Ringkasan Teori

Ringkasan Teori

Memahami Teori yang Abstrak: Menjelajahi Inti dari Ilmu Sosiologi

Ringkasan Teori Memahami Teori yang Abstrak: Menjelajahi Inti dari Ilmu Sosiologi Teori Sosiologi sebagai Inti Disiplin Ilmu Teori sosiologi merupakan inti dari ilmu sosiologi. Ia tidak hanya menjadi dasar berpikir bagi para peneliti dalam merancang studi mereka, tetapi juga menjadi panduan bagi para praktisi dalam merumuskan strategi intervensi sosial. Lebih jauh lagi, teori memberikan kita cara pandang atau lensa untuk memahami realitas sosial dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memahami teori, kita dapat melihat masyarakat bukan sekadar sebagai kumpulan individu, melainkan sebagai struktur yang kompleks dan dinamis. Teori Sebagai Teropong: Memperbesar dan Memperjelas Realitas Sosial Teori ibarat teropong. Ia membantu memperbesar, memperjelas, dan memperluas cara pandang kita terhadap fenomena sosial. Sebagaimana teropong memiliki berbagai jenis lensa—misalnya lensa 20×80 atau 8×40—teori pun memiliki berbagai perspektif yang cocok digunakan sesuai objek kajian. Misalnya, beberapa fenomena sosial lebih tepat dianalisis dengan lensa Teori Konflik, sementara yang lain dapat dipahami lebih baik dengan lensa Struktural Fungsional atau Interaksionisme Simbolik. Pemilihan teori sangat bergantung pada skala dan jenis fenomena yang diamati. Cakupan Teori: Antara Makro dan Mikro Teori dalam sosiologi dapat dikategorikan berdasarkan tingkat analisisnya. Teori makro digunakan untuk memahami masyarakat secara luas, seperti negara atau struktur global. Contoh teori makro antara lain Teori Konflik dan Teori Fungsional Struktural. Sebaliknya, untuk memahami tindakan individu atau kelompok kecil, digunakan teori mikro seperti Interaksionisme Simbolik. Dengan kata lain, teori membantu kita mengarahkan fokus—apakah pada gambaran besar masyarakat, atau pada interaksi sehari-hari di antara individu. Teori Konflik: Masyarakat dalam Ketegangan Sumber Daya Teori Konflik merupakan teori makro yang berfokus pada ketegangan sosial yang timbul akibat perebutan sumber daya yang terbatas. Teori ini berakar pada pemikiran Karl Marx dan dikembangkan lebih lanjut oleh Max Weber. Teori Konflik sangat relevan untuk memahami isu-isu besar seperti perang, kesenjangan antara kaya dan miskin, pertikaian politik, eksploitasi tenaga kerja, diskriminasi, dan kekerasan. Menurut teori ini, masyarakat tidak pernah dalam keadaan netral, melainkan selalu berada dalam kompetisi yang intens antara kelompok yang memiliki kekuasaan dan yang tidak. Kekuasaan dan Otoritas dalam Perspektif Teori Konflik Salah satu gagasan utama dalam Teori Konflik adalah bahwa kekuasaan menentukan siapa yang mendapatkan akses terhadap sumber daya. Mereka yang memiliki kekuasaan cenderung mempertahankan dominasinya. Ketika kekuasaan tersebut dilembagakan, maka ia berubah menjadi otoritas. Otoritas adalah bentuk kekuasaan yang telah diterima dan dilegitimasi oleh masyarakat. Dengan memahami struktur kekuasaan ini, kita dapat menganalisis dinamika dominasi dalam berbagai institusi sosial. Teori Fungsional Struktural: Masyarakat sebagai Sistem yang Saling Terkait Berbeda dengan Teori Konflik, Teori Fungsional Struktural melihat masyarakat sebagai sistem yang berada dalam keseimbangan. Teori ini berangkat dari pemikiran Emile Durkheim yang memandang masyarakat seperti tubuh manusia: terdiri dari bagian-bagian yang saling bekerja sama untuk menciptakan stabilitas dan keteraturan. Setiap institusi sosial memiliki fungsi tertentu, dan semua fungsi tersebut berkontribusi pada kelangsungan hidup masyarakat secara keseluruhan. Interaksionisme Simbolik: Memahami Masyarakat dari Makna Simbolik Interaksionisme Simbolik adalah teori mikro yang berfokus pada interaksi antarindividu. Teori ini berasumsi bahwa masyarakat terbentuk melalui interaksi yang berlangsung secara terus-menerus di antara individu-individu yang berbagi simbol dan makna. Dalam teori ini, simbol memiliki peran penting dalam membentuk persepsi dan tindakan sosial. Interaksionisme Simbolik sangat bermanfaat untuk memahami dinamika komunikasi, membangun relasi yang efektif, dan menjembatani pemahaman lintas budaya. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Ringkasan Teori

Melihat Perang Iran vs Israel dari Perspektif Sosiologi

Ringkasan Teori Melihat Perang Iran vs Israel dari Perspektif Sosiologi Perang antara Iran dan Israel bukan sekadar konflik geopolitik, melainkan juga fenomena sosial yang dapat dianalisis melalui berbagai perspektif sosiologi. Dengan memahami bagaimana sosiologi memandang perang, kita dapat melihat konflik ini tidak hanya sebagai kehancuran semata, tetapi juga sebagai bagian dari dinamika sosial yang lebih luas. 1. Fungsionalisme: Perang sebagai Instrumen Sosial Dari sudut pandang fungsionalisme, perang memiliki fungsi sosial tersendiri. Fungsionalisme memandang setiap perilaku dan lembaga dalam masyarakat—termasuk perang—sebagai sesuatu yang dapat memberikan kontribusi terhadap keteraturan sosial. Robert E. Park dalam tulisannya “Fungsi Sosial Perang” (1941) menjelaskan bahwa meskipun perang menyebabkan penderitaan, ia juga memiliki kegunaan tersembunyi bagi masyarakat. Pertama, perang dapat menyelesaikan konflik besar antarnegara, seperti perselisihan batas wilayah atau perbedaan ideologi. Pemenang perang umumnya membawa hasil akhir terhadap konflik tersebut. Kedua, perang meningkatkan solidaritas sosial. Di tengah ancaman eksternal, masyarakat menjadi lebih kompak, bersatu dalam semangat patriotisme dan nasionalisme untuk menghadapi musuh bersama. Rasa identitas kolektif ini seringkali lebih kuat daripada masa-masa damai. Ketiga, pengembangan senjata dan strategi perang sering kali mendorong inovasi teknologi. Internet, misalnya, awalnya dikembangkan dari riset pertahanan. Dengan kata lain, perang bisa menjadi katalis bagi kemajuan ilmiah. 2. Perspektif Konflik: Perang sebagai Perebutan Kekuasaan Berbeda dengan fungsionalisme, perspektif konflik melihat perang sebagai konsekuensi dari ketimpangan distribusi kekuasaan dan sumber daya. Menurut teori ini, konflik seperti perang Iran-Israel muncul karena adanya perebutan pengaruh, kekayaan, atau kendali atas kawasan strategis. Perang juga dipahami sebagai alat untuk mempertahankan atau memperbesar kekuasaan kelompok elit tertentu. Negara-negara sering kali mengalokasikan anggaran besar untuk militer karena adanya kolaborasi antara politisi, produsen senjata, dan pemimpin pertahanan. Ini menciptakan jejaring kepentingan yang saling menguntungkan, bahkan di tengah penderitaan rakyat. Contohnya bisa dilihat dalam konteks Ukraina pascaperang. Ketika negara tersebut membangun kembali, negara-negara Barat memperoleh keuntungan melalui proyek pembangunan dan ekspansi ekonomi. Perang, dalam kacamata ini, adalah medan kompetisi kapitalisme global. 3. Interaksionisme Simbolik: Makna Simbolik Perang Sementara itu, perspektif interaksionis simbolik menyoroti bagaimana simbol dan makna sosial dibentuk selama perang. Simbol seperti bendera, lagu kebangsaan, atau slogan digunakan untuk menguatkan rasa patriotisme dan solidaritas. Dalam konteks perang Iran-Israel, para pemimpin sering kali menggunakan simbol-simbol nasionalis untuk membentuk opini publik dan menumbuhkan semangat juang. Masyarakat didorong untuk memaknai konflik bukan sekadar benturan kekuatan, melainkan sebagai perjuangan suci atau pertahanan harga diri bangsa. Dengan demikian, makna perang dibentuk melalui komunikasi simbolik yang berulang dan intens. Penutup: Sosiologi Membantu Kita Memahami Dimensi Sosial Perang Perang bukan hanya soal senjata dan strategi, tetapi juga soal bagaimana masyarakat memaknainya, meresponsnya, dan membentuk solidaritas atau konflik karenanya. Melalui lensa fungsionalisme, konflik, dan interaksionisme simbolik, sosiologi memberikan wawasan yang lebih dalam tentang realitas perang Iran dan Israel. Kita diajak untuk tidak hanya melihat akibatnya, tetapi juga memahami sebab-sebab dan makna sosial yang menyertainya. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Ringkasan Teori

Ashabiyah dan Solidaritas Sosial: Dialog Tak Terduga antara Ibnu Khaldun dan Emile Durkheim

Ringkasan Teori Ashabiyah dan Solidaritas Sosial: Dialog Tak Terduga antara Ibnu Khaldun dan Emile Durkheim Apakah teori solidaritas sosial milik Emile Durkheim merupakan hasil pembaruan dari teori Ashabiyah Ibnu Khaldun? Meskipun kedua tokoh ini hidup dalam rentang waktu 500 tahun yang berbeda dan berasal dari tradisi intelektual yang berbeda pula, benang merah antara pemikiran mereka tampak begitu kuat. Artikel ini akan membandingkan dua gagasan besar itu untuk meninjau apakah keduanya memang berjalan seiring dalam menjelaskan struktur sosial. Ashabiyah vs Solidaritas: Gagasan Dasar yang Sejajar Ibnu Khaldun, dalam karya monumentalnya Muqaddimah, memperkenalkan konsep Ashabiyah—sebuah bentuk solidaritas sosial yang menjadi fondasi muncul dan runtuhnya peradaban. Sementara itu, Emile Durkheim dalam The Division of Labour in Society membedakan antara solidaritas mekanis dan solidaritas organik. Menariknya, Ashabiyah Khaldun sangat mirip dengan kesadaran kolektif (collective consciousness) yang menjadi inti solidaritas mekanis Durkheim (Durkheim, 1984). Analogi Biologis: Masyarakat sebagai Organisme Kedua tokoh ini menggunakan analogi biologis untuk memahami perubahan sosial. Durkheim melihat masyarakat sebagai organisme sosial yang berkembang dari bentuk sederhana menuju struktur kompleks. Ini sangat serupa dengan cara Khaldun mengamati transformasi masyarakat badui menuju masyarakat kota. Dalam Muqaddimah, Khaldun menulis bahwa “manusia tidak dapat hidup dan eksis kecuali melalui organisasi dan kerja sama sosial”—sebuah pernyataan yang selaras dengan prinsip dasar solidaritas Durkheim. Pembagian Kerja dan Evolusi Sosial Durkheim menekankan pentingnya division of labour sebagai transisi dari solidaritas mekanis ke solidaritas organik. Sementara itu, Ibnu Khaldun juga membahas pembagian kerja dalam masyarakat kota sebagai hasil perubahan gaya hidup. Kedua pemikir ini sepakat bahwa semakin kompleks masyarakat, semakin beragam pula peran sosial yang muncul untuk menjaga keseimbangan dan keberlanjutan struktur sosial. Agama sebagai Perekat Sosial Kesamaan lain yang mengejutkan adalah dalam hal agama sebagai kontrol sosial. Durkheim menganggap agama sebagai fakta sosial yang memperkuat solidaritas. Namun jauh sebelumnya, Ibnu Khaldun telah menyatakan hal yang serupa. Ia melihat agama bukan hanya sebagai sistem kepercayaan, tetapi sebagai alat untuk memperkuat kohesi sosial dan ketertiban dalam masyarakat. Dari Inspirasi ke Pertanyaan Historis Dengan berbagai kesamaan ini, muncul pertanyaan kritis: Apakah Durkheim mungkin terinspirasi oleh teori Ibnu Khaldun? Meskipun bukti historis langsung sulit ditemukan, gagasan bahwa pemikiran Khaldun mendahului Durkheim selama lima abad dan menampilkan struktur argumentasi yang nyaris identik membuka peluang pembacaan lintas sejarah yang menarik. Kesimpulan: Dialog Imajiner antara Timur dan Barat Ibnu Khaldun dan Emile Durkheim mungkin tidak pernah bertemu, bahkan secara literatur. Namun, melalui teks dan teori, mereka seperti berdialog lintas waktu dan budaya tentang hal yang paling mendasar dalam sosiologi: bagaimana masyarakat bisa bertahan dan berkembang. Di tengah globalisasi ilmu sosial, perbandingan ini penting untuk merehabilitasi posisi pemikir Muslim klasik dalam sejarah ilmu pengetahuan dunia. Referensi Durkheim, Emile. The Division of Labour in Society. Trans. W. D. Halls. New York: Free Press, 1997. Khaldun, Ibnu. Muqaddimah: An Introduction to History. Trans. Franz Rosenthal. Princeton: Princeton University Press, 1958. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di University of Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder di Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Ringkasan Teori

Alasan Sosiologis Kenapa Harus Menolak Tambang di Raja Ampat

Ringkasan Teori Alasan Sosiologis Kenapa Harus Menolak Tambang di Raja Ampat Mengapa Harus Menolak Tambang di Raja Ampat? Penolakan terhadap tambang di Raja Ampat bukan hanya gerakan emosional untuk menyelamatkan alam, melainkan bagian dari kesadaran kolektif atas ancaman struktural terhadap masa depan sosial dan ekologis kawasan tersebut. Raja Ampat bukan sekadar lanskap eksotis; ia adalah wilayah hidup dengan nilai ekologis, kultural, dan spiritual yang luar biasa. Saat wilayah seperti ini dikomodifikasi demi memenuhi logika industri global, maka yang terancam bukan hanya ekosistem, tapi juga kedaulatan masyarakat adat dan arah pembangunan bangsa. Di sinilah peran sosiologi menjadi penting, untuk membongkar relasi kuasa yang tersembunyi di balik narasi pembangunan dan transisi energi hijau. Apa yang Terjadi di Raja Ampat? Dalam beberapa tahun terakhir, Raja Ampat menghadapi tekanan yang luar biasa akibat rencana eksploitasi nikel, yang merupakan komoditas strategis dalam produksi baterai kendaraan listrik. Narasi pemerintah menyambut peluang ini sebagai langkah maju menuju industrialisasi hijau yang digadang-gadang mampu mengangkat ekonomi nasional dan memperkuat posisi Indonesia dalam pasar global. Namun, pendekatan yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi ini sering mengabaikan kenyataan sosial dan ekologis di lapangan. Raja Ampat, dengan keanekaragaman hayati lautnya yang mendunia, justru rentan rusak jika didekati dengan logika ekstraktif. Alih-alih menjadi pahlawan lingkungan global, Indonesia justru berisiko menjadi korban baru dari kapitalisme hijau global. Dampak Sosial-Ekologis dan Kutukan Sumber Daya Penambangan di kawasan seperti Raja Ampat merepresentasikan apa yang disebut Immanuel Wallerstein dalam World System Theory sebagai bentuk ketimpangan struktural antara negara inti dan negara pinggiran. Negara-negara seperti Indonesia terus-menerus ditempatkan pada posisi sebagai penyedia bahan mentah, bukan sebagai pelaku utama dalam rantai nilai global. Akibatnya, meski kaya sumber daya, negara seperti Indonesia justru terjebak dalam kondisi ketergantungan ekonomi. Ini menciptakan kutukan sumber daya, yakni kondisi di mana kekayaan alam justru menjadi sumber konflik, kerusakan lingkungan, dan ketimpangan sosial karena salah kelola dan dominasi aktor luar. Dalam konteks Raja Ampat, ancaman ini makin nyata: kawasan yang seharusnya dilindungi justru diobral demi investasi jangka pendek. Fenomena Ekonomi Enklave: Ketika Daerah Kaya Tak Berkembang Dampak negatif tambang makin nyata ketika pengelolaan sumber daya dikuasai oleh perusahaan besar, baik asing maupun nasional, yang bekerja dalam sistem tertutup dan tidak terhubung dengan ekonomi lokal. Dalam sosiologi pembangunan, ini disebut sebagai ekonomi enklave—suatu sistem di mana aktivitas ekonomi terjadi di dalam ‘gelembung’ yang terpisah dari masyarakat sekitarnya. Perusahaan tambang membawa teknologi, tenaga kerja ahli, dan logistik dari luar, lalu membawa pulang keuntungannya ke pusat modal. Sementara itu, masyarakat sekitar hanya menerima dampak buruk: kerusakan lingkungan, konflik lahan, dan hilangnya mata pencaharian. Tidak ada transfer teknologi, tidak ada penguatan kapasitas lokal, dan nyaris tak ada peningkatan kesejahteraan yang berkelanjutan. Menolak Tambang, Menyelamatkan Masa Depan Sosial dan Ekologis Gerakan “Save Raja Ampat” tidak boleh dipandang sebagai gerakan anti-pembangunan. Sebaliknya, ia adalah seruan untuk menata ulang arah pembangunan agar lebih adil, berkelanjutan, dan berpihak pada komunitas lokal. Penolakan terhadap tambang adalah upaya untuk membela hak hidup masyarakat adat, melindungi warisan ekologis dunia, dan menolak model pembangunan yang eksploitatif. Dalam konteks global, penolakan ini juga merupakan kritik terhadap bentuk baru kolonialisme ekonomi yang membungkus dirinya dalam narasi transisi energi dan pembangunan berkelanjutan. Seperti diungkap Eve Warburton (2024), industrialisasi mineral kritis di Indonesia menciptakan nationalist enclaves—ruang-ruang eksklusif yang tampak nasionalis tetapi dikendalikan oleh logika kapital global. Karena itu, menyelamatkan Raja Ampat berarti menyelamatkan arah masa depan Indonesia yang berdaulat secara ekologis dan sosial. Referensi Warburton, Eve. (2024). Nationalist Enclaves: Industrialising the Critical Mineral Boom in Indonesia. The Extractive Industries and Society, 20. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah seorang akademisi dan sosiolog dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang menempuh pendidikan sosiologi di Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia dikenal aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi melalui berbagai kegiatan akademik, termasuk mengikuti short course di Jerman dan Australia. Selain itu, Dr. Dede merupakan pendiri komunitas kajian Perspektif Sosiologi yang berfokus pada analisis isu-isu sosial kontemporer. Ia juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Program Studi Sosiologi di tingkat S1 dan kini menjabat Ketua Prodi Magister Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Bandung. Address-card Instagram Share yuk artikel ini… Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Ringkasan Teori

Hidup adalah Persaingan, Konflik, dan Intrik

Ringkasan Teori Hidup adalah Persaingan, Konflik, dan Intrik Tanpa kita sadari, hidup yang kita jalani setiap hari sebenarnya penuh dengan persaingan. Jika kita melihat lebih dalam menggunakan perspektif sosiologi, realitas ini menjadi sangat jelas. Saat masih duduk di bangku kuliah, kita bersaing dengan teman sendiri untuk mendapatkan predikat mahasiswa berprestasi. Kita juga mungkin bersaing untuk mendapatkan perhatian orang yang kita sukai. Setelah lulus, kita bersaing kembali dengan teman satu jurusan untuk mendapatkan pekerjaan terbaik. Inilah yang ditegaskan oleh dua sosiolog besar dunia: Karl Marx dan Max Weber. Keduanya sepakat bahwa konflik merupakan bagian mendasar dari kehidupan sosial manusia. Karl Marx: Konflik Kelas dan Revolusi Karl Marx memandang bahwa konflik sosial terutama bersumber dari pertentangan antara kelas-kelas sosial dalam masyarakat, khususnya antara kaum borjuis (pemilik modal dan alat produksi) dan kaum proletar (kelas pekerja). Dalam analisis Marx, kaum borjuis mengeksploitasi proletar dengan cara mengambil “nilai lebih” dari hasil kerja mereka. Ketimpangan ini menciptakan ketegangan dan konflik kelas yang sistemik. Marx juga menekankan bahwa struktur ekonomi (base structure) merupakan fondasi yang menentukan aspek-aspek lain dalam kehidupan masyarakat seperti budaya, agama, pendidikan, dan hukum (superstructure). Ketika ketimpangan ini mencapai puncaknya, Marx percaya bahwa proletar akan melakukan revolusi sosial demi menciptakan masyarakat tanpa kelas—komunisme. Max Weber: Konflik Multidimensi Berbeda dengan Marx, Max Weber mengembangkan pandangan bahwa konflik sosial tidak hanya bersumber dari ekonomi. Menurut Weber, sumber konflik bisa berasal dari berbagai dimensi sosial lain seperti status, kekuasaan, dan prestise. Misalnya, perbedaan akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, atau hak-hak politik bisa menimbulkan konflik yang sama seriusnya seperti konflik ekonomi. Dalam pandangan Weber, penting juga memperhatikan aspek legitimasi—yakni sejauh mana kekuasaan dan otoritas diterima oleh masyarakat—karena hal ini menentukan struktur dan dinamika konflik sosial. Oleh karena itu, Weber melihat konflik sebagai fenomena yang lebih kompleks dan multidimensi dibanding pandangan Marx yang lebih fokus pada ekonomi. Refleksi: Konflik dalam Kehidupan Sehari-hari Jika direnungkan lebih dalam, konflik dan persaingan seperti yang dibahas oleh Marx dan Weber juga hadir dalam kehidupan kita. Apakah kita sedang mengalami persaingan untuk mendapatkan pekerjaan, mengejar prestise, atau bahkan memperebutkan posisi kekuasaan di lingkungan sosial kita? Atau mungkin kita merasakan semuanya sekaligus? Perspektif sosiologi membantu kita memahami bahwa dinamika ini bukan sekadar masalah pribadi, tetapi merupakan bagian dari struktur sosial yang lebih luas. Sumber: Ruth A. Wallace and Alison Wolf (2009). Contemporary Sociological Theory: Expanding the Classical Tradition. USA: Prentice Hall PTR. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah seorang akademisi dan sosiolog dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang menempuh pendidikan sosiologi di Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia dikenal aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi melalui berbagai kegiatan akademik, termasuk mengikuti short course di Jerman dan Australia. Selain itu, Dr. Dede merupakan pendiri komunitas kajian Perspektif Sosiologi yang berfokus pada analisis isu-isu sosial kontemporer. Ia juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Program Studi Sosiologi di tingkat S1, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Bandung Address-card Instagram Share yuk artikel ini… Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Ringkasan Teori

Apakah Marxisme Masih Relevan Saat Ini?

Apakah Marxisme Masih Relevan Saat Ini? Inilah Beberapa Kritik terhadap Pemikiran Karl Marx Karl Marx adalah salah satu pemikir paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran sosial dan politik. Namun, seiring perkembangan zaman, banyak kritik dilontarkan terhadap ide-ide Marx, terutama soal relevansinya di era modern. Berikut ini beberapa kritik utama terhadap pemikiran Marx: 1. Revolusi Tak Kunjung Terjadi Marx memprediksi bahwa kapitalisme akan runtuh karena semakin kuatnya eksploitasi terhadap kelas pekerja (proletar). Ia membayangkan revolusi besar-besaran yang akan menggantikan kapitalisme dengan sosialisme, dan kemudian komunisme. Namun, kenyataannya justru berbeda. Di negara-negara industri kapitalis, revolusi proletariat tak kunjung terjadi. Sebaliknya, banyak buruh kini memperjuangkan perbaikan kondisi kerja melalui serikat dan kebijakan sosial, bukan revolusi. Uni Soviet, yang pernah menjadi simbol komunisme, pun akhirnya runtuh. Prediksi Marx tentang keruntuhan kapitalisme dan bangkitnya komunisme terbukti meleset. 2. Determinisme Ekonomi yang Reduktif Salah satu kritik utama terhadap Marx adalah reduksionisme ekonomi—keyakinan bahwa semua aspek kehidupan sosial, budaya, dan ideologi hanyalah produk dari kekuatan ekonomi. Pandangan ini dianggap terlalu menyederhanakan realitas. Dalam masyarakat modern, struktur kelas jauh lebih kompleks dari hanya sekadar “borjuis” dan “proletar”. Ada kelas menengah, elite profesional, pemilik modal non-industri, dan kelompok marjinal yang tidak bisa sepenuhnya dijelaskan oleh kerangka ekonomi deterministik Marx. 3. Komunisme Tidak Berhasil Marx percaya bahwa sejarah manusia akan bergerak linier: dari feodalisme → kapitalisme → komunisme. Tapi, setelah kapitalisme runtuh dan komunisme berdiri, tidak ada penjelasan tentang proses perubahan lanjutan. Dalam praktik, negara-negara komunis justru stagnan atau mengalami transisi kembali ke kapitalisme. Runtuhnya Uni Soviet, transformasi ekonomi Tiongkok, dan pembubaran rezim komunis di Eropa Timur menjadi bukti bahwa komunisme bukanlah akhir sejarah sebagaimana diyakini Marx. 4. Keniscayaan Historis yang Dipertanyakan Marx menyatakan bahwa keruntuhan kapitalisme dan kemenangan komunisme adalah keniscayaan historis. Seolah-olah sejarah digerakkan oleh hukum sosial yang tak dapat ditawar. Namun kontradiksi muncul ketika Marx juga menyerukan, “Kaum pekerja dari semua negara, bersatulah!” Jika revolusi sudah pasti terjadi, mengapa masih perlu ajakan aktif? Di sinilah kritik terhadap fatalisme historis Marx menjadi relevan: antara determinisme dan ajakan politis terdapat inkonsistensi logis. 5. Kemunafikan Personal Marx Marx dikenal dengan kutipan terkenalnya: “Penghapusan agama sebagai kebahagiaan semu masyarakat adalah tuntutan bagi kebahagiaan sejati mereka” (Marx, 1844). Namun, ironisnya, Marx sendiri diperlakukan seperti tokoh mesianis oleh para pengikutnya, seolah menjadi juru selamat bagi kaum proletar. Ia menolak agama sebagai candu masyarakat, tetapi justru mengisi peran “mesias sekuler” dalam gerakan revolusioner yang ia bangun. Penutup: Relevansi atau Romantisme? Marxisme tetap penting sebagai alat analisis ketimpangan dan kritik terhadap sistem kapitalisme, tetapi sebagai ideologi historis yang menjanjikan revolusi dan komunisme global, banyak klaim Marx yang kini dianggap tidak terbukti atau bahkan gagal menjelaskan realitas kontemporer. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah seorang akademisi dan sosiolog dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang menempuh pendidikan sosiologi di Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia dikenal aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi melalui berbagai kegiatan akademik, termasuk mengikuti short course di Jerman dan Australia. Selain itu, Dr. Dede merupakan pendiri komunitas kajian Perspektif Sosiologi yang berfokus pada analisis isu-isu sosial kontemporer. Ia juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Program Studi Sosiologi di tingkat S1, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Bandung Address-card Instagram Share yuk artikel ini… Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Ringkasan Teori

Evolusi Cara Sosiologi Menjelaskan Tindakan Manusia

Dalam sejarah pemikiran sosiologi, cara para sosiolog memahami dan menjelaskan tindakan manusia telah mengalami evolusi yang signifikan. Pada tahap awal, pemikiran sosiologi sangat dipengaruhi oleh pendekatan struktural yang melihat bahwa perilaku individu sepenuhnya ditentukan oleh struktur sosial yang mengelilinginya. Karl Marx adalah salah satu pelopor pendekatan ini. Ia menyatakan bahwa ideologi, politik, agama, dan bahkan budaya manusia sangat ditentukan oleh struktur ekonomi masyarakat atau yang disebutnya sebagai base structure, yaitu cara produksi (mode of production). Dalam masyarakat kapitalis, misalnya, maka cara berpikir dan bertindak pun menjadi kapitalistik. Cara pandang ini dikenal dengan istilah economic determinism—yakni pandangan bahwa ekonomi adalah penentu utama bentuk dan arah kehidupan sosial. Sejalan dengan Marx, Emile Durkheim juga menganggap bahwa tindakan manusia bukan murni berasal dari individu, melainkan ditentukan oleh apa yang disebutnya sebagai social fact (fakta sosial). Bagi Durkheim, faktor eksternal seperti norma sosial, budaya, dan struktur masyarakat memiliki kekuatan untuk memaksa individu bertindak dengan cara tertentu. Contohnya adalah fenomena bunuh diri (suicide), yang oleh Durkheim tidak dipandang sebagai keputusan pribadi, melainkan sebagai gejala sosial akibat krisis kolektif yang melanda masyarakat. Pendekatan seperti Marx dan Durkheim ini kemudian dikenal sebagai sosiologi positivistik. Ciri khas pendekatan ini adalah upayanya untuk menjelaskan perilaku manusia dengan hukum-hukum sosial yang obyektif, mirip seperti ilmu-ilmu alam menjelaskan gejala fisik. Namun, pendekatan ini tidak lepas dari kritik. Max Weber, misalnya, menolak gagasan bahwa perilaku manusia semata-mata ditentukan oleh faktor eksternal. Menurut Weber, karena manusia adalah makhluk yang hidup dan sadar, maka tindakan sosial mereka harus dipahami melalui verstehen, yakni penafsiran subjektif yang dilakukan oleh individu atas realitas sosial yang mereka hadapi. Dalam karyanya yang terkenal The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Weber menjelaskan bahwa etos kerja dalam masyarakat Protestan bukan hasil langsung dari ajaran agama tersebut, melainkan dari cara individu menafsirkan doktrin keagamaan itu dan mewujudkannya dalam tindakan nyata. Dari sinilah lahir pendekatan baru yang disebut sosiologi interpretatif. Perkembangan ini membawa sosiologi pada perdebatan antara dua pendekatan besar: struktur versus tindakan aktor, atau positivistik versus interpretatif. Perdebatan ini menciptakan semacam dualisme dalam dunia sosiologi. Namun, tokoh seperti Anthony Giddens dan Pierre Bourdieu menolak dikotomi tersebut. Mereka menawarkan jalan tengah dengan konsep duality, bukan dualism. Giddens memperkenalkan Teori Strukturasi (structuration theory) yang menyatukan peran struktur dan tindakan aktor dalam membentuk realitas sosial. Sementara itu, Bourdieu mengembangkan Teori Praksis Sosial, yang menjelaskan bagaimana struktur sosial dan kebiasaan individual (habitus) saling membentuk secara dinamis. Dengan demikian, evolusi pemikiran dalam sosiologi menunjukkan bahwa penjelasan atas tindakan manusia tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi saja. Baik struktur maupun interpretasi individu memiliki peran penting dalam membentuk tindakan sosial. Pendekatan yang integratif ini menjadi landasan penting dalam memahami kompleksitas masyarakat kontemporer.

Ringkasan Teori

Apakah Sosiologi Itu Ilmu atau Sekadar Common Sense?

Bayangkan sebuah percakapan imajiner antara para pemikir besar yang masing-masing memperdebatkan status keilmuan sosiologi. Thomas Kuhn, sang filsuf ilmu pengetahuan, membuka dialog dengan pertanyaan tajam: “Apakah sosiologi itu sebuah ilmu atau hanya kumpulan common sense belaka? Bukankah sebuah pengetahuan baru bisa disebut ilmu jika ia memiliki paradigma khas yang membedakannya dari ilmu lain?” Pertanyaan ini segera dijawab oleh Auguste Comte, Bapak Sosiologi, yang menyatakan dengan tegas bahwa sosiologi adalah ilmu. Menurutnya, keilmiahan sosiologi terletak pada kemampuannya meniru metode ilmu alam dalam memahami hukum-hukum yang mengatur masyarakat. Emile Durkheim menambahkan, bahwa sosiologi memang ilmiah karena mempelajari fakta sosial (social fact), yaitu cara berpikir, merasa, dan bertindak yang berada di luar individu namun memengaruhi individu secara kuat. Namun, pandangan ini tidak diterima begitu saja. Max Weber mengangkat tangannya, mengingatkan bahwa memperlakukan manusia seperti objek dalam ilmu alam adalah sebuah kekeliruan. Baginya, masyarakat adalah entitas yang hidup, sadar, dan penuh makna. Oleh karena itu, sosiologi tidak cukup hanya mengamati fakta sosial, tetapi harus memahami makna tindakan individu melalui pendekatan verstehen—pemahaman empatik terhadap tindakan sosial. Mendengar perbedaan pandangan ini, Thomas Kuhn mengernyit. Ia merasa bahwa jika sosiologi tidak memiliki paradigma tunggal dan justru dipenuhi keragaman pendekatan, maka jangan-jangan sosiologi bukanlah ilmu sejati, melainkan kumpulan pemikiran sehari-hari yang belum matang secara paradigmatik. Namun, George Ritzer segera menanggapi. Ia menegaskan bahwa keunikan sosiologi justru terletak pada keberadaannya sebagai ilmu multiparadigma. Tidak seperti ilmu alam yang lebih monolitik, sosiologi mengakomodasi keragaman pendekatan teoritik dan metodologis, dan dari situlah kekayaannya berasal. Anthony Giddens turut menambahkan bahwa untuk memahami masyarakat, kita tak bisa hanya melihat individu atau struktur secara terpisah. Keduanya saling terkait dalam proses strukturasi, yaitu bagaimana manusia menciptakan struktur sosial sekaligus dibentuk oleh struktur tersebut. Giddens mengajak untuk menghindari dikotomi dan berpikir dalam hubungan timbal balik antara aktor dan struktur. Senada dengan Giddens, Pierre Bourdieu menawarkan jalan tengah melalui teori praktik sosial dan konsep habitus. Bagi Bourdieu, masyarakat tidak bisa dipahami secara terpisah sebagai individu atau struktur semata. Habitus menjembatani keduanya—menggambarkan bagaimana struktur sosial tertanam dalam diri individu dan diwujudkan melalui praktik sehari-hari. Mendengar berbagai pandangan yang saling memperkaya ini, Thomas Kuhn akhirnya mengangguk perlahan. “Baiklah, sekarang aku paham. Sosiologi memang tidak tunduk pada satu paradigma tunggal, tetapi justru karena itulah ia hidup dan berkembang. Ia adalah ilmu yang menantang sekaligus memikat.” Dengan demikian, perdebatan tentang status keilmuan sosiologi tidak berakhir pada dikotomi ilmu versus common sense, tetapi justru membuka pemahaman baru: bahwa sosiologi adalah ilmu yang khas, kompleks, dan reflektif, yang terus bergulat dengan makna, tindakan, dan struktur dalam kehidupan manusia.

Ringkasan Teori

Premanisme Merajalela, Apa Kata Sosiolog?

Apa itu premanisme?Premanisme merujuk pada keberadaan kelompok terorganisasi yang terlibat dalam aktivitas kriminal dan kekerasan. Kelompok ini umumnya memiliki struktur kepemimpinan yang jelas, simbol atau identitas kelompok, serta kode etik internal yang mereka patuhi. Dalam banyak kasus, preman hadir sebagai “penjaga keamanan” di wilayah-wilayah yang lembaga sosial resminya—seperti aparat hukum atau organisasi masyarakat—tidak lagi berfungsi secara optimal. Fenomena ini lazim ditemukan di lingkungan perkotaan yang miskin, memiliki tingkat pengangguran tinggi, dan mengalami disorganisasi sosial. Dalam kondisi seperti itu, premanisme menawarkan alternatif untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan status sosial melalui jalur ilegal. Mengapa Premanisme Muncul? Sosiolog Robert K. Merton menjelaskan fenomena penyimpangan sosial—termasuk premanisme—melalui Strain Theory atau Teori Ketegangan. Menurut Merton, penyimpangan terjadi ketika individu tidak memiliki akses yang sah atau legal untuk mencapai tujuan sosial yang diidealkan, seperti kesuksesan ekonomi. Ketimpangan antara cita-cita dan sarana legal yang tersedia menciptakan tekanan (strain), dan dalam tekanan itulah sebagian orang memilih jalan menyimpang untuk tetap meraih tujuan yang sama. Premanisme, dalam hal ini, menjadi salah satu bentuk adaptasi terhadap sistem sosial yang tidak memberi peluang yang setara bagi semua orang. Teori Disorganisasi Sosial: Ketika Lembaga Sosial Gagal Penjelasan lain datang dari para sosiolog Chicago School yang merumuskan Teori Disorganisasi Sosial. Mereka mengaitkan kemunculan geng dan preman dengan lemahnya peran lembaga-lembaga sosial seperti keluarga, sekolah, dan komunitas dalam mengatur kehidupan masyarakat. Di wilayah miskin dengan tingkat mobilitas tinggi dan penduduk yang heterogen, ikatan sosial menjadi lemah. Kurangnya rasa kebersamaan dan kontrol sosial menyebabkan lingkungan tersebut menjadi lahan subur bagi munculnya kelompok preman yang mengisi kekosongan otoritas sosial. Teori Asosiasi Diferensial: Premanisme Dipelajari Tak hanya dipengaruhi oleh struktur sosial, premanisme juga berkembang melalui proses sosialisasi. Edwin H. Sutherland, melalui Teori Asosiasi Diferensial, menekankan bahwa perilaku kriminal dipelajari melalui interaksi sosial. Seseorang yang bergaul dengan anggota geng atau preman cenderung menyerap nilai-nilai dan perilaku menyimpang yang berlaku dalam kelompok tersebut. Dalam konteks ini, lingkungan pertemanan, pengalaman sehari-hari, dan proses belajar sosial memainkan peran kunci dalam membentuk kecenderungan individu terhadap premanisme. Kesimpulan:Premanisme bukanlah sekadar soal kriminalitas jalanan, melainkan gejala sosial yang kompleks dan terkait erat dengan ketimpangan struktur sosial, kegagalan lembaga sosial, dan proses belajar dalam lingkungan yang menyimpang. Memahaminya secara sosiologis membantu kita untuk tidak hanya mengecam, tetapi juga mencari solusi berbasis pemulihan struktur sosial dan penguatan komunitas. Referensi Merton, Robert K. (October 1938). “Social Structure and Anomie”. American Sociological Review. 3 (5): 672–682.

Scroll to Top