Uncategorized

Uncategorized

Konsep Performative Boy: Jadi “Boti” untuk Validasi

Konsep Konsep Performative Boy: Jadi “Boti” untuk Validasi Fenomena performative boy belakangan ramai dibicarakan, terutama di kalangan Gen Z dan media sosial. Istilah ini merujuk pada laki-laki yang menampilkan sisi feminin atau lembut, bukan semata karena nyaman dengan dirinya sendiri, tetapi lebih sebagai cara untuk menarik perhatian perempuan atau memperoleh validasi sosial. Bukan Tentang Jati Diri Perilaku ini bukanlah ekspresi diri yang tulus. Sebaliknya, ia lebih mirip pencitraan atau strategi sosial untuk terlihat peka, berwawasan, dan relatable di mata perempuan. Artinya, ada kesenjangan antara apa yang ditampilkan dan apa yang sebenarnya diyakini atau dirasakan. Pencitraan dan Validasi Tujuan utama dari perilaku performative boy adalah mendapatkan perhatian, pujian, atau penerimaan dari orang lain. Validasi ini biasanya datang dari perempuan atau lingkaran sosial yang menganggap perilaku lembut sebagai sesuatu yang ideal atau menarik. Beda dengan “Pria Baik” Berbeda dengan “pria baik” (nice guy) yang tampil apa adanya, seorang performative boy cenderung terlihat dibuat-buat. Sikapnya sering kali terkesan dipaksakan, sehingga sulit dibedakan apakah itu betul-betul bagian dari dirinya atau hanya “topeng” sosial. Pro dan Kontra Fenomena ini menuai beragam tanggapan. Ada yang menilai performative boy sekadar gimmick atau strategi pencitraan kosong. Namun, ada pula yang melihatnya sebagai langkah awal menuju kesadaran gender, meskipun masih dangkal, karena setidaknya laki-laki mulai menampilkan sisi yang tidak sepenuhnya maskulin tradisional. Contoh Perilaku Beberapa contoh yang sering dikaitkan dengan tren ini antara lain: membawakan atau memamerkan buku feminis, minum matcha, memakai totebag, mengikuti tren fashion yang lembut, berbicara soal kesehatan mental, hingga memberi kesan sangat suportif terhadap perempuan. Fenomena performative boy menunjukkan bagaimana konstruksi maskulinitas bisa berubah sesuai tuntutan sosial. Di satu sisi, ia bisa dianggap manipulatif, namun di sisi lain, bisa juga dilihat sebagai pintu masuk menuju maskulinitas baru yang lebih cair dan reflektif. Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Uncategorized

Mengguncang Status Quo: Gagasan Kritis dari Para Sosiolog Marxis

Mengenal Tokoh Mengguncang Status Quo: Gagasan Kritis dari Para Sosiolog Marxis Jika kamu merasa cara pandang sosialmu stagnan, mungkin sudah saatnya berkenalan dengan teori-teori sosiologi Marxis yang menawarkan lensa kritis terhadap kekuasaan, budaya, dan ideologi. Dari Gramsci hingga Bourdieu, para pemikir ini menunjukkan bagaimana ketimpangan sosial bukan hanya persoalan ekonomi, tapi juga persoalan dominasi ide dan budaya. 1. Antonio Gramsci: Hegemoni Budaya Antonio Gramsci, seorang pemikir Marxis dari Italia, memperluas pemikiran Karl Marx dengan memperkenalkan konsep hegemoni budaya. Bagi Gramsci, kelas penguasa mempertahankan dominasinya bukan hanya lewat kekerasan atau represi negara, tetapi juga lewat penguasaan budaya dan ideologi yang membuat ketimpangan tampak “normal”. Melalui kontrol atas pendidikan, agama, dan media, nilai-nilai kelas dominan disebarkan hingga diterima oleh kelas bawah secara sukarela. 2. Louis Althusser: Aparatus Negara Ideologis (ISA) Louis Althusser, seorang Marxis strukturalis asal Prancis, menyoroti bagaimana kekuasaan bekerja melalui lembaga-lembaga yang tampak netral, seperti sekolah, keluarga, dan media. Ia menyebut ini sebagai Ideological State Apparatuses (ISA). Menurut Althusser, ISA berfungsi memperkuat sistem kapitalisme dengan membentuk cara berpikir masyarakat agar menerima posisi sosialnya tanpa mempertanyakannya. 3. Theodor Adorno & Max Horkheimer: Industri Budaya dan Ideologi Sebagai anggota Frankfurt School, Adorno dan Horkheimer mengembangkan teori kritis yang mengkritik bagaimana media massa dan industri budaya menciptakan kesadaran palsu. Dalam karya mereka Dialectic of Enlightenment, keduanya menjelaskan bagaimana produk-produk budaya populer seperti musik, film, dan televisi, digunakan untuk mengalihkan perhatian publik dari realitas ketimpangan sosial. Kritik mereka tetap relevan dalam era digital dan algoritma hari ini. 4. Pierre Bourdieu: Modal, Habitus, dan Reproduksi Sosial Meskipun tidak menyebut dirinya Marxis murni, Pierre Bourdieu banyak dipengaruhi oleh tradisi Marxis dalam analisisnya terhadap ketimpangan sosial. Melalui konsep seperti modal budaya, habitus, dan medan sosial, Bourdieu menjelaskan bagaimana struktur sosial direproduksi secara halus lewat pendidikan, gaya hidup, dan simbol. Kelas dominan tidak hanya memiliki kekayaan ekonomi, tapi juga simbolik, yang digunakan untuk mempertahankan status sosial mereka. Kesimpulan: Dari Dominasi ke Kesadaran Kritis Teori-teori sosiologi Marxis ini mengajak kita melihat ulang bagaimana kekuasaan bekerja—bukan hanya di tangan negara, tapi juga dalam ruang-ruang keseharian: sekolah, media, budaya populer, bahkan cara kita berpikir. Mengguncang status quo bukan berarti revolusi jalanan semata, tapi bisa dimulai dengan kesadaran kritis terhadap dunia yang tampak “biasa-biasa saja”. Referensi Bacaan Lanjutan Gramsci, Antonio. Selections from the Prison Notebooks. Althusser, Louis. Ideology and Ideological State Apparatuses. Adorno & Horkheimer. Dialectic of Enlightenment. Bourdieu, Pierre. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste.   Dr. Dede Syarif Dr. Dede Syarif adalah akademisi dan sosiolog UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulusan Sosiologi UGM. Ia aktif dalam pengembangan ilmu sosiologi, termasuk melalui short course di Jerman dan Australia. Pendiri Perspektif Sosiologi ini kini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sosiologi FISIP UIN Bandung. Editor: Paelani Setia Lulusan Sosiologi yang pernah mengikuti program pertukaran mahasiswa di Unisel, Selangor, Malaysia. Aktif menulis di bidang kajian sosiologi, agama, dan religious studies. Saat ini menjabat sebagai Manajer sekaligus Co-Founder komunitas kajian Perspektif Sosiologi. Address-card Instagram Share artikel ini yuk! Facebook-f Link Twitter Instagram Whatsapp

Scroll to Top