif, keterbukaan terhadap perbedaan, dan kesadaran kritis atas bagaimana realitas dikonstruksi. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Mengenal Tokoh

Mengenal Para Anggota Frankfurt School

Mengenal Tokoh Mengenal Para Anggota Frankfurt School Modernitas, yang awalnya dijanjikan membawa kehidupan lebih baik, justru memunculkan konflik kemanusiaan, krisis finansial, dan kerusakan lingkungan di berbagai belahan dunia. Sekelompok intelektual Jerman kemudian hadir untuk mengkritisi kondisi ini. Mereka menamakan diri sebagai Frankfurt School, yakni kelompok pemikir yang berafiliasi dengan Institut Penelitian Sosial di Universitas Frankfurt. Tokoh-tokoh berikut menjadi pusat lahirnya teori kritis yang berpengaruh besar dalam ilmu sosial dan filsafat modern. Max Horkheimer: Perintis Teori Kritis Horkheimer dikenal sebagai pendiri mazhab Frankfurt yang mempelopori pengembangan teori kritis. Ia menekankan pentingnya menganalisis fenomena sosial dan budaya secara mendalam, bukan sekadar menerima penjelasan objektif ala ilmu positif. Theodor Adorno: Kritik atas Industri Budaya Adorno menyoroti peran industri budaya dalam membentuk kesadaran masyarakat. Ia berpendapat bahwa film, musik populer, dan media massa tidak netral, melainkan alat yang sering menumpulkan daya kritis manusia. Selain itu, Adorno juga mengeksplorasi hubungan antara filsafat dan musik. Herbert Marcuse: Manusia Satu Dimensi Dalam karyanya yang terkenal One-Dimensional Man, Marcuse menjelaskan bagaimana masyarakat industri modern membatasi otonomi individu. Menurutnya, masyarakat kapitalis cenderung melahirkan manusia yang pasif, kehilangan daya kritis, dan hanya tunduk pada logika konsumsi. Erich Fromm: Psikologi Sosial dan Kapitalisme Fromm, seorang psikolog sosial, menekankan dimensi psikologis kehidupan sosial. Ia menganalisis bagaimana kapitalisme modern memengaruhi kondisi batin manusia—membuat individu teralienasi, kesepian, dan kehilangan makna hidup. Jürgen Habermas: Teori Komunikasi dan Ruang Publik Sebagai generasi kedua Frankfurt School, Habermas melanjutkan tradisi teori kritis dengan menambahkan fokus pada komunikasi. Ia memperkenalkan konsep ruang publik, yakni arena di mana warga negara bisa berdiskusi secara rasional demi terciptanya demokrasi yang sehat. Dengan pemikiran tokoh-tokoh tersebut, Frankfurt School berhasil memberikan warisan intelektual yang masih relevan hingga kini. Mereka menegaskan bahwa kritik atas modernitas dan kapitalisme bukanlah sekadar penolakan, melainkan upaya untuk menemukan jalan menuju kehidupan yang lebih manusiawi. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Mengenal Tokoh

Henri Lefebvre: Pemikir Marxis dan Teori-Teorinya tentang Ruang dan Kehidupan Sehari-Hari

Henri Lefebvre, seorang sosiolog Marxis asal Prancis, dikenal karena teori-teorinya yang inovatif tentang ruang, kehidupan sehari-hari, dan urbanisasi. Lahir pada 16 Juni 1901, Lefebvre awalnya mempelajari filsafat dan kemudian memperdalam studi di bidang sosiologi, politik, dan studi perkotaan. Pemikirannya sangat dipengaruhi oleh teori Marxis yang mencakup analisis mengenai struktur sosial, kapitalisme, dan proses-proses sosial yang membentuk masyarakat modern. Salah satu kontribusinya yang paling penting adalah pemikirannya tentang bagaimana kapitalisme mengatur kehidupan sehari-hari dan bagaimana hal ini bisa menjadi arena perlawanan. Konsep Kehidupan Sehari-hari dalam Pemikiran Lefebvre Dalam karya terkenalnya, Critique of Everyday Life, Lefebvre mengeksplorasi bagaimana kapitalisme modern membentuk rutinitas kehidupan sehari-hari. Menurut Lefebvre, kehidupan sehari-hari bukan hanya tentang rutinitas sehari-hari, tetapi juga menjadi tempat dominasi kapitalisme yang paling efektif. Dalam masyarakat kapitalis, setiap aspek kehidupan manusia—mulai dari pekerjaan, konsumsi, hingga waktu luang—dikuasai dan dimanipulasi oleh kekuatan kapital untuk mempertahankan struktur sosial yang ada. Namun, Lefebvre juga melihat bahwa kehidupan sehari-hari adalah ruang potensial untuk perlawanan. Oleh karena itu, bagi Lefebvre, merebut kembali kehidupan sehari-hari merupakan langkah awal untuk merebut kebebasan sejati bagi individu dalam masyarakat. Konsumsi Budaya dan Media dalam Konteks Kapitalisme Salah satu kritik utama Lefebvre terhadap kapitalisme adalah konsumsi budaya dan media yang telah berubah menjadi alat dominasi kapitalis. Dengan berkembangnya konsumerisme, individu menjadi semakin teralienasi dari diri mereka sendiri dan dari dunia sekitarnya. Lefebvre mengamati bahwa masyarakat kapitalis menciptakan relasi pasif antara individu dan dunia, di mana orang lebih banyak mengonsumsi daripada mencipta. Dalam masyarakat yang didominasi oleh konsumsi, orang cenderung menerima produk budaya dan informasi yang disediakan oleh pasar dan media massa, tanpa pertanyaan atau perlawanan. Kritik Lefebvre ini sangat relevan di era digital saat ini, di mana algoritma media sosial dan media massa telah mengatur ritme hidup masyarakat dengan konsumsi berlebihan dan manipulasi informasi. Hal ini semakin mengurangi potensi individu untuk berpikir kritis dan kreatif. Analisis Ritme: Mengatur Waktu dan Ruang dalam Kehidupan Sehari-hari Lefebvre mengenalkan konsep analisis ritme sebagai cara untuk mengeksplorasi bagaimana waktu dan ruang diatur dalam kehidupan sehari-hari masyarakat modern. Dalam masyarakat kapitalis, ritme kehidupan—seperti jadwal kerja, pola lalu lintas perkotaan, dan siklus alam—dikelola untuk memaksimalkan produktivitas dan konsumerisme. Lefebvre berpendapat bahwa dengan memahami ritme ini, individu dapat meruntuhkan pola-pola sosial yang menindas dan merebut kembali otonomi atas hidup mereka sendiri. Dengan analisis ritme, individu bisa lebih sadar terhadap bagaimana waktu mereka digunakan dan bagaimana ruang sosial mereka dibentuk, yang memungkinkan mereka untuk mencari cara alternatif untuk berdampak secara sosial dan menciptakan perubahan. Kronopolitik: Kapitalisme dan Pengaturan Waktu Lefebvre juga mengamati fenomena yang ia sebut sebagai “kronopolitik”, yang berkaitan dengan bagaimana kapitalisme mengatur waktu untuk memaksimalkan produktivitas. Dalam masyarakat kapitalis, waktu semakin terkompresi dan dibagi-bagi untuk memaksimalkan keuntungan. Kronopolitik merujuk pada pengaturan dan pengendalian waktu oleh kekuatan politik dan ekonomi untuk mengoptimalkan efisiensi dan produktivitas dalam sistem kapitalis. Lefebvre menekankan bahwa dalam masyarakat seperti ini, waktu bukan lagi milik individu, tetapi menjadi sumber daya yang dikendalikan oleh institusi kapitalis. Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya untuk merebut kembali waktu agar bisa digunakan untuk kreativitas, waktu luang, dan hubungan antar manusia. Implikasi dari Analisis Lefebvre terhadap Kehidupan Modern Lefebvre tidak hanya menyoroti masalah dalam pengelolaan waktu dan ruang, tetapi juga menggugah kita untuk lebih kritik terhadap struktur sosial yang ada. Dalam masyarakat kapitalis yang semakin terorganisir oleh konsumsi dan produktivitas, Lefebvre melihat bahwa kehidupan sehari-hari kita semakin dikendalikan oleh kekuatan yang tidak terlihat. Dengan memahami ritme kehidupan dan menyadari pengaruh kapitalisme dalam waktu dan ruang, kita dapat mulai merebut kembali kebebasan yang terampas dalam kehidupan sehari-hari. Lefebvre mendorong kita untuk menciptakan ruang yang lebih manusiawi, tempat di mana kehidupan sosial dapat berkembang tanpa dominasi kapitalis yang mengatur setiap aspek hidup kita. Kesimpulan: Henri Lefebvre memberikan kontribusi besar dalam memahami pengaruh kapitalisme terhadap kehidupan sehari-hari melalui teori-teori tentang ruang, waktu, dan ritme kehidupan. Dengan mengkaji konsumsi budaya, media, dan pengaturan waktu dalam masyarakat modern, Lefebvre membuka wawasan baru mengenai bagaimana kita dapat merebut kembali kebebasan sejati dalam dunia yang semakin dikendalikan oleh kapitalisme. Konsep-konsep seperti analisis ritme dan kronopolitik menggambarkan bagaimana kehidupan kita semakin terstruktur untuk mendukung sistem kapitalis. Untuk itu, memahami pemikiran Lefebvre dapat menjadi langkah pertama untuk mulai mengubah pola hidup kita menuju kehidupan yang lebih bermakna dan bebas dari dominasi yang tidak terlihat ini.

Mengenal Tokoh

Tak Pernah Belajar Sosiologi, Kok Bisa Jadi Sosiolog?

Mengenal Tokoh Tak Pernah Belajar Sosiologi, Kok Bisa Jadi Sosiolog? Dalam dunia ilmu sosial, sering kali muncul pertanyaan menarik tentang bagaimana seseorang bisa disebut sebagai sosiolog tanpa latar belakang pendidikan formal dalam bidang tersebut. Uniknya, sejumlah tokoh besar justru menjadi pionir sosiologi tanpa pernah mengecap pendidikan resmi di bidang ini. Berikut beberapa contoh terkenal yang patut disimak. Auguste Comte: Sang Bapak Tanpa Gelar Auguste Comte dikenal luas sebagai bapak sosiologi. Ironisnya, Comte sendiri tidak pernah menempuh pendidikan sosiologi secara formal. Hal ini wajar mengingat saat itu sosiologi sebagai ilmu tersendiri memang belum ada. Comte justru mendapat gelar tersebut karena kontribusi besarnya dalam melahirkan konsep dasar sosiologi. Ia berhasil merumuskan sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat secara sistematis, meletakkan dasar kuat bagi perkembangan ilmu ini hingga sekarang. Karl Marx: Filsafat, Hukum, dan Revolusi Sosial Tokoh lain yang menarik perhatian adalah Karl Marx. Sosok revolusioner ini tidak pernah secara formal belajar sosiologi. Awalnya, Marx masuk Universitas Bonn pada tahun 1835, berminat mempelajari filsafat dan sastra, namun atas keinginan ayahnya, ia justru diarahkan belajar hukum. Tidak lama berselang, Marx pindah ke Universitas Berlin, kembali bergelut dengan hukum dan filsafat. Puncaknya, Marx meraih gelar doktor dalam bidang filsafat dari Universitas Jena pada tahun 1841. Meski tanpa latar belakang akademik sosiologi, Marx justru dikenal luas karena kontribusinya yang sangat berpengaruh terhadap pemahaman struktur sosial dan konflik kelas dalam masyarakat. Teorinya tentang kapitalisme dan perjuangan kelas menjadi fondasi utama bagi berbagai teori sosiologi modern dan kritis. George Ritzer: Sosiolog Populer dari Pengalaman Hidup George Ritzer adalah contoh sosiolog kontemporer populer yang cukup unik. Buku terkenalnya, “The McDonaldization of Society,” menjadi bacaan wajib di banyak universitas di seluruh dunia. Namun menariknya, Ritzer sama sekali tidak memiliki gelar formal di bidang sosiologi. Ia justru menempuh studi di bidang psikologi dan bisnis. Ritzer mengaku bahwa perjalanan menjadi sosiolognya berawal dari refleksi mendalam terhadap pengalaman sehari-hari, termasuk saat berkunjung ke restoran cepat saji seperti McDonald’s. Ia bahkan menyatakan bahwa belajar teori sosial baginya terjadi secara alami, tanpa formalitas akademik tertentu. Menurut Ritzer, tidak belajar formal tentang teori sosiologi justru membantunya berpikir lebih bebas, tanpa dibatasi oleh perspektif teoritis tertentu. Menjadi Sosiolog: Antara Pendidikan Formal dan Refleksi Hidup Kisah Comte, Marx, dan Ritzer menunjukkan bahwa menjadi seorang sosiolog tak selalu bergantung pada latar belakang akademik formal. Sebaliknya, ketajaman analisis sosial, refleksi mendalam terhadap realitas kehidupan, serta kontribusi signifikan terhadap pemikiran sosial merupakan inti dari identitas seorang sosiolog. Dengan demikian, apa yang menjadikan seseorang seorang sosiolog bukan hanya gelar formalnya, melainkan kemampuannya untuk memahami, menganalisis, dan menjelaskan fenomena sosial secara kritis dan reflektif. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah seorang akademisi dan sosiolog dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang menempuh pendidikan sosiologi di Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia dikenal aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi melalui berbagai kegiatan akademik, termasuk mengikuti short course di Jerman dan Australia. Selain itu, Dr. Dede merupakan pendiri komunitas kajian Perspektif Sosiologi yang berfokus pada analisis isu-isu sosial kontemporer. Ia juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Program Studi Sosiologi di tingkat S1, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Bandung Editor: Paelani Setia Manajer di Perspektif Sosiologi Address-card Instagram Share yuk artikel ini… Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Mengenal Tokoh

Sosiolog yang Disangka Perempuan, Padahal Laki-laki

Mengenal Tokoh Sosiolog yang Disangka Perempuan, Padahal Laki-laki Dalam dunia akademik, nama seseorang sering kali menimbulkan kesan pertama yang menyesatkan. Beberapa sosiolog besar memiliki nama yang terdengar seperti nama perempuan, padahal mereka adalah laki-laki. Berikut tiga tokoh sosiologi yang kerap disalahpahami dari namanya. Jackie Élie Derrida: Bapak Dekonstruksi Jackie Élie Derrida (1930–2004) adalah seorang filsuf dan sosiolog keturunan Aljazair-Prancis yang dikenal sebagai tokoh utama dalam post-strukturalisme dan postmodernisme. Ia mengembangkan teori dekonstruksi yang kemudian menjadi salah satu pendekatan penting dalam kajian filsafat, sastra, dan ilmu sosial. Sepanjang kariernya, Derrida menerbitkan lebih dari 40 buku serta ratusan esai dan ceramah publik yang menyumbang besar pada perkembangan teori kritis. Meskipun nama “Jackie” sering diasosiasikan dengan perempuan, Derrida adalah tokoh pria yang berpengaruh dalam pemikiran abad ke-20. Novri Susan: Sosiolog Konflik Indonesia Novri Susan adalah seorang sosiolog Indonesia dan dosen di Universitas Airlangga. Ia juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia (APSSI). Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah buku Sosiologi Konflik: Teori-teori dan Analisis yang pertama kali terbit tahun 2008 dan diperbarui pada 2019. Buku ini menjadi rujukan penting dalam studi konflik di Indonesia. Nama “Novri Susan” yang kental dengan nuansa feminin sering membuat orang keliru mengira beliau seorang perempuan, padahal Novri adalah sosiolog pria yang aktif dalam dunia akademik dan organisasi keilmuan. Neelly Bellah, Robert: Sosiolog Agama dari Amerika Robert Neelly Bellah (1927–2013) adalah seorang sosiolog terkemuka asal Amerika Serikat dan Profesor Sosiologi di Universitas California, Berkeley. Ia dikenal luas atas kontribusinya dalam bidang sosiologi agama, terutama melalui konsep “civil religion” di Amerika. Nama tengahnya, “Neelly”, dan urutan namanya yang terkadang ditulis “Neelly Bellah, Robert” di beberapa dokumen membuat sebagian orang mengira bahwa ia adalah seorang perempuan. Namun Bellah adalah laki-laki yang berperan besar dalam mengembangkan teori sosiologis tentang agama dan masyarakat modern. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah seorang akademisi dan sosiolog dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang menempuh pendidikan sosiologi di Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia dikenal aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi melalui berbagai kegiatan akademik, termasuk mengikuti short course di Jerman dan Australia. Selain itu, Dr. Dede merupakan pendiri komunitas kajian Perspektif Sosiologi yang berfokus pada analisis isu-isu sosial kontemporer. Ia juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Program Studi Sosiologi di tingkat S1, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Bandung Address-card Instagram Share yuk artikel ini… Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Mengenal Tokoh

Mengatasi Dualisme Struktur dan Aktor: Perspektif Bourdieu dan Giddens

Mengatasi Dualisme Struktur dan Aktor: Perspektif Bourdieu dan Giddens Apakah struktur membentuk manusia, ataukah manusia membentuk struktur? Pertanyaan klasik ini telah lama menjadi perdebatan dalam ilmu sosial. Namun, dua tokoh besar—Pierre Bourdieu dan Anthony Giddens—menawarkan jalan tengah melalui pendekatan yang tidak mempertentangkan keduanya, melainkan mencari keterhubungan melalui konsep dualisasi struktur dan agensi. Bukan Dikotomi, Tapi Dualitas Baik Bourdieu maupun Giddens menolak pandangan yang mempertentangkan struktur dan aktor secara kaku. Mereka menekankan bahwa struktur sosial tidak memiliki eksistensi independen, melainkan hanya menjadi nyata melalui praktik atau tindakan manusia. Dalam pandangan ini, struktur diciptakan dan direproduksi oleh tindakan-tindakan sosial, baik secara sadar maupun tidak sadar. Titik Temu dan Titik Beda Keduanya sependapat bahwa agensi—kapasitas individu untuk bertindak—selalu terkait erat dengan struktur sosial. Namun mereka berbeda dalam menilai peran kesadaran aktor. Bourdieu cenderung skeptis terhadap refleksi sadar. Bagi Bourdieu, tindakan sosial lebih banyak digerakkan oleh habitus, yaitu sistem disposisi yang terbentuk dari pengalaman sosial sebelumnya dan bekerja di bawah kesadaran. Giddens, melalui teori strukturasi, justru menekankan bahwa aktor bersifat refleksif. Tindakan mereka adalah hasil refleksi terus-menerus terhadap kondisi sosial yang ada. Habitus: Mediasi Antara Struktur dan Praktik Konsep habitus dari Bourdieu menjelaskan bagaimana pengalaman masa lalu membentuk cara berpikir, merasa, dan bertindak seseorang. Habitus bukanlah penentu mutlak, tetapi semacam kompas yang membimbing individu dalam berstrategi. Praktik sosial yang dihasilkan oleh habitus kemudian mereproduksi struktur sosial, seperti norma gender, hierarki, atau kelas. Menariknya, praktik ini sering dilakukan tanpa disadari, karena struktur sosial telah dinaturalisasi melalui doxa, yaitu kepercayaan yang diterima begitu saja seolah-olah alamiah. Strukturasi: Refleksivitas Agen dan Proses Rekursif Sementara itu, Giddens memandang struktur sosial sebagai hasil dari strukturasi, yakni proses berulang di mana tindakan menciptakan struktur, dan struktur memengaruhi tindakan. Bagi Giddens, aktor bukan hanya pengikut aturan, tetapi juga pencipta aturan. Namun, mereka hanya bisa bertindak dalam konteks struktur yang telah ada—yang merupakan hasil dari tindakan kolektif di masa lalu. Kesimpulan: Struktur dan Aktor sebagai Proses Sosial Dinamis Bourdieu dan Giddens membawa kita pada pemahaman yang lebih dinamis tentang dunia sosial: struktur dan agensi bukanlah entitas terpisah, melainkan saling membentuk dalam sebuah siklus yang tak pernah berhenti. Perbedaan keduanya terutama terletak pada signifikansi refleksi sadar: Giddens memberi tempat penting pada niat aktor, sementara Bourdieu lebih menekankan pada kekuatan tak sadar dari habitus. Referensi:Sewell, W. H. (1992). A Theory of Structure: Duality, Agency, and Transformation. American Journal of Sociology, 98(1), 1–29. JSTOR Link Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah seorang akademisi dan sosiolog dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang menempuh pendidikan sosiologi di Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia dikenal aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi melalui berbagai kegiatan akademik, termasuk mengikuti short course di Jerman dan Australia. Selain itu, Dr. Dede merupakan pendiri komunitas kajian Perspektif Sosiologi yang berfokus pada analisis isu-isu sosial kontemporer. Ia juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Program Studi Sosiologi di tingkat S1, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Bandung Address-card Instagram Share yuk artikel ini… Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Mengenal Tokoh

5 Fakta Gila Tentang Karl Marx

Karl Marx dikenal sebagai bapak komunisme, pemikir besar dalam sejarah filsafat dan sosiologi. Tapi di balik gagasan-gagasannya yang serius, hidup Marx juga dipenuhi cerita-cerita nyeleneh dan tragis yang jarang dibahas di buku teks. Berikut lima fakta menarik (dan gila) tentang Karl Marx: 1. Suka Mabuk dan GeludSaat masih jadi mahasiswa di Universitas Bonn, Marx dikenal doyan minum dan sering terlibat perkelahian. Ia belajar filsafat G.W.F. Hegel dan bergabung dengan kelompok Hegelian Muda yang radikal. Kelakuannya sempat bikin heboh hingga dia pernah dipenjara karena mabuk dan berkelahi dengan mahasiswa lain. 2. Manusia Tanpa NegaraDi tahun 1840-an, Marx hidup seperti orang tanpa negara. Ia diusir dari Prusia tahun 1842, diusir lagi dari Prancis pada 1845, ditolak oleh Belgia di tahun 1848, dan terpaksa meninggalkan Prusia sekali lagi pada tahun yang sama. Hidupnya berpindah-pindah tanpa status kewarganegaraan tetap. 3. Istrinya Pernah Menggadaikan Celananya untuk Beli MakananSetelah pindah ke Inggris pada 1849, kehidupan Marx dan keluarganya dilanda kemiskinan. Mereka pernah diusir dari apartemen karena tak sanggup bayar sewa. Marx bahkan sempat menggunakan nama palsu untuk menghindari penagih utang. Yang paling menyedihkan: istrinya, Jenny, sampai harus menggadaikan celana milik Marx demi bisa membeli makanan. 4. Diancam Dibunuh karena Dianggap Kurang RadikalMeski dikenal revolusioner, Marx ternyata dianggap “kurang radikal” oleh sebagian kalangan. August Willich, mantan komandan militer Prusia dan sesama aktivis, bahkan sempat mengancam ingin membunuh Marx karena dianggap tidak cukup revolusioner. 5. Meninggal Bangkrut dan Hanya Dihadiri 11 Orang di PemakamannyaKehidupan Marx di penghujung usianya benar-benar tragis. Dalam suratnya kepada sahabat sekaligus pendukung finansialnya, Friedrich Engels, ia pernah menulis: “Kehidupan buruk seperti ini tidak layak untuk dijalani.” Marx meninggal dunia dalam keadaan bangkrut pada 14 Maret 1883. Pemakamannya di London hanya dihadiri oleh 11 orang. Sumber: Joe Carter, 5 Crazy Facts about Karl Marx, FEE Stories, 16 September 2018

Mengenal Tokoh

Cara Sosiolog Fungsionalis Menjelaskan Masyarakat: Menjaga Keseimbangan dalam Sistem Sosial

Masyarakat sebagai Sistem Terpadu Dalam tradisi sosiologi, pendekatan fungsionalisme memandang masyarakat sebagai sebuah sistem yang kompleks dan saling bergantung, mirip seperti tubuh manusia yang terdiri dari organ-organ yang bekerja sama demi mempertahankan kehidupan. Para sosiolog fungsionalis percaya bahwa setiap elemen dalam masyarakat—baik itu lembaga sosial, norma, nilai, peran sosial, hingga kebiasaan sehari-hari—memiliki fungsi tertentu yang berkontribusi terhadap stabilitas dan keteraturan sosial. Fokus utama mereka adalah pada bagaimana harmoni dan konsensus terbentuk, serta bagaimana sistem sosial menjaga keseimbangannya di tengah perubahan dan tantangan. Fungsi Lembaga Sosial dalam Menjaga Stabilitas Lembaga-lembaga sosial seperti keluarga, pendidikan, agama, dan pemerintah dipandang memiliki fungsi penting yang menopang struktur masyarakat. Keluarga, misalnya, berfungsi sebagai unit dasar sosialisasi dan dukungan emosional. Pendidikan mentransmisikan nilai dan keterampilan, serta menjaga stabilitas ekonomi melalui pasar tenaga kerja. Agama membentuk nilai moral dan kesadaran kolektif, sementara pemerintah memastikan keteraturan melalui regulasi. Semua ini menunjukkan bahwa institusi-institusi dalam masyarakat tidak berdiri sendiri, melainkan saling terkait untuk menjaga solidaritas sosial. Solidaritas Sosial dan Ketertiban Konsep solidaritas sosial menjadi kunci dalam pemikiran fungsionalis. Ketika nilai-nilai bersama dipegang teguh oleh anggota masyarakat, terciptalah kohesi yang menjaga masyarakat tetap utuh. Bahkan fenomena yang tampak menyimpang, seperti kejahatan, tidak selalu dilihat sebagai gangguan. Tokoh seperti Émile Durkheim justru melihat bahwa kejahatan bisa memiliki fungsi—misalnya memperjelas batas moral masyarakat dan mendorong perubahan sosial jika norma lama tidak lagi relevan. Kontribusi Tokoh-Tokoh Kunci Dalam pengembangan teori ini, Talcott Parsons menekankan pentingnya keterkaitan antarlembaga sosial melalui empat fungsi utama (AGIL: Adaptation, Goal Attainment, Integration, Latency). Robert K. Merton memperkenalkan ide fungsi nyata (manifest) dan laten (latent) untuk menjelaskan dampak sadar dan tidak sadar dari fenomena sosial. Kingsley Davis dan Wilbert E. Moore melalui hipotesis Davis-Moore menjelaskan bahwa ketimpangan dan stratifikasi sosial diperlukan untuk menjamin efisiensi dan motivasi dalam pembagian kerja masyarakat. Contoh Aplikasi: Dari Sekolah hingga Kejahatan Pendekatan fungsionalis dapat diterapkan pada berbagai fenomena sosial. Dalam pendidikan, sekolah dianggap sebagai agen sosialisasi utama yang menyiapkan generasi muda dan mendukung pasar kerja. Dalam keluarga, fungsionalis melihat perannya dalam pembentukan kepribadian anak dan kontrol sosial. Bahkan kejahatan dianalisis sebagai cara masyarakat menetapkan batasan nilai dan sebagai pemicu perubahan jika terjadi ketidaksesuaian norma. Penutup: Harmoni dalam Keragaman Sosial Dengan melihat masyarakat sebagai sistem yang terstruktur dan terkoordinasi, fungsionalisme mengajak kita untuk memahami bahwa ketertiban sosial adalah hasil dari kerja kolektif berbagai elemen sosial. Meskipun sering dikritik karena terlalu menekankan stabilitas dan mengabaikan konflik, pendekatan ini tetap menjadi salah satu lensa penting dalam membaca dinamika masyarakat secara utuh dan sistematis.

Scroll to Top