Ringkasan Teori

Ringkasan Teori

Kecewa Saja Tak Cukup: Gerakan Sosial Butuh Sumber Daya

Ringkasan Teori Kecewa Saja Tak Cukup: Gerakan Sosial Butuh Sumber Daya Frustrasi Masyarakat: Apakah Cukup?Kekecewaan dan rasa frustrasi masyarakat terhadap kondisi sosial-politik memang bisa menjadi pemicu lahirnya gerakan sosial. Teori relative deprivation menjelaskan bahwa gerakan sosial muncul karena adanya perasaan kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Namun, faktanya, rasa frustrasi semata tidak otomatis mendorong orang turun ke jalan. Banyak orang kecewa, tetapi tidak semua terlibat dalam aksi kolektif.Kebutuhan Akan Dana dan Sumber DayaDi titik inilah muncul teori Resource Mobilization yang dikembangkan oleh McCarthy dan Zald (1977). Teori ini merevisi pandangan relative deprivation dengan menekankan bahwa sebuah gerakan sosial tidak cukup digerakkan oleh rasa kecewa atau frustrasi. Agar bisa terwujud, gerakan membutuhkan sumber daya: mulai dari dana, waktu, tenaga, hingga keterampilan organisasi. Dengan kata lain, tanpa adanya modal yang jelas, kekecewaan massa akan berhenti hanya sebagai keluhan, bukan menjadi gerakan nyata.Lebih dari Sekadar UangSumber daya dalam gerakan sosial tidak terbatas pada uang. Ia juga mencakup jaringan sosial, infrastruktur, akses media, hingga figur pemimpin yang mampu mengorganisir massa. Media sering menyebut pihak-pihak yang menyediakan dukungan material dan logistik sebagai “penyandang dana” atau bohir. Dukungan inilah yang membuat sebuah gerakan sosial mampu bertahan, mengorganisir massa, dan memberi dampak politik yang nyata.KesimpulanDengan demikian, teori Resource Mobilization mengajarkan bahwa gerakan sosial bukan hanya lahir dari rasa frustrasi masyarakat, tetapi juga dari kemampuan untuk mengelola dan memobilisasi sumber daya yang tersedia. Kombinasi antara kekecewaan dan dukungan sumber daya inilah yang membuat sebuah gerakan sosial benar-benar bisa berjalan dan memberi dampak.Rujukan: McCarthy & Zald (1977). “Resource Mobilization and Social Movements: A Partial Theory”. American Journal of Sociology, 82(6): 1212–1241. Dr. Dede SyarifDr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani SetiaLulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Ringkasan Teori

Mengapa Masyarakat Melakukan Demonstrasi? Perspektif Teori Kesenjangan Relatif

Ringkasan Teori Mengapa Masyarakat Melakukan Demonstrasi? Perspektif Teori Kesenjangan Relatif Demonstrasi sebagai Protes SosialDemonstrasi yang terjadi pada 25–28 Agustus lalu dapat dipahami sebagai bentuk protes sosial. Aksi massa ini merupakan ekspresi kolektif masyarakat untuk menolak ketidakadilan yang mereka rasakan. Demonstrasi bukan sekadar kerumunan tanpa arah, melainkan tindakan sosial yang memiliki pesan jelas: ketidaksetujuan atas ketimpangan sosial yang semakin terasa di kehidupan sehari-hari.Pemicu Kemunculan ProtesProtes sosial tidak muncul begitu saja, melainkan dipicu oleh akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap elit politik dan pemerintah. Salah satu pemicu yang kuat adalah pertunjukan gaya hidup mewah anggota dewan yang terlihat kontras dengan kesulitan hidup rakyat. Tunjangan jabatan ratusan juta rupiah, bahkan hiburan joget-joget anggota DPR yang viral di media sosial, dipersepsikan sebagai simbol arogansi elit di tengah penderitaan masyarakat. Ketimpangan inilah yang menjadi bahan bakar emosional bagi lahirnya protes sosial secara luas.Teori Kesenjangan RelatifFenomena demonstrasi dapat dijelaskan melalui Teori Kesenjangan Relatif (relative deprivation theory). Teori ini menyatakan bahwa gerakan sosial sering muncul karena adanya perasaan tidak puas akibat kesenjangan yang dirasakan. Masyarakat membandingkan kondisi hidup mereka yang sulit dengan kehidupan kaum elit yang bergelimang kemudahan. Perbedaan inilah yang memunculkan rasa frustrasi kolektif, yang kemudian diekspresikan dalam bentuk protes dan demonstrasi.Frustrasi dan Kemarahan KolektifTeori ini juga menjelaskan bahwa orang cenderung mengalami frustrasi dan kemarahan ketika mereka merasa kekurangan, sementara kelompok lain menikmati kelimpahan. Perasaan deprivasi menjadi semakin tajam ketika kesenjangan itu dipertontonkan di ruang publik, seperti media sosial. Akibatnya, kemarahan masyarakat tidak lagi berhenti pada keluhan individual, tetapi berkembang menjadi gerakan kolektif, bahkan hingga perusakan sebagai simbol perlawanan.Prinsip-Prinsip Utama Deprivasi RelatifDeprivasi relatif bersifat subjektif. Artinya, rasa kekurangan bukan hanya ditentukan oleh kondisi material semata, tetapi juga oleh bagaimana orang menilai posisinya dibandingkan orang lain. Misalnya, penghasilan tiga juta rupiah mungkin dianggap cukup besar oleh sebagian masyarakat, tetapi dianggap sangat kecil oleh kelompok elit. Dengan demikian, deprivasi lebih merupakan pengalaman psikologis yang lahir dari perbandingan sosial.Perbandingan Sosial dan EkspektasiPerasaan deprivasi muncul ketika masyarakat membandingkan situasi mereka dengan kelompok elit. Ekspektasi bahwa kehidupan mereka seharusnya lebih baik ternyata berbanding terbalik dengan realitas yang dihadapi. Ketika jarak antara ekspektasi dan realitas semakin melebar, rasa ketidakpuasan pun tumbuh menjadi energi sosial yang memicu protes.Jenis-Jenis Kesenjangan RelatifWalker dan Smith (2001) membedakan deprivasi relatif menjadi dua jenis. Pertama, deprivasi relatif egois, yaitu perasaan individu ketika membandingkan dirinya dengan individu lain. Kedua, deprivasi relatif fraternalistik, yaitu ketika suatu kelompok membandingkan dirinya dengan kelompok lain. Dalam konteks demonstrasi di Indonesia, masyarakat sebagai sebuah kelompok membandingkan kondisi mereka dengan kelompok elit politik yang hidup bergelimang fasilitas. Deprivasi fraternalistik inilah yang seringkali menjadi motor lahirnya gerakan sosial berskala besar.Sumber:Walker, I., & Smith, H. J. (2001). Relative Deprivation: Specification, Development, and Integration. Cambridge University Press. Dr. Dede SyarifDr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani SetiaLulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Ringkasan Teori

Siapa Diri Kita? Tiga Perspektif Sosiologi untuk Memahami Identitas Diri

Ringkasan Teori Siapa Diri Kita? Tiga Perspektif Sosiologi untuk Memahami Identitas Diri Modernitas sering membuat kita bertanya-tanya: siapa sebenarnya diri kita? Apakah diri terbentuk dari kehendak pribadi, dari pandangan orang lain, atau dari kelompok sosial tempat kita berada? Sosiologi menawarkan beberapa teori penting yang bisa membantu kita menjawab kegelisahan ini. Tiga tokoh besar berikut memberi kontribusi besar dalam memahami konsep diri dan identitas.George Herbert Mead: Interaksionisme SimbolikMead menjelaskan bahwa konsep diri (self) manusia terbentuk dari dua dimensi: “I” dan “Me”. “I” adalah sisi diri sebagai subjek yang aktif, bertindak berdasarkan inisiatif pribadi. Sementara “Me” adalah sisi diri sebagai objek, yang dibentuk oleh norma dan pandangan masyarakat. Identitas diri adalah hasil negosiasi terus-menerus antara “I” dan “Me” dalam interaksi sosial.Charles Horton Cooley: Looking-Glass SelfCooley memperkenalkan gagasan bahwa diri kita seperti sebuah cermin. Kita membentuk konsep diri dengan membayangkan bagaimana orang lain melihat kita, menafsirkan reaksi mereka, lalu menjadikannya cerminan untuk mengenal siapa diri kita. Dengan kata lain, identitas terbentuk melalui refleksi sosial: kita adalah apa yang orang lain lihat dalam diri kita.Henri Tajfel & John Turner: Teori Identitas SosialTajfel dan Turner menekankan pentingnya keanggotaan kelompok dalam pembentukan identitas. Identitas sosial kita terbentuk melalui proses kategorisasi, identifikasi, dan perbandingan dengan kelompok lain. Keikutsertaan dalam kelompok sosial—seperti etnis, agama, profesi, atau komunitas—memberi rasa memiliki dan turut menentukan siapa diri kita.KesimpulanKetiga teori ini menegaskan bahwa diri kita bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan hasil interaksi sosial yang kompleks. Identitas terbentuk dari negosiasi pribadi, cermin sosial orang lain, dan keterikatan dengan kelompok. Memahami teori-teori ini membantu kita menyadari bahwa menemukan jati diri bukan sekadar pencarian ke dalam, melainkan juga refleksi atas hubungan sosial di sekitar kita. Dr. Dede SyarifDr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani SetiaLulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Ringkasan Teori

Role Exit: Saat Kita Kehilangan Peran dan Menemukan Jati Diri Baru

Ringkasan Teori Role Exit: Saat Kita Kehilangan Peran dan Menemukan Jati Diri Baru Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak hanya memerankan satu peran saja. Kita bisa menjadi mahasiswa, pekerja, pasangan, anak, orang tua, atau anggota komunitas tertentu. Namun, ada kalanya peran yang melekat pada diri kita harus dilepaskan. Situasi inilah yang disebut dengan role exit, yakni saat seseorang keluar dari sebuah peran yang penting dalam hidupnya.Salah satu contoh yang paling dekat dengan kita adalah ketika menyelesaikan kuliah. Setelah lulus, kita tidak lagi berstatus sebagai mahasiswa, sebuah peran yang selama bertahun-tahun membentuk identitas diri. Peralihan ini seringkali membingungkan, karena kita dituntut untuk segera menemukan peran baru di dunia kerja atau kehidupan bermasyarakat. Fenomena ini menegaskan bahwa role exit adalah pengalaman yang hampir setiap orang alami dalam hidupnya.Menurut Helen Rose Fuchs Ebaugh, seorang sosiolog yang merumuskan teori role exit pada 1970-an, keluar dari peran adalah “proses pelepasan diri dari peran yang penting bagi identitas seseorang dan pembentukan kembali identitas pada peran baru.” Riset Ebaugh bermula dari penelitiannya terhadap para mantan biarawati, namun temuan ini ternyata berlaku lebih luas: siapa saja, dalam berbagai situasi sosial, bisa mengalaminya.Fenomena keluar peran semakin relevan di tengah kehidupan modern yang kompetitif. Banyak orang menghadapi perubahan besar yang mengguncang identitas dirinya, seperti lulus kuliah, kehilangan pekerjaan, perceraian, atau bahkan pindah profesi. Setiap perubahan besar itu memaksa seseorang untuk melepaskan peran lama dan menemukan jati diri baru.Ebaugh menjelaskan bahwa proses role exit umumnya terjadi melalui beberapa tahapan. Pertama, muncul keraguan awal, saat seseorang merasa peran yang dijalani tidak lagi sesuai dengan harapan. Kedua, individu mulai mencari alternatif lain yang bisa lebih memuaskan kebutuhannya. Ketiga, ada titik balik, biasanya berupa peristiwa besar yang memaksa seseorang keluar dari peran lama. Terakhir, individu benar-benar melepaskan peran lama dan membangun identitas baru yang lebih sesuai dengan kehidupannya saat ini.Ambil contoh para mahasiswa yang baru lulus. Bagi mereka, meninggalkan kampus berarti juga melepaskan lingkaran pertemanan, rutinitas kuliah, dan suasana yang selama ini membentuk identitas diri. Banyak yang merasa kehilangan arah, bahkan frustrasi, ketika harus menyesuaikan diri dengan dunia baru yang penuh tantangan. Namun, seiring waktu, mereka akan membangun identitas baru—misalnya sebagai profesional di dunia kerja, sebagai pengusaha, atau sebagai bagian dari komunitas sosial yang lain.Dengan kata lain, role exit adalah bagian alami dari perjalanan hidup manusia. Ia memang bisa menimbulkan disorientasi, tetapi juga membuka peluang bagi seseorang untuk menemukan versi dirinya yang baru. Memahami proses ini membantu kita lebih siap menghadapi setiap perubahan besar dalam hidup, serta lebih bijak dalam membentuk identitas baru yang selaras dengan perjalanan hidup kita.Referensi: Ebaugh, H. R. F. (1988). Becoming an Ex: The Process of Role Exit. Chicago: University of Chicago Press. Dr. Dede SyarifDr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani SetiaLulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Ringkasan Teori

Sosiologi Kesepian: Semakin Terhubung, Tapi Semakin Kesepian

Ringkasan Teori Sosiologi Kesepian: Semakin Terhubung, Tapi Semakin Kesepian Teknologi dan Isolasi SosialDi era digital ini, kita sering kali merasa lebih terhubung dari sebelumnya. Di media sosial, kita memiliki banyak pengikut, dan hidup di kota besar seharusnya memberikan kesempatan untuk terhubung dengan berbagai orang. Namun, di balik itu semua, banyak orang yang merasa kesepian. Paradoxnya, meskipun kita semakin mudah berhubungan satu sama lain, isolasi sosial semakin merajalela. Teknologi, yang seharusnya menjadi penghubung, sering kali justru menciptakan jarak antara kita dengan orang-orang di sekitar kita, menambah kesepian yang tidak tampak namun merasuk dalam kehidupan sehari-hari.Penyebab Isolasi SosialIsolasi sosial bukanlah masalah sederhana. Ada banyak faktor yang mempengaruhi, dan salah satunya adalah perkembangan teknologi yang telah merubah pola interaksi manusia. Meski teknologi menawarkan cara baru untuk berkomunikasi, ia juga merusak hubungan yang mendalam dan bermakna yang seharusnya ada dalam kehidupan sosial kita. Media sosial, yang seharusnya menjadi platform untuk saling berbagi dan mendukung, seringkali justru menciptakan budaya koneksi yang dangkal. Konten yang terus-menerus dikurasi dan dimanipulasi, menciptakan ekspektasi yang tidak realistis di mana kita merasa orang lain lebih bahagia, lebih sukses, atau lebih populer. Inilah yang sering membuat kita merasa tak berdaya dan terisolasi.Urbanisasi dan Hilangnya Ikatan KomunitasUrbanisasi, meski membawa banyak berkah dalam hal kesempatan ekonomi dan akses sosial, juga berkontribusi pada keterasingan yang semakin mendalam. Kota-kota besar, dengan segala peluangnya, juga menciptakan ketimpangan sosial dan ketegangan dalam hubungan antarmanusia. Dalam kota besar, kita dikelilingi oleh keramaian, namun seringkali merasa terisolasi. Hilangnya ikatan komunitas yang erat, yang dulu ada di lingkungan desa atau tempat tinggal kecil, kini digantikan oleh relasi yang lebih bersifat utilitarian dan instan. Hal ini, meskipun tampaknya memberi kebebasan, justru memengaruhi kedalaman hubungan antarmanusia yang seharusnya dapat saling menguatkan.Menurunnya Hubungan yang Mendalam dan BermaknaPergeseran cara berkomunikasi dari tatap muka ke platform digital telah mengubah cara kita membangun hubungan. Interaksi tatap muka, yang sangat penting untuk membangun ikatan yang kuat, sering kali digantikan oleh percakapan melalui aplikasi atau pesan singkat. Ada tiga faktor utama yang menyebabkan penurunan kualitas hubungan ini:Kurangnya Interaksi Tatap Muka: Komunikasi digital memisahkan individu dari pengalaman nyata yang dihadirkan dalam percakapan langsung. Tanpa kehadiran fisik, emosi dan kedalaman komunikasi seringkali hilang.Meningkatnya Ketergantungan pada Teknologi: Dengan bergantung pada teknologi untuk komunikasi, kita semakin terbiasa dengan interaksi yang lebih instan dan kurang bernilai, yang sering kali mengarah pada kelelahan digital dan ketidakmampuan untuk membangun kedekatan sejati.Berubahnya Norma dan Ekspektasi Sosial: Dalam masyarakat digital, norma sosial seputar keintiman dan hubungan telah berubah. Banyak orang, terutama yang lebih muda, cenderung meremehkan pentingnya membangun hubungan yang mendalam, lebih memilih hubungan yang lebih mudah dan cepat didapatkan.Koneksi Daring yang ArtifisialMeskipun teknologi menawarkan kemudahan koneksi, banyak interaksi tersebut yang bersifat artifisial. Sherry Turkle (2011) dalam bukunya Alone Together menyatakan bahwa meskipun teknologi memberikan rasa keterhubungan, ia juga menciptakan ilusi persahabatan yang tidak memiliki kedalaman. Ketergantungan pada media sosial dan alat digital lainnya mengikis kemampuan kita untuk berinteraksi secara langsung dan dengan empati. Interaksi dalam dunia maya cenderung singkat dan tidak berbobot, tanpa ruang untuk mengembangkan rasa saling pengertian yang sesungguhnya.Mengurangi Isolasi Sosial: Solusi yang Perlu DiterapkanUntuk mengatasi masalah isolasi sosial yang semakin meluas, ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk memperbaiki hubungan sosial dan membangun komunitas yang lebih inklusif dan penuh empati.Membangun Ikatan Komunitas yang Lebih Kuat: Inisiatif lokal yang melibatkan masyarakat dalam kegiatan sosial, budaya, atau pendidikan dapat memperkuat ikatan komunitas dan mengurangi isolasi sosial. Mengadakan acara komunitas seperti pasar malam, acara seni, atau kegiatan sosial lainnya dapat mempertemukan individu-individu yang merasa terisolasi.Memupuk Empati dan Pemahaman melalui Edukasi dan Kesadaran: Meningkatkan kesadaran tentang penyebab dan dampak isolasi sosial adalah langkah penting untuk mengurangi stigma yang ada. Edukasi dapat dilakukan melalui seminar, kursus, atau bahkan program sosial yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang pentingnya hubungan antar manusia yang bermakna.Mendorong Interaksi Tatap Muka dan Hubungan yang Bermakna: Salah satu langkah yang paling penting untuk mengurangi kesepian adalah dengan mendorong lebih banyak interaksi tatap muka. Program mentoring, kelompok diskusi, dan kegiatan yang melibatkan interaksi langsung antar individu dapat meningkatkan kualitas hubungan.KesimpulanTeknologi mempermudah kita untuk terhubung, tetapi juga menciptakan ilusi hubungan tanpa kedalaman yang mengarah pada isolasi sosial. Meskipun dunia semakin terhubung melalui teknologi, penting untuk menyadari bahwa kedalaman hubungan sosial yang sesungguhnya hanya bisa tercipta melalui interaksi langsung dan empati. Dengan menciptakan ruang untuk hubungan yang lebih bermakna, kita dapat mengurangi efek negatif dari kesepian dan memperkuat kohesi sosial dalam masyarakat modern.Referensi:Turkle, Sherry. Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other. New York: Basic Books, 2011. Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Ringkasan Teori

Sosiologi Atensi: Saat Perhatian Lebih Berharga dari Kontribusi

Ringkasan Teori Sosiologi Atensi: Saat Perhatian Lebih Berharga dari Kontribusi Dalam dunia yang dikuasai oleh media digital, perhatian atau atensi menjadi aset yang lebih bernilai dari sekadar kontribusi nyata. Pertanyaannya: mengapa seorang pesepakbola seperti Lionel Messi bisa menerima bayaran jutaan dolar, sedangkan seorang dokter yang menyelamatkan nyawa setiap hari tidak mendapatkan pengakuan serupa? Jawabannya sederhana namun menyakitkan: karena Messi menarik atensi publik dalam jumlah besar. Di era ekonomi digital, atensi adalah mata uang. Ia dapat menggerakkan massa, membentuk opini, dan mengubah perilaku sosial secara masif.Sosiologi Atensi: Mengkaji Mekanisme Perhatian di Media SosialSosiologi atensi mempelajari bagaimana perhatian manusia dimanipulasi, didistribusikan, dan dimonetisasi dalam sistem media digital. Di dalam platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube, perhatian menjadi objek rebutan yang dikapitalisasi oleh perusahaan, kreator konten, dan algoritma. Pendekatan ini tidak hanya menyoroti struktur teknis di balik platform, tetapi juga strategi individu dalam mencari validasi sosial dan status simbolik melalui jumlah likes, views, dan followers.Atensi Sebagai Komoditas DigitalDalam logika ekonomi atensi, waktu dan keterlibatan pengguna dianggap sebagai sumber daya utama. Semakin lama seseorang berada di suatu platform, semakin besar nilai ekonomisnya. Data interaksi—seperti klik, komentar, dan durasi menonton—dikumpulkan, dianalisis, lalu dijual kepada pengiklan. Atensi tak lagi gratis; ia menjadi komoditas yang diperjualbelikan dalam pasar global informasi.Strategi Algoritma dan Mekanisme Penarik PerhatianPlatform media sosial menggunakan algoritma canggih untuk mengatur konten yang muncul di layar pengguna. Prioritas diberikan kepada konten yang menghasilkan interaksi tinggi, meski kadang tidak sehat secara sosial. Akibatnya, konten yang penuh kontroversi, emosi ekstrem, atau sensasi lebih sering muncul dan menyita perhatian publik dibandingkan konten edukatif atau reflektif. Ini menciptakan siklus umpan balik antara pencipta konten dan sistem, di mana mereka yang tahu cara “memancing algoritma” akan mendapatkan visibilitas lebih tinggi.Pencarian Validasi dan Persona DigitalDalam konteks ini, individu pun terdorong membangun persona daring yang dirancang untuk menarik perhatian. Banyak yang merasa perlu menciptakan versi ideal dari diri mereka demi mendapatkan pengakuan sosial. Mereka mungkin membagikan kehidupan pribadi secara berlebihan, memanipulasi narasi untuk meraih empati, atau bahkan memicu drama untuk menjaga eksistensinya dalam radar publik. Proses ini menjadikan atensi sebagai bentuk kekuasaan baru yang menentukan siapa yang layak didengar dan siapa yang tenggelam dalam kebisingan digital.Ketimpangan dan Dampak Sosial AtensiDistribusi perhatian yang tidak merata menciptakan ketimpangan sosial di ruang digital. Mereka yang sudah populer akan semakin mendapatkan sorotan, sementara yang lain berjuang keras untuk sekadar terlihat. Dalam kondisi ekstrem, kebutuhan akan atensi bisa mendorong perilaku yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Terlebih, sistem ini berisiko menurunkan kualitas interaksi sosial karena mendorong orang untuk tampil demi sorotan, bukan demi keaslian atau kontribusi nyata.Medan Atensi: Perspektif Pierre BourdieuSosiolog Pierre Bourdieu menggambarkan fenomena ini sebagai “medan”—arena sosial tempat individu bersaing untuk memperebutkan kapital simbolik. Di dunia digital, kapital itu berupa jumlah pengikut, kredibilitas daring, atau pengaruh opini. Media sosial membentuk medan atensi yang hierarkis, kompetitif, dan sarat simbolisme kekuasaan. Mereka yang sukses memahami medan ini akan mampu memosisikan diri sebagai pemain utama dalam ekonomi atensi, sementara yang lain tertinggal sebagai penonton pasif. Dr. Dede SyarifDr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani SetiaLulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Ringkasan Teori

Kenapa Hanya Sore yang Peduli? Menonton Sore: Istri dari Masa Depan dari Perspektif Feminis

PoV Kenapa Hanya Sore yang Peduli? Menonton Sore: Istri dari Masa Depan dari Perspektif Feminis Film Sore: Istri dari Masa Depan sekilas tampak seperti film romansa bernuansa fiksi ilmiah tentang cinta dan takdir. Namun jika ditelisik lebih dalam, film ini menyimpan potret relasi gender yang problematis—khususnya tentang bagaimana cinta sering kali menjadi beban yang dipikul lebih berat oleh perempuan.Sore (diperankan oleh Sheila Dara Aisha) adalah sosok istri dari masa depan yang berulang kali kembali ke masa lalu demi menyelamatkan hidup suaminya, Jonathan (Dion Wiyoko). Jo, yang digambarkan sebagai pria dengan gaya hidup buruk dan ego tinggi, akhirnya mati muda. Sore, dengan segala kasih sayangnya, mencoba mengubah masa depan Jo. Ia bahkan berkata, “Kalau aku harus ngulang seribu kali pun, kayaknya aku bakal tetap milih kamu, deh.” Kalimat ini menggambarkan betapa besar pengorbanan dan konsistensi cinta Sore—meski artinya ia harus menanggung beban perubahan seorang diri.Dari kacamata feminis, perjuangan Sore untuk “menyelamatkan” Jo bukan sekadar aksi heroik penuh cinta, melainkan cermin dari harapan sosial yang kerap dibebankan kepada perempuan dalam hubungan. Sore harus menanggung beban transformasi moral pasangannya, mengambil tanggung jawab atas masa depan rumah tangganya, dan rela “mengatur” hidup Jo demi kebaikan bersama. Namun, di saat bersamaan, Jo justru merasa tak nyaman karena kehidupannya diintervensi oleh perempuan. Di sinilah ketimpangan gender itu muncul—ketika niat baik perempuan ditanggapi sebagai bentuk dominasi, bukan perhatian.Fenomena ini bukan hal baru. Jesse Bernard, sosiolog feminis dalam The Future of Marriage (1972), telah mengungkapkan bahwa pernikahan sering kali menciptakan pengalaman yang sangat berbeda antara suami dan istri. Ia menyebut konsep his marriage dan her marriage, di mana laki-laki cenderung mendapatkan keuntungan psikologis dan sosial lebih besar dari pernikahan karena memiliki istri yang mengelola rumah dan anak-anak, sementara perempuan justru mengalami tekanan lebih besar, baik secara emosional maupun eksistensial.Film Sore seolah memperkuat gagasan tersebut. Perempuan diharapkan terus mengalah, berinisiatif memperbaiki, bahkan “membimbing” pasangan, sementara laki-laki bisa memilih untuk menolak perubahan atau merasa terancam oleh kehadiran istri yang terlalu “mengatur”. Ini adalah gambaran nyata dari kontradiksi dalam relasi heteronormatif di banyak rumah tangga modern.Dengan demikian, Sore: Istri dari Masa Depan bukan hanya film romantis tentang cinta lintas waktu. Ia juga merupakan refleksi kritis tentang posisi perempuan dalam pernikahan dan hubungan—tentang siapa yang lebih dulu harus berubah, siapa yang dituntut lebih banyak berkorban, dan siapa yang harus terus peduli bahkan ketika cintanya diuji berkali-kali. Mungkin pertanyaannya bukan sekadar “kenapa hanya Sore yang peduli?”, tetapi juga “sampai kapan perempuan harus jadi penyelamat dalam kisah cinta mereka sendiri?”  Dr. Dede SyarifDr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani SetiaLulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Ringkasan Teori

Bukan Cuma Manusia: Mengenal Teori Jaringan Aktor (Actor-Network Theory)

Ringkasan Teori Bukan Cuma Manusia: Mengenal Teori Jaringan Aktor (Actor-Network Theory) Cara Baru Melihat Fenomena Sosial Lewat Teknologi, Benda, dan JaringanKetika kita bicara soal penyebab suatu fenomena sosial, apa yang pertama kali terlintas di benakmu? Manusia? Masyarakat? Atau mungkin teknologi?Dalam tradisi klasik sosiologi, ada dua pandangan besar. Émile Durkheim menekankan pentingnya struktur sosial—hal-hal di luar individu yang membentuk cara kita bertindak. Max Weber, sebaliknya, menyoroti tindakan individu dan makna yang kita berikan dalam setiap perilaku.Tapi… bagaimana dengan faktor selain manusia? Apakah benda-benda seperti handphone, laptop, atau bahkan kue ulang tahun bisa ikut “menentukan” peristiwa sosial?Antara Struktur Sosial dan TeknologiDalam upaya menjelaskan peristiwa sosial, sosiologi sempat terjebak dalam dua kutub ekstrem:Determinisme sosial, yang percaya bahwa struktur masyarakatlah yang menentukan segalanya.Determinisme teknologis, yang meyakini bahwa kemajuan teknologi adalah penggerak utama perubahan sosial.Dua pandangan ini sering kali bertentangan. Padahal, dalam kehidupan sehari-hari, kita tahu bahwa manusia dan teknologi saling berinteraksi dan saling memengaruhi.Actor-Network Theory: Jalan Tengah dari Bruno LatourUntuk menjembatani dikotomi ini, Bruno Latour, seorang sosiolog dan filsuf Prancis, memperkenalkan teori Actor-Network Theory (ANT).Teori ini menolak pandangan bahwa hanya manusia atau hanya teknologi yang bisa menjadi penentu. Sebaliknya, ANT memandang bahwa fenomena sosial muncul dari interaksi jaringan antara berbagai elemen—baik manusia maupun non-manusia.Siapa Aktor dalam Teori Ini?Dalam ANT, “aktor” atau lebih tepatnya aktan, bukan cuma manusia. Ia bisa berupa benda, teknologi, hewan, bahkan ide.Contohnya:Seorang pengguna Facebook (manusia)Aplikasi Facebook (teknologi)Smartphone yang digunakan (benda)Jempol virtual untuk “like” (simbol digital)Semuanya dianggap sebagai aktant yang membentuk dan menggerakkan jaringan.Konsep Kunci dalam ANTAda dua istilah penting dalam teori ini:Aktan: Setiap entitas yang punya peran dalam jaringan. Bisa manusia, bisa benda, bisa teknologi.Assemblage: Kumpulan aktan yang membentuk suatu sistem atau objek. Misalnya, “kue ulang tahun” adalah hasil dari gula, tepung, oven, koki, dan acara ulang tahun itu sendiri.Teori ini menekankan bahwa semua aktan punya agensi—kemampuan untuk memengaruhi atau “bertindak” dalam sistem jaringan.Contoh 1: FacebookMari kita lihat Facebook. Aktivitas sosial di platform ini tak bisa dijelaskan hanya lewat interaksi manusia. Ada smartphone, aplikasi, fitur algoritma, dan sinyal internet yang semuanya ikut membentuk pengalaman pengguna.Dalam ANT, semua elemen ini punya kedudukan yang setara sebagai penyusun realitas sosial digital.Contoh 2: Kue Ulang TahunKue ulang tahun bukan sekadar makanan. Ia adalah hasil kerja kolektif:Bahan-bahan: telur, gula, tepungAlat: mixer, ovenOrang: tukang roti, pembeliSituasi: pesta, kafe, malam kejutanKue itu sendiri lalu menjadi aktant yang menyampaikan makna—sebagai simbol perayaan, perhatian, atau memori.Apa Maknanya bagi Sosiolog?Teori jaringan aktor mengajak kita untuk melihat realitas sosial secara lebih kompleks dan terbuka. Sosiolog tidak lagi cukup hanya mempelajari manusia, tapi juga harus memperhitungkan benda, teknologi, dan hubungan-hubungan yang terjalin di antara semuanya.Dengan begitu, kita bisa memahami bahwa dunia sosial bukan hanya dibentuk oleh orang-orang, tapi juga oleh benda dan sistem yang menyertainya.Sumber:Latour, B. (2005). Reassembling the Social: An Introduction to Actor-Network-Theory. Oxford: Oxford University Press. Dr. Dede SyarifDr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani SetiaLulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Ringkasan Teori

Pendidikan dalam Cengkeraman Kuasa: Menyingkap Realitas di Balik Sekolah

Ringkasan Teori Pendidikan dalam Cengkeraman Kuasa: Menyingkap Realitas di Balik Sekolah Pendidikan Tidak Pernah NetralBanyak dari kita tumbuh dengan keyakinan bahwa pendidikan adalah jalan utama menuju mobilitas sosial. Semakin tinggi sekolah, semakin besar pula peluang untuk “naik kelas” dalam masyarakat. Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu. Meskipun seseorang telah menempuh pendidikan setinggi mungkin, banyak yang tetap berada dalam posisi stagnan—sekadar menjadi pekerja dalam sistem yang tak mereka kuasai.Kenapa bisa begitu? Sejumlah sosiolog menjelaskan bahwa pendidikan bukanlah ruang yang netral. Sebaliknya, ia kerap menjadi alat reproduksi nilai-nilai kelas penguasa. Dalam sistem seperti ini, seberapa pun kerasnya usaha seseorang untuk “naik kelas”, tetap saja ia berjalan di lintasan yang sudah dirancang—oleh dan untuk kepentingan mereka yang berkuasa.Pendidikan dalam Kacamata MarxisTeori Marxis memberikan analisis tajam terhadap fungsi pendidikan. Bagi kaum Marxis, pendidikan bukan hanya sekadar sarana penyampaian ilmu, melainkan alat ideologis untuk mempertahankan dominasi kelas kapitalis terhadap kaum pekerja. Melalui sistem pendidikan, struktur kelas yang ada direproduksi terus-menerus.Dengan cara ini, pendidikan berfungsi menjaga status quo. Kaum proletar dididik bukan untuk membebaskan diri, melainkan agar tetap tunduk dan patuh terhadap sistem yang sudah ada. Lembaga pendidikan—dari sekolah dasar hingga universitas—berperan menanamkan ideologi dominan yang membuat ketimpangan sosial terasa “wajar” dan “alami”.Konsep Aparatus Negara Ideologis ala AlthusserPemikiran Louis Althusser, seorang filsuf Marxis dari Prancis, semakin memperdalam pemahaman ini. Ia memperkenalkan konsep Ideological State Apparatus (ISA) atau Aparatus Negara Ideologis. Dalam pandangannya, pendidikan adalah salah satu ISA yang paling efektif.Sekolah tidak hanya berperan menyampaikan pengetahuan, tapi juga membentuk kesadaran siswa agar sesuai dengan kepentingan kelas penguasa. Melalui kurikulum, tata tertib, hingga pola relasi antara guru dan murid, siswa belajar untuk taat, patuh, dan menerima posisi sosial mereka. Kesadaran kritis ditekan, sementara nilai-nilai dominan ditanamkan sedari dini.Hegemoni Budaya dan Reproduksi NilaiPemikiran Antonio Gramsci tentang hegemoni budaya melengkapi kritik terhadap pendidikan. Gramsci menjelaskan bagaimana dominasi kelas penguasa tidak hanya dilakukan melalui kekuasaan ekonomi atau militer, tetapi juga lewat pengaruh budaya dan ideologi.Salah satu arena utama hegemoni ini adalah pendidikan. Kurikulum yang digunakan di sekolah sering kali mencerminkan nilai-nilai, norma, dan perspektif kelas dominan. Yang dianggap “benar”, “baik”, atau “normal” dalam masyarakat—semuanya dirancang agar sejalan dengan kepentingan penguasa.Pendidikan, dalam hal ini, menjadi instrumen reproduksi budaya. Siswa belajar membentuk identitas mereka sesuai dengan kerangka berpikir hegemonik. Mereka yang menyimpang dianggap “tidak disiplin”, “tidak pintar”, atau “gagal”, padahal bisa jadi mereka sedang menolak sistem yang menindas.PenutupPendidikan seharusnya membebaskan, bukan membelenggu. Namun selama sistem pendidikan masih berada di bawah kendali ideologi dominan, maka sekolah hanyalah pabrik kesadaran yang mencetak individu sesuai cetakan kekuasaan. Untuk membayangkan pendidikan yang membebaskan, kita perlu memulainya dari kesadaran akan fungsi ideologisnya. Kesadaran itu menjadi langkah awal menuju transformasi. Dr. Dede SyarifDr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani SetiaLulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Scroll to Top