PoV

PoV

Demonstrasi dan Teori Konflik Lewis A. Coser: Membaca Ulang Relasi Pemerintah, DPR, dan Rakyat

Ringkasan Teori Demonstrasi dan Teori Konflik Lewis A. Coser: Membaca Ulang Relasi Pemerintah, DPR, dan Rakyat Demonstrasi besar yang terjadi belakangan ini tidak dapat dipandang hanya sebagai reaksi spontan masyarakat, melainkan sebagai akumulasi ketidakpuasan terhadap kebijakan dan sikap elit politik. Awalnya, aksi massa dipicu oleh keputusan pemerintah menaikkan pajak di tengah kondisi ekonomi rakyat yang semakin sulit serta sikap sebagian anggota DPR yang dianggap arogan. Namun, seiring berjalannya waktu, demonstrasi ini berkembang melampaui isu ekonomi. Ia menjadi momentum bagi publik untuk mengekspresikan berbagai bentuk kekecewaan dan tuntutan yang sebelumnya terpendam, menjadikannya ruang artikulasi sosial-politik yang lebih luas. Dua Bentuk Konflik dalam Perspektif Coser Untuk memahami dinamika demonstrasi ini, teori konflik Lewis A. Coser menjadi pisau analisis yang relevan. Coser membedakan konflik ke dalam dua kategori utama, yakni konflik realistis dan konflik non-realistis. Konflik realistis muncul karena adanya pertentangan kepentingan yang bersifat material, sedangkan konflik non-realistis lebih terkait dengan ekspresi perlawanan dan perbedaan ideologis. Membaca demonstrasi melalui dua lensa ini membantu kita memahami bahwa aksi massa tidak hanya berbicara tentang persoalan kesejahteraan, tetapi juga menyangkut nilai, prinsip, dan legitimasi politik. Konflik Realistis: Ketimpangan Material sebagai Pemicu Konflik realistis dalam demonstrasi ini dapat ditelusuri pada kesenjangan material yang nyata. Buruh dan pekerja menuntut keadilan ekonomi ketika mereka menyaksikan ketimpangan yang mencolok antara upah yang mereka terima dengan tunjangan anggota DPR yang mencapai ratusan juta rupiah. Di tengah kesulitan ekonomi yang semakin menekan masyarakat, kesenjangan ini dipersepsikan sebagai bentuk ketidakadilan struktural yang melukai rasa keadilan publik. Bagi kelompok ini, demonstrasi adalah sarana untuk menekan pemerintah dan DPR agar lebih responsif terhadap tuntutan kesejahteraan rakyat. Konflik Non-Realistis: Ekspresi Ideologi dan Perlawanan Di sisi lain, muncul pula konflik non-realistis yang tidak semata-mata berhubungan dengan kebutuhan material. Mahasiswa dan sebagian elemen masyarakat melihat demonstrasi sebagai medium untuk mengekspresikan perbedaan ideologis mereka terhadap cara negara dijalankan. Bagi kelompok ini, persoalan yang dihadapi bukan sekadar tentang gaji atau tunjangan, tetapi tentang prinsip keadilan, demokrasi, dan tata kelola negara. Demonstrasi menjadi panggung perlawanan simbolik terhadap kekuasaan yang dinilai menyimpang dari nilai-nilai moral dan ideologis yang seharusnya menjadi dasar kehidupan berbangsa. Upaya Meredakan Konflik: Antara Ekonomi dan Ideologi Menyelesaikan konflik realistis relatif lebih sederhana karena dapat ditempuh melalui pemenuhan tuntutan material, misalnya dengan memperbaiki kebijakan kesejahteraan, memperhatikan upah buruh, atau menyesuaikan beban ekonomi rakyat. Namun, konflik non-realistis jauh lebih kompleks. Ia tidak bisa diselesaikan hanya dengan kebijakan ekonomi, melainkan menuntut reformasi politik yang lebih substansial, termasuk transparansi, akuntabilitas, dan dialog terbuka dengan publik. Konflik non-realistis hanya dapat diredakan apabila pemerintah dan DPR mampu membangun legitimasi politik yang lebih kuat dan menghadirkan kebijakan yang berpihak pada nilai-nilai keadilan sosial. Sumber:Coser, Lewis Alfred (1954). Toward a Sociology of Social Conflict (PhD). Columbia University. ProQuest. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

PoV

Sosiologi Bendera: One Piece di Antara Bendera Merah Putih

PoV Sosiologi Bendera: One Piece di Antara Bendera Merah Putih Bendera lebih dari sekadar simbol kain yang berkibar. Ia merupakan representasi dari nilai-nilai, semangat, sejarah, dan identitas kolektif suatu kelompok. Melalui bendera, rasa kebersamaan dan persatuan dapat tumbuh di antara anggota kelompok yang diwakilinya. Sebagai lambang yang mencerminkan perjuangan dan harapan, bendera memiliki daya simbolik yang kuat dalam kehidupan sosial suatu bangsa atau kelompok. Munculnya Bendera One Piece Meski One Piece merupakan manga shonen yang pada dasarnya dimaksudkan untuk hiburan semata, keberadaan bendera dalam dunia One Piece mengandung makna yang lebih dalam. Anime ini tidak hanya menggambarkan dunia bajak laut dengan segala petualangannya, tetapi juga membangun identitas, mengarahkan narasi sosial, dan bahkan menyentuh isu-isu politik yang relevan dengan masyarakat kita. One Piece mengajak penontonnya untuk merenung tentang konsep perlawanan, persatuan, dan kebebasan, yang terwakili melalui simbolisme bendera yang digunakan dalam cerita. Kisah di Balik Bendera One Piece Cerita One Piece berfokus pada petualangan bajak laut Monkey D. Luffy dalam mencari harta karun legendaris bernama One Piece. Luffy, yang bercita-cita menjadi Raja Bajak Laut, berjuang melawan Pemerintah Dunia yang otoriter dan menindas. Selama perjalanan ini, Luffy tidak hanya bertarung untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk melindungi teman-temannya serta mereka yang lemah dan tertindas. Hal ini menciptakan narasi perjuangan yang seringkali dibandingkan dengan realitas sosial politik di dunia nyata, di mana kelompok-kelompok tertentu berada di bawah tekanan sistem yang diskriminatif dan berjuang mencari simbol perlawanan, yang dalam konteks ini terwakili oleh bendera One Piece. One Piece: Narasi Perlawanan dan Tatanan Politik Bendera One Piece, meski dalam konteks fiksi, berfungsi sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang. Keberadaan bendera ini dalam cerita tidak hanya mengacu pada identitas para bajak laut, tetapi juga merangkum narasi lebih besar tentang perjuangan melawan sistem yang tidak adil. Ini menghubungkan One Piece dengan lingkungan intertekstual yang lebih luas, di mana kisah Luffy tidak hanya bisa dibaca sebagai petualangan fiksi semata, melainkan sebagai bentuk kritik terhadap tatanan politik dan sosial yang ada. Dengan demikian, One Piece lebih dari sekadar cerita hiburan; ia menyuarakan pesan tentang kebebasan, solidaritas, dan perlawanan terhadap ketidakadilan, yang bisa dirasakan dan dipahami dalam konteks sosial-politik dunia nyata. Bendera One Piece, dengan segala simbolisme dan narasinya, menunjukkan bahwa dalam setiap perjuangan, identitas dan simbol-simbol perlawanan memiliki peran yang sangat besar dalam membangun persatuan dan semangat kolektif. Seperti bendera merah putih yang melambangkan perjuangan bangsa Indonesia, bendera One Piece juga menjadi simbol bagi mereka yang berjuang melawan ketidakadilan, yang memberikan harapan bahwa sebuah perubahan adalah hal yang mungkin tercapai. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

PoV

Perceraian Itu Sosiologis

PoV Perceraian Itu Sosiologis Perceraian bukan hanya masalah individu atau pasangan, tetapi juga fenomena sosial yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait dalam masyarakat. Sosiologi mengkaji perceraian sebagai institusi sosial yang mencerminkan pergeseran norma, batasan, dan harapan dalam pernikahan serta kehidupan keluarga. Pergeseran ini terkait dengan tren sosial yang lebih luas dan mencerminkan transformasi dalam struktur sosial, budaya, dan kelas sosial. Dengan kata lain, perceraian tidak dapat dipahami hanya dalam konteks pribadi, tetapi juga dalam kerangka yang lebih besar, seperti struktur sosial, budaya, dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Konsep perceraian pun bervariasi, tergantung pada perkembangan waktu, konteks budaya, dan kelas sosial tertentu. Perspektif Teori Sosiologi Menjelaskan Perceraian Fungsionalisme Dari sudut pandang fungsionalis, lembaga sosial seperti keluarga memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas masyarakat. Dalam perspektif ini, pernikahan secara tradisional dipandang sebagai struktur sosial yang menyediakan berbagai fungsi esensial, seperti dukungan ekonomi, keintiman emosional, fungsi pengasuhan anak, dan sosialisasi. Ketika salah satu lembaga sosial, seperti pernikahan, mengalami disfungsional atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya, perceraian dapat muncul sebagai respons korektif. Perceraian, dalam hal ini, dipandang sebagai cara untuk memperbaiki atau menyesuaikan kembali struktur sosial yang ada, dengan harapan bahwa individu atau keluarga dapat memperoleh stabilitas dan kesejahteraan yang lebih baik setelahnya. Teori Konflik Dari perspektif teori konflik, perceraian tidak hanya dilihat sebagai kegagalan pribadi atau masalah interpersonal, tetapi sebagai cerminan dari ketimpangan sosial yang lebih dalam. Konflik struktural dalam masyarakat—seperti ketimpangan antara pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan upahan, atau kontradiksi antara ekspektasi patriarki dan tuntutan otonomi perempuan—dapat menciptakan ketegangan yang akhirnya berujung pada perceraian. Perceraian, dalam hal ini, dianggap sebagai medan pertempuran untuk menegosiasikan kendali atas properti, anak-anak, dan bahkan identitas pribadi. Dalam masyarakat yang terstruktur oleh kekuasaan dan ketidaksetaraan, perceraian menjadi cara bagi individu untuk berjuang mempertahankan hak-hak mereka, baik itu dalam hal material maupun identitas pribadi. Interaksionisme Simbolik Interaksionisme simbolik memfokuskan pada aspek interpretatif dan interaktif dalam perceraian. Dalam pandangan ini, pernikahan dipandang sebagai negosiasi berkelanjutan tentang makna, identitas, dan peran. Selama hubungan berlangsung, kedua pihak terus-menerus menegosiasikan dan mendefinisikan ulang peran mereka dalam keluarga, hubungan, dan masyarakat. Ketika negosiasi ini gagal—entah karena kesalahpahaman, ekspektasi yang tidak terpenuhi, atau perubahan konsep diri—perceraian menjadi lebih mungkin terjadi. Perspektif ini menyoroti bahwa makna yang dikaitkan individu dengan hubungan mereka dan cara mereka menafsirkan pengalaman mereka bukanlah hal yang tetap, melainkan konstruksi sosial yang tergantung pada konteks dan pengalaman mereka dalam interaksi sosial. Dengan kata lain, perceraian terjadi ketika individu menafsirkan hubungan mereka secara berbeda, atau merasa bahwa hubungan tersebut tidak lagi memenuhi harapan yang mereka bangun bersama. Teori Feminis Sosiologi feminis memberikan perspektif yang sangat penting dalam memahami perceraian. Perspektif ini memandang perceraian sebagai proses gender, di mana pernikahan dianggap sebagai kontrak yang tidak netral. Para feminist berpendapat bahwa sistem patriarki yang ada dalam struktur sosial membuat pernikahan sering kali menjadi penindasan terhadap perempuan. Dalam banyak kasus, perempuan berada dalam posisi yang lebih lemah di dalam pernikahan dan sering kali dianggap tidak memiliki kekuatan atau kendali atas keputusan-keputusan besar dalam keluarga. Perceraian, dalam konteks ini, bisa dilihat sebagai jalur potensial menuju pembebasan bagi perempuan, karena mereka memiliki kesempatan untuk memutuskan hubungan yang menindas dan membangun kembali kehidupan mereka dengan kebebasan yang lebih besar. Namun, pada saat yang sama, perceraian juga memperlihatkan betapa strukturalnya peran gender dalam pernikahan dan konflik yang timbul dari ketidaksetaraan gender dalam keluarga. Kesimpulan: Perceraian bukan hanya fenomena pribadi atau keluarga, tetapi merupakan peristiwa sosial yang terkait dengan struktur sosial, norma, dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Dalam perspektif sosiologi, perceraian dapat dianalisis melalui berbagai teori, masing-masing menawarkan wawasan unik tentang bagaimana konflik, kegagalan komunikasi, ketimpangan sosial, dan peran gender berkontribusi pada munculnya perceraian. Dari sudut pandang fungsionalis, perceraian dilihat sebagai respons untuk memperbaiki struktur sosial yang tidak berfungsi. Dalam teori konflik, perceraian adalah akibat dari ketimpangan struktural yang lebih besar. Interaksionisme simbolik menekankan pada makna dan interpretasi yang dibentuk dalam hubungan yang berakhir, sementara sosiologi feminis memandang perceraian sebagai proses pembebasan bagi perempuan. Semua perspektif ini memberikan gambaran bahwa perceraian adalah fenomena sosial yang kompleks, yang tidak dapat dilihat hanya sebagai masalah pribadi, tetapi juga berakar dalam struktur sosial yang lebih besar. Referensi: Stolley, Kathy S. (2005). The Basics of Sociology. Greenwood Publishing Group. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

PoV

Menemukan Jodoh Melalui Teori Praktik Sosial

PoV Menemukan Jodoh Melalui Teori Praktik Sosial Apakah jodoh ditentukan takdir? Atau… praktik sosial sehari-hari? Jodoh: Ditakdirkan atau Diciptakan? Banyak orang percaya bahwa jodoh itu sudah ditentukan sejak lama—tinggal menunggu waktu dan kesempatan untuk saling menemukan. Namun, kalau kita lihat kenyataan di lapangan, tidak sedikit orang yang bertemu jodohnya di tempat yang tidak terlalu jauh: kampus, tempat kerja, komunitas hobi, atau bahkan di lingkungan tempat tinggal. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena sebenarnya, kita tidak hanya bertemu seseorang secara kebetulan. Ada sesuatu yang lebih dalam, yang disebut praktik sosial. Apa Itu Praktik Sosial? Sosiolog asal Prancis, Pierre Bourdieu, menyebut bahwa “kita adalah apa yang sering kita lakukan.” Artinya, identitas kita dibentuk oleh kebiasaan, rutinitas, dan aktivitas sehari-hari. Inilah yang disebut sebagai praktik sosial. Contoh praktik sosial itu bisa berupa: Rutinitas pergi ke kampus, Ngopi bareng komunitas baca buku, Ikut tim futsal kantor setiap Jumat, Masak bareng teman kos, Nongkrong tiap malam minggu di tempat yang sama. Semua kegiatan itu tidak sekadar aktivitas harian, tetapi ruang di mana kita membentuk diri dan bertemu orang lain. Bertemu Jodoh Lewat Kegiatan yang Sama Kalau kamu pernah bertanya, “kenapa banyak orang ketemu pasangannya di kampus atau tempat kerja?”, jawabannya sederhana: karena mereka berbagi praktik sosial yang sama. Mereka menghabiskan waktu di lingkungan yang sama, melakukan kegiatan yang serupa, dan terlibat dalam rutinitas yang berulang. Praktik sosial membentuk zona sosial tempat kamu berinteraksi. Zona ini bisa mendekatkanmu dengan orang yang punya nilai, minat, bahkan tujuan hidup yang sejalan. Pada akhirnya, kita lebih mudah membangun relasi dengan orang yang nyambung dalam praktik hidup, bukan hanya sekadar cocok secara teori. Siapa yang Kamu Temui, Ditentukan oleh Apa yang Kamu Lakukan Praktik sosial tidak hanya membentuk siapa diri kita, tapi juga siapa yang hadir dalam hidup kita. Aktivitas yang kamu pilih akan mengarahkanmu ke lingkungan sosial tertentu—dan ini secara tidak langsung menyaring siapa yang mungkin jadi teman dekat, rekan kerja, bahkan pasangan hidup. Jadi, bisa saja jodohmu bukan seseorang yang “ditakdirkan dari langit”, tetapi seseorang yang berjalan bersamamu dalam aktivitas sehari-hari, yang memiliki kebiasaan yang sejalan, dan yang secara tidak sadar, telah terhubung denganmu melalui praktik yang kalian jalani bersama. Masih Jomblo? Coba Tengok Sekelilingmu Kalau kamu masih sendiri, mungkin bukan karena jodohmu belum datang, tapi karena kamu belum menyadari keberadaannya. Bisa jadi dia: Teman komunitas yang selalu satu tim denganmu, Orang yang rajin bantu kamu saat kerja kelompok, Partner diskusi yang selalu ada setiap kajian Jumat malam. Dengan kata lain, jodohmu bisa jadi sudah ada di sekitarmu, berbagi praktik sosial yang sama—hanya saja kamu belum memaknainya lebih dari sekadar “teman”. Penutup Menemukan teman hidup bukan semata soal takdir atau keberuntungan, tapi juga hasil dari apa yang kamu lakukan setiap hari. Jadi, jika ingin memperluas peluang bertemu jodoh, ubah atau perluas praktik sosialmu: ikut komunitas baru, terlibat dalam kegiatan sosial, atau cukup hadir lebih aktif di lingkaranmu saat ini. Karena seperti kata Bourdieu, “we are what we do repeatedly.” Dan bisa jadi, jodohmu adalah seseorang yang juga melakukan hal yang sama, di tempat yang sama, dengan kamu—tanpa kamu sadari. ReferensiBourdieu, Pierre (1977). Outline of a Theory of Practice. Cambridge: Cambridge University Press. Penulis: Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

PoV

Ke Mana Perginya Orang Tua di Anime? Sebuah Tinjauan Sosiologis atas Minimnya Representasi Tokoh Dewasa

PoV Ke Mana Perginya Orang Tua di Anime? Sebuah Tinjauan Sosiologis atas Minimnya Representasi Tokoh Dewasa Anime adalah salah satu bentuk budaya populer yang paling berpengaruh di dunia. Dengan visual yang khas, cerita yang penuh imajinasi, dan karakter yang kuat, anime telah memikat jutaan penonton lintas usia dan budaya. Namun, pernahkah kamu menyadari satu hal yang cukup mencolok? Dalam banyak anime, tokoh orang tua—ayah, ibu, bahkan kakek-nenek—sering kali absen atau hanya muncul sekilas. Kenapa bisa begitu? Mari kita lihat dari kacamata sosiologi media dan budaya. Anime: Cerita tentang Anak Muda Salah satu ciri utama anime adalah fokusnya pada karakter muda. Banyak cerita mengambil latar sekolah, memperlihatkan perjuangan remaja menghadapi dunia, dan menggambarkan fase “coming-of-age” (perjalanan menuju kedewasaan). Fenomena ini bukan kebetulan. Secara sosiologis, masyarakat Jepang—dan dunia secara umum—menganggap masa muda sebagai tahap kehidupan yang sangat penting. Masa muda dilihat sebagai fase penemuan jati diri, pembentukan nilai, dan simbol dari potensi masa depan. Maka, tak heran kalau anime pun banyak menyoroti karakter remaja yang sedang “bertumbuh”. Pasar Menentukan Fokus Faktor industri juga sangat memengaruhi. Konsumen utama anime adalah anak muda berusia 12–30 tahun. Kelompok ini dikenal sebagai penikmat media paling aktif—mereka nonton, beli merchandise, hadir di event, dan aktif di komunitas daring. Karena itu, kreator anime cenderung membuat cerita yang “relatable” dengan pengalaman dan imajinasi mereka. Akibatnya, karakter dewasa atau orang tua menjadi kurang mendapat panggung. Ini menciptakan semacam siklus: karena yang ditampilkan adalah anak muda, maka yang dikonsumsi pun terus berputar di lingkaran itu. Norma Sosial di Balik Layar Ada juga faktor sosial budaya yang lebih dalam. Dalam budaya Jepang tradisional, orang tua sangat dihormati. Tapi di era modern, Jepang mengalami perubahan sosial yang cepat—teknologi berkembang pesat, struktur keluarga berubah, dan jarak generasi makin terasa. Orang tua sering kali dianggap “ketinggalan zaman” dalam masyarakat yang memuja inovasi dan kemajuan. Hal ini tercermin dalam anime: karakter orang tua mungkin tetap ada, tapi lebih sering muncul sebagai tokoh minor—bijak, lucu, atau bahkan menjadi beban yang harus ditanggung anak muda. Idealisasi Anak Muda Anak muda dalam anime sering diidealkan sebagai sumber energi, semangat, dan keindahan. Mereka digambarkan penuh potensi, mampu mengubah dunia, atau menyelamatkan umat manusia. Sementara itu, karakter tua lebih sering dikaitkan dengan masa lalu, kemunduran, atau masalah. Hal ini menunjukkan bahwa industri anime tidak hanya mencerminkan realitas sosial, tapi juga turut membentuk cara pandang kita terhadap usia dan nilai seseorang berdasarkan usianya. Pengaruh Kreator dan Genre Faktor lain yang tak kalah penting adalah latar belakang para kreator anime. Banyak animator, penulis naskah, dan sutradara adalah anak muda. Secara alami, mereka lebih tertarik menulis cerita yang dekat dengan pengalaman mereka sendiri. Selain itu, genre juga memainkan peran. Genre shounen (untuk remaja laki-laki) dan shoujo (untuk remaja perempuan) sangat populer dan mendominasi pasar. Genre ini hampir selalu menampilkan protagonis muda. Meski genre seperti seinen dan josei (untuk penonton dewasa) terkadang memunculkan karakter lebih tua, tetap saja fokus utamanya pada dewasa muda—bukan lansia. Penutup: Refleksi atas Absennya yang Tak Terlihat Kurangnya representasi tokoh orang tua dalam anime bukan sekadar kebetulan teknis, melainkan cerminan dari nilai sosial, dinamika pasar, dan konstruksi budaya populer. Melalui anime, kita bisa melihat bagaimana masyarakat memandang usia, menghargai masa muda, dan—secara tidak sadar—meminggirkan pengalaman hidup yang lebih tua. Jadi, pertanyaannya bukan sekadar “ke mana orang tua di anime?”, tapi juga “apa yang dikatakan anime tentang cara kita memandang usia dan peran sosial?” Sumber: “The Lack of Representation of Older People in Anime”, Easy Sociology, 2024. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

PoV

Kenapa Manchester United Terpuruk? Analisis Sosiologis dari Ibnu Khaldun

PoV Kenapa Manchester United Terpuruk? Analisis Sosiologis dari Ibnu Khaldun Manchester United (MU) adalah salah satu klub sepak bola paling legendaris di dunia. Sepanjang sejarahnya, MU sudah melalui masa-masa gemilang dan juga periode sulit yang membuat para pendukungnya bertanya-tanya: mengapa klub sebesar ini bisa terpuruk? Untuk menjawabnya, kita bisa melihatnya dari sudut pandang yang mungkin tak biasa — yaitu teori siklus kekuasaan dari Ibnu Khaldun, seorang sosiolog dan sejarawan besar dari abad ke-14. Ibnu Khaldun dan Teori Siklus Kekuasaan: Relevansi untuk Dunia Sepak Bola Ibnu Khaldun dikenal sebagai bapak sosiologi modern, yang mengemukakan sebuah teori mendalam tentang bagaimana kekuasaan dan peradaban lahir, berkembang, kemudian akhirnya jatuh. Menariknya, walaupun Khaldun hidup jauh sebelum sepak bola ditemukan, konsepnya sangat relevan ketika kita ingin memahami dinamika naik-turunnya sebuah institusi besar seperti klub sepak bola. Ia mengenalkan konsep “asabiyyah”, yang berarti solidaritas kelompok yang kuat dan menjadi modal utama bagi sebuah kekuatan untuk bangkit dan menaklukkan, serta “umran”, yakni kemajuan dan perkembangan peradaban itu sendiri. Teori siklus ini menjelaskan bahwa tidak ada kekuasaan atau peradaban yang akan bertahan selamanya dalam puncak kejayaannya. Semua mengalami proses naik dan turun secara alami. Dalam konteks MU, kita bisa menelusuri bagaimana klub ini melewati siklus tersebut, dari titik awal yang penuh semangat, mencapai masa kejayaan, dan kini sedang menghadapi masa kemunduran. Empat Tahapan Siklus Menurut Ibnu Khaldun Menurut Ibnu Khaldun, siklus kekuasaan terbagi menjadi empat tahapan utama yang saling berkesinambungan. Pertama adalah Bangkitnya Kekuatan Baru, di mana sebuah kelompok atau komunitas dengan solidaritas tinggi (asabiyyah) berhasil menaklukkan lawan dan mendirikan kekuasaan baru. Kedua, ketika kekuatan tersebut semakin mantap, masuk ke tahap Kemakmuran dan Pertumbuhan di mana ekonomi, budaya, dan kekuatan politik berkembang pesat. Namun, seperti halnya roda yang berputar, siklus ini tidak selalu mulus. Tahap ketiga adalah Kemunduran, di mana faktor internal seperti kemewahan berlebihan, rasa puas diri, serta praktik korupsi mulai merusak soliditas dan efektivitas kekuatan itu. Tekanan dari luar pun turut melemahkan posisi mereka. Akhirnya, di tahap keempat yaitu Kejatuhan dan Penggantian, kekuatan yang melemah itu digantikan oleh kelompok lain yang memiliki asabiyyah lebih kuat, dan siklus pun dimulai kembali. Siklus MU: Dari Awal Mula hingga Masa Terpuruk Fase Penaklukan dan Awal Kejayaan Manchester United mulai menancapkan taringnya pada awal abad ke-20, ketika mereka memenangkan gelar Liga Inggris pertama pada musim 1907–08. Perpindahan ke Old Trafford pada 1910 menjadi simbol ambisi besar klub ini. Namun, perjalanan tidak selalu mulus — pada dekade 1920-an dan 1930-an, MU mengalami naik turun antara Divisi Pertama dan Kedua, dipengaruhi oleh krisis keuangan dan pergantian struktur internal. Walau begitu, semangat dan solidaritas kelompok mulai tumbuh sebagai modal dasar membangun kekuatan. Era Keemasan: Kemakmuran dan Pertumbuhan di Bawah Ferguson Era keemasan MU paling kentara setelah Sir Matt Busby mengambil alih pada 1945, tetapi puncak kejayaan benar-benar diraih pada masa Sir Alex Ferguson sejak 1986. Ferguson bukan hanya manajer, melainkan sosok yang membangun kembali fondasi asabiyyah dalam klub—menggabungkan generasi lama seperti Bryan Robson dan Mark Hughes dengan talenta muda “Class of ’92” seperti Ryan Giggs, Paul Scholes, David Beckham, dan Gary Neville. Di bawah kepemimpinannya, MU mencatat sejarah dengan 13 gelar Liga Premier, menciptakan era dominasi yang tak tertandingi dan membuktikan bagaimana solidaritas kelompok dan budaya klub bisa memacu kemajuan luar biasa. Masa Kemunduran: Saat Soliditas Mulai Renggang Tapi tidak ada yang abadi. Pada 8 Mei 2013, Ferguson pensiun dan meninggalkan kursi manajer yang sulit untuk diisi. Peralihan kepemimpinan ini menandai awal fase kemunduran MU. Setelah bertahun-tahun di bawah kendali Ferguson, klub kehilangan soliditas internalnya. Ganti manajer yang berulang kali terjadi menimbulkan ketidakpastian, mengikis rasa kebersamaan dan tujuan yang selama ini menjadi kekuatan utama klub. Faktor-faktor internal seperti rasa puas diri, kurangnya kesatuan visi, dan tekanan dari persaingan yang semakin ketat mulai menimbulkan keretakan. Bahkan, kekalahan memalukan seperti kalah dari tim ASEAN All Star 1-0 semakin memperjelas bahwa MU sedang mengalami penurunan yang nyata. Refleksi: Apa yang Bisa Dipetik dari Siklus Ini? Melihat keadaan MU melalui teori Ibnu Khaldun, kita bisa menyadari bahwa kejayaan maupun kemunduran bukanlah perkara kebetulan atau sekadar performa pemain di lapangan. Lebih dari itu, semua berakar pada aspek sosial dan budaya internal klub—solidaritas, semangat juang, dan kesatuan tujuan (asabiyyah) yang menjadi pondasi kekuatan. Jika MU ingin kembali bangkit, mereka harus membangun ulang fondasi ini. Mengembalikan budaya kerja sama yang kuat, membentuk identitas yang jelas, dan menumbuhkan semangat juang yang tak tergoyahkan. Dalam siklus peradaban, fase kemunduran adalah peluang untuk peremajaan dan kelahiran kekuatan baru yang segar. Kesimpulan: Siklus Sejarah MU Masih Berlanjut Manchester United sedang berada pada titik krusial dalam siklus sejarahnya. Meski saat ini terpuruk, bukan berarti ini adalah akhir dari cerita mereka. Sejarah dan teori Ibnu Khaldun mengajarkan bahwa asabiyyah baru dapat muncul, dan dengan itu datang kesempatan untuk bangkit dan meraih kejayaan kembali. Bagi para pendukung MU, ini saatnya bersabar dan terus memberi dukungan—karena dalam siklus kekuasaan, kebangkitan selalu mengikuti kejatuhan. Masa depan MU ada di tangan mereka yang mampu membangun solidaritas dan semangat juang baru. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah seorang akademisi dan sosiolog dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang menempuh pendidikan sosiologi di Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia dikenal aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi melalui berbagai kegiatan akademik, termasuk mengikuti short course di Jerman dan Australia. Selain itu, Dr. Dede merupakan pendiri komunitas kajian Perspektif Sosiologi yang berfokus pada analisis isu-isu sosial kontemporer. Ia juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Program Studi Sosiologi di tingkat S1, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Bandung Address-card Instagram Share yuk artikel ini… Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

PoV

Viral Grup “Inses Fantasi Sedarah” di Facebook: Kenapa Inses Dilarang?

Belakangan ini, media sosial dihebohkan dengan kemunculan grup “Inses Fantasi Sedarah” di Facebook, yang secara terang-terangan membicarakan hubungan seksual antar anggota keluarga. Fenomena ini mengundang kekhawatiran publik dan menimbulkan pertanyaan mendasar: kenapa hubungan inses atau hubungan sedarah dilarang, bahkan dianggap tabu di hampir semua budaya? Secara umum, inses dilarang karena menyangkut persoalan kesehatan, stabilitas sosial, dan nilai moral yang dijunjung oleh masyarakat. Dalam berbagai disiplin ilmu, larangan ini tidak hanya dianggap sebagai norma sosial, tetapi juga memiliki dasar biologis, psikologis, dan antropologis yang kuat. Dari sudut pandang biologis, hubungan sedarah memiliki risiko tinggi terhadap kelainan genetik dan cacat bawaan. Ketika dua individu yang memiliki kedekatan genetik tinggi (seperti saudara kandung atau orang tua dan anak) memiliki keturunan, peluang munculnya penyakit resesif dan gangguan genetik meningkat secara signifikan. Oleh karena itu, larangan inses juga dapat dilihat sebagai mekanisme proteksi biologis bagi kesehatan generasi selanjutnya. Selain alasan biologis, larangan inses juga bertujuan untuk menjaga stabilitas keluarga. Teori family disruption menjelaskan bahwa hubungan seksual dalam lingkungan keluarga inti dapat memicu konflik serius, merusak peran-peran sosial antar anggota keluarga, dan pada akhirnya mengganggu keharmonisan keluarga. Dengan demikian, tabu terhadap inses menjadi semacam “pengaman sosial” untuk menjaga keutuhan dan fungsi keluarga. Dari perspektif antropologi, Claude Lévi-Strauss mengajukan teori aliansi yang menyatakan bahwa larangan inses memaksa individu untuk mencari pasangan dari luar lingkup keluarga. Praktik ini berfungsi membentuk jaringan kekerabatan dan aliansi sosial yang lebih luas, memperkuat struktur sosial masyarakat. Jadi, larangan ini tidak hanya mencegah dampak buruk internal, tapi juga mendorong perluasan hubungan eksternal. Efek lain yang mendukung larangan inses datang dari teori Westermarck effect, yang dikemukakan oleh sosiolog Finlandia Edvard Westermarck. Ia berpendapat bahwa orang-orang yang tumbuh bersama dalam tahun-tahun awal kehidupan cenderung tidak mengembangkan ketertarikan seksual satu sama lain. Mekanisme psikologis ini berperan penting dalam mencegah hubungan seksual antar saudara atau teman masa kecil, yang jika terjadi, berisiko meningkatkan cacat genetik dan menurunkan kebugaran keturunan. Meskipun teknologi dan media sosial memberi ruang baru bagi ekspresi dan perilaku menyimpang seperti inses fantasi, norma sosial tentang tabu inses masih memiliki dasar kuat dan relevan. Larangan tersebut tidak hanya berakar pada nilai moral dan agama, tetapi juga pada logika ilmiah dan sosial yang telah teruji dalam berbagai budaya dan generasi. Dengan memahami berbagai dimensi yang melatarbelakangi tabu terhadap inses—dari genetika hingga struktur sosial—kita dapat melihat bahwa larangan ini bukan sekadar larangan moral, melainkan bentuk perlindungan terhadap integritas biologis dan sosial manusia. Referensi:

PoV

Sosiologi Film: Parasite, Potret Kesenjangan Sosial yang Gak bisa Dibohongi

Film Parasite karya sutradara Bong Joon-ho, yang tayang perdana pada 2019, merupakan salah satu film Korea Selatan yang sukses mencuri perhatian dunia, baik dari sisi sinematografi maupun kedalaman pesan sosialnya. Dengan balutan genre thriller-satire, Parasite menyajikan potret tajam tentang realitas kesenjangan sosial yang tak bisa ditutupi dengan kemewahan atau rekayasa citra. Kisah film ini berpusat pada keluarga Kim, sebuah keluarga miskin yang tinggal di apartemen bawah tanah yang kumuh di Seoul. Ayahnya, Ki-taek, bersama istrinya Chung-sook, serta kedua anaknya, Ki-woo dan Ki-jeong, hidup dalam kondisi serba kekurangan. Meskipun cerdas dan terampil, mereka harus puas bekerja serabutan seperti melipat kotak pizza dan mencari peluang dari pekerjaan informal demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Suatu ketika, nasib tampak berpihak pada Ki-woo. Ia mendapatkan tawaran dari temannya yang akan studi ke luar negeri untuk menggantikannya sebagai guru les bahasa Inggris bagi keluarga Park, keluarga kaya yang hidup dalam rumah mewah nan modern. Ki-woo pun melihat peluang ini sebagai jalan keluar dari lingkaran kemiskinan. Setelah berhasil melalui wawancara dan mulai bekerja di rumah keluarga Park, ia menyusun rencana agar anggota keluarganya yang lain juga bisa bekerja di rumah itu, tentu dengan menyembunyikan hubungan darah mereka dan memalsukan identitas. Dengan keterampilan manipulasi dan kepandaian berakting, keluarga Kim secara sistematis “mengusir” sopir dan asisten rumah tangga lama keluarga Park, lalu menggantikan posisi tersebut dengan ayah dan ibunya sendiri. Mereka berhasil menjalani peran palsu mereka dan mulai menikmati kemewahan hidup di rumah keluarga Park. Namun di balik kehidupan baru yang tampak sempurna itu, benih-benih konflik dan ketegangan mulai tumbuh, menunggu waktu untuk meledak. Puncak ketegangan terjadi ketika keluarga Park pergi berkemah, dan keluarga Kim memanfaatkan momen tersebut untuk berpesta di rumah megah yang sementara mereka “kuasai”. Namun malam itu juga terjadi badai hebat yang membawa kehancuran bukan hanya pada suasana pesta, tetapi juga pada kenyataan yang mereka coba tutupi. Di tengah keasyikan, mereka menemukan rahasia tersembunyi yang mengubah arah cerita secara drastis. Sejak saat itu, Parasite bergerak menuju babak gelap penuh konfrontasi dan kekerasan, yang membuka kedok masing-masing karakter dan menggambarkan betapa rapuhnya konstruksi sosial yang dibangun dengan kebohongan. Akhir cerita berakhir tragis. Realitas sosial menghantam keras keluarga Kim. Mereka terpaksa menghadapi nasib buruk yang menegaskan posisi sosial mereka dalam struktur masyarakat yang timpang. Ki-woo, yang sempat bermimpi memiliki rumah keluarga Park dan membebaskan ayahnya dari persembunyian, harus bangun dalam kesadaran pahit bahwa semuanya hanya mimpi—ia tetap terjebak di apartemen bawah tanah, kembali ke titik awal. Melalui narasi yang kuat dan simbolisme visual yang tajam, Parasite mengangkat tema besar sosiologis seperti ketimpangan kelas, diskriminasi, serta perjuangan hidup dalam sistem yang tidak adil. Film ini bukan sekadar hiburan, tetapi sebuah kritik sosial yang menggugah kesadaran penonton akan jurang menganga antara si kaya dan si miskin. Parasite membuktikan bahwa dalam masyarakat modern sekalipun, isu kelas tetap menjadi parasit yang tak mudah disingkirkan.

Scroll to Top